tirto.id - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi tentang ketentuan larangan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik. Penolakan disampaikan saat pembacaan putusan perkara 96/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Perppu No.51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya [Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2)].
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim MK Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Selain itu, hakim berpandangan, keterlibatan TNI dalam penertiban lahan dibenarkan. Namun, keterlibatan TNI harus berada dalam pilihan terakhir. TNI hanya diperbolehkan untuk ikut menertibkan dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan.
"Dalam pemahaman demikian, maka pelanggaran terhadap larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya bukanlah masalah pertanahan negara melainkan persoalan keamanan dalam negeri," ujar hakim konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam pertimbangan hakim, Mahkamah Konstitusi menilai pelapor berhak untuk mengajukan gugatan konstitusi. Mereka menilai para pemohon yang terdiri atas Rojiyanto dkk yang diwakili Ketua LBH Jakarta Alghiffari Aqsha berkedudukan hukum. Namun, mereka menilai pokok permohonan pemohon tidak beralasan hukum.
Hakim menilai, materi yang terkandung dalam norma Perppu 51 Tahun 1960 yang digugat terdiri atas 4 poin. Pertama adalah poin larangan menggunakan tanah yang bukan hak tanpa izin tanah dikuasai secara sah. Kedua, larangan menggunakan tanah yang bukan perkebunan dan hutan. Ketiga, kewenangan pemerintah untuk mengambil tindakan dengan mengosongkan tanah dari pemilik tanah tanpa hak. Terakhir, larangan dengan diberlakukan pelanggaran pidana sesuai pasal 6 UU A quo.
Terhadap persoalan 4 poin tersebut, MK menilai Perppu 51/60 sudah tegas melarang siapapun untuk memakai tanah tanpa izin pihak yang berhak. Negara dinilai telah melindungi hak dan pihak yang berhak tanah dari perbuatan menguasai tanah secara melawan hukum. Masyarakat pun bisa dikenakan ancaman pidana tanpa kecuali. Kemudian, pemberian hukuman pidana kepada pihak yang tidak berhak dinilai sebagai cara untuk melindungi pihak yang berhak.
MK pun menilai pandangan pemohon yang menyatakan Perppu 51/1960 telah melanggar Pasal 28C ayat 2 UUD 45 dianggap tidak logis. MK berpandangan, makna pasal 28C ayat 2 UUD 1945 adalah negara tidak boleh melarang atau menghalangi sekelompok masyarakat yang dengan sah dan berdasarkan hukum melakukan upaya kolektif untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan hak, apalagi untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu, dalam pandangan MK, Perppu 51/1960 diterbitkan karena permasalahan pemakaian tanah tanpa izin pada saat itu. Kala itu, tidak sedikit orang atau badan hukum mengklaim sebidang tanah tanpa kepastian hukum yang kuat.
MK menilai, pemerintah sudah berupaya menjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kata "dikuasai negara" pun sudah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 bahwa penguasaan menandakan negara mempunyai 5 hak, yakni mengadakan kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi segala agak bumi dan bangunan untuk kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, penerbitan Perppu 51/1960 merupakan salah satu instrumen negara untuk mengatur kepemilikan tanah agar tidak sewenang-wenang atau melawan hukum. Pemerintah pun bisa mengambil kembali lahan yang dipakai tanpa hak itu dengan cara sesuai sesuai pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 Perppu 51/60.
Pasal 3 Perppu 51/60 merupakan turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 1 ayat 3 Jo pasal 2 ayat 1 UU PA. Sementara itu, pasal 4 masih memberikan ruang kepada publik untuk menempuh jalur hukum. Dengan demikian, pandangan pemohon kalau pasal 4 dianggap melanggar prinsip negara hukum dan absolut dinilai tidak akurat.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri