tirto.id - Jenderal Allenby mati di London pada 14 Mei 1936. Ia hidup selama 75 tahun dan kiprahnya di dunia militer Inggris menunjukkan bahwa dia bukan jenderal sembarang jenderal.
Pada Perang Dunia I, laki-laki bernama lengkap Edmund Henry Hynman Allenby itu ditunjuk sebagai komandan Egyptian Expeditionary Force (EEF). Capaian termasyhur pasukan ini ialah merebut Yerusalem dari kuasa Turki Utsmani.
"Perang Salib telah usai," begitu kata Allenby begitu menjejakkan kakinya di Yerussalem pada 11 Desember 1917.
Perkataan Allenby itu membuat Haji Agus Salim geram. Pimpinan Sarekat Islam (SI), organisasi pejuang pemerdekaan Indonesia, itu membuat satu artikel khusus yang kemudian diterbitkan Pedoman Masjarakat (10/7/1936) untuk memperingati kematian Allenby.
Dalam artikel bertajuk "Yahudi dan Arab di Palestina, Pertarungan Kebangsaan" tersebut, Salim berulang kali mengatakan bahwa konflik Yahudi versus Arab di Palestina bukan konflik agama. Menurut Salim, Allenby dan dunia Barat semestinya meminta maaf karena telah melontarkan kata-kata itu.
"Padahal perkataan [Allenby] itu salah dan bohong semata-mata. Perang Dunia 1904-1918 sekali-kali tidak patut diumpamakan 'Perang Salib'. Perang besar itu pertama-tama dan terutama sekali pertarungan antara dua pihak bangsa Barat sendiri; bangsa yang belum dan bangsa yang sudah mempunyai jajahan," kata Salim.
Turki Utsmani, salah satu negara Islam merdeka saat itu, memang terlibat Perang Dunia I. Ia berkomplot dengan Aliansi Negara Tengah yang terdiri atas Jerman, Austria, dan Turki Utsmani sendiri.
Semasa itu, Turki Utsmani menyerukan kepada muslim di seluruh dunia untuk berperang jihad bersamanya. Namun, catat Salim, tidak ada negara Islam menuruti seruan Turki.
Sebelum pasukan Allenby menguasai Yerussalem, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Arthur Balfour mengirim pesan—yang kelak dikenal dengan nama Deklarasi Balfour—kepada Lord Walter Rothschild, anggota terkemuka komunitas Yahudi Inggris. Pesan tersebut berisi dukungan Inggris atas "pendirian kediaman nasional di Palestina untuk orang-orang Yahudi".
Palestina merupakan wilayah Turki Utsmani saat itu. Karena negara pusatnya kalah perang, Palestina kemudian dikuasai Inggris pada 1918, berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Langkah Inggris menjadikan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi ditentang orang-orang Arab di Palestina. Mereka berontak terhadap kebijakan Inggris tersebut sedari 1936, pada tahun yang sama Allenby menghembuskan nafas terakhir.
Salim menyebut pemberontakan itu sebagai "pertengkaran hebat antara kepentingan bangsa Arab Palestina dengan bangsa Yahudi luar negeri, yang datang dengan perlindungan Inggris itu".
"Bukan Pertentangan Karena Agama"
Salim tidak memandang semua Yahudi sama. Dalam paragraf di atas, misalnya, Salim menggunakan frasa "Yahudi luar negeri". Di bagian lainnya, Salim menceritakan perjalanan bangsa Yahudi yang hidup dalam cengkeraman rezim Islam dan Kristen. Rezim tersebut memang mengusir bangsa Yahudi beberapa kali. Namun, penelaahan Salim menunjukkan Yahudi, begitu juga penganut agama lain, hidup aman dan damai sejak Suriah dan Palestina dikuasai kerajaan Islam.
"Adapun akan bangsa Yahudi, yang memang asli di Palestina, tidak pernah terganggu keamanan hidup mereka selama masa pemerintahan Islam, yaitu semenjak Sultan Salahuddin Al Ayubi menaklukkan Aursalaim (Yerussalem) di tahun 1187, sampai kekuasaan Turki dikalahkan dalam tahun 1918," sebut Salim.
Bagi Salim, konflik antara dunia Arab dengan Yahudi di Palestina bukan "pertentangan karena agama". Orang Arab di sana menolak Yahudi luar negeri, yang masuk ke Palestina lewat kuasa Inggris, sebab "perasaan kebangsaan yang dilukai dan hak-hak sebangsa yang kena langgar oleh kekuasaan Inggris itu."
Salim menjelaskan secara lebih panjang lagi soal persekutuan Inggris dan Yahudi dalam "Soal Yahudi dan Palestina" yang terbit di Pandji Islam (9/1/1939). Artikel ini terbit tidak lama setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan seruan kepada semua organisasi Islam di Hindia Belanda agar bersikap tegas terhadap apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bahu-membahu menolong Palestina untuk memerdekakan diri dari kaum Zionis.
Pada Perang Dunia I, pihak Sekutu (Inggris-Perancis) sangat payah. "Maka kian kemari mencari kawan untuk menolong perangnya," kata Salim.
Thomas Edward Lawrence, salah satu staf intelijen Inggris, ditugaskan mendekati keluarga penguasa Hijaz, Syarif Husein, yang adalah orang Arab. Tugas Lawrence ialah memastikan orang-orang Arab memberikan dukungannya kepada Sekutu, walaupun Hijaz kala itu dikuasai Turki Utsmani.
"Tetapi, mereka [bangsa Arab] suka melawan Turki, karena mendapat janji kemerdekaan negeri dan bangsanya dengan pemerintah bangsa sendiri yang merdeka, apabila perang mendapat menang," sebut Salim.
Meski demikian, bantuan Arab ini belum cukup. Pada akhirnya, Inggris mencari bantuan ke Chaim Weizmann, seorang tokoh penggerak Zionisme. Menurut Salim, Weizmann telah "menjual satu rahasia alat peperangan kepada Inggris" dengan syarat bangsa Yahudi diberi tanah kediaman nasional di Palestina.
Persekongkolan itu berujung pada Deklarasi Balfour dan dukungan Amerika Serikat (AS) kepada Sekutu. Selepas memenangi perang, Sekutu meneken perjanjian damai yang menghasilkan Traktat Versailles dan LBB. Bangsa-Bangsa Arab tidak diikutsertakan dalam pertemuan itu. Janji Lawrence pun urung terwujud, sementara Deklarasi Balfour dijalankan.
Walhasil, modal dikucurkan untuk membangun kediaman nasional Yahudi di Palestina. Selepas itu, bangsa Yahudi dari berbagai negeri berbondong-bondong masuk Palestina.
"Maka terjadilah perubahan besar di Palestina. Dengan cepat sekali, tanah itu yang miskin selama riwayatnya menjadi tanah makmur, hidup di dalamnya berbagai perusahaan pertanian dan kerajinan dan bertambah ramai perniagaan," sebut Salim.
Masalahnya, bangsa Yahudi luar negeri itu tidak mau hidup berdampingan dengan bangsa Arab di Palestina. Mereka menganggap Palestina tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Kata Salim: "Tidak suka mereka dipersamakan dengan bangsa Arab, rakyat yang asli, mengadakan bersama pemerintah atas asas demokrasi."
Oleh sebab itu, Salim menandaskan Traktat Versailles dan Deklarasi Balfour tidak boleh kekal. Tidak hanya melukai bangsa Arab, dampak perjanjian itu juga menyengsarakan bangsa Yahudi.
Salim menelaah gerakan anti-Yahudi yang berkembang di Jerman saat itu (sekitar 1930-an) merupakan akibat bantuan AS dan "rahasia" Weizmann yang bikin Jerman kalah di Perang Dunia I. Dan, menurutnya, menolong orang Yahudi yang diusir dari negara yang anti-Yahudi merupakan suatu bentuk kemanusiaan.
"Sedunia orang mengatur-menyusun organisasi untuk menolong Yahudi, yang kena bencana dan aniaya dengan tidak salahnya. Memang begitu kehendak kemanusiaan," tulis Salim. "Tetapi sebaliknya harus pula sedikitnya umat Islam menyusun organisasi menyokong hak bangsa Arab dan hak umat Islam di Palestina dan Bait-al-Maqdis, dan menolong kaum yang sengsara di negeri itu."
Meski demikian, bumi ini luas. Saran Salim, bangsa Yahudi yang berjumlah 2-3 juta kala itu bisa diberi kediaman di Australia, Kanada, Amerika Selatan, atau Afrika. Negara-negara besar semestinya memperhatikan hak bangsa yang kecil-kecil, baik yang tinggal di negeri sendiri maupun yang seperti Yahudi, tinggal di negeri orang.
"Jika hal ini, yaitu kemerdekaan atau keamanan bangsa yang kecil-kecil tidak mendapat perlindungan dengan hak dan keadilan, niscayalah dunia menghadapi bencana, yang akhirnya membawa binasanya," kata Salim.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Maulida Sri Handayani