tirto.id - 27 Agustus 2016, jurnalis olahraga lokal San Francisco, Jennifer Lee Chan, mengunggah sebuah foto dari pertandingan National Football League (NFL) antara San Francisco 49ers dan Green Bay Packers.
Foto itu diambil Chan dari tribune media dengan kamera ponsel biasa. Sepintas tak ada yang aneh darinya. Terlihat puluhan pemain berkostum merah marun berdiri ketika lagu kebangsaan Amerika Serikat (AS), "The Star-Spangled Banner", dikumandangkan. Akan tetapi, apabila disaksikan dengan seksama, di bagian tengah foto terdapat seorang pemain yang tak melakukan apa yang dilakukan kawan-kawannya.
Ketika semua orang berdiri, pemain itu memilih untuk duduk. Sebenarnya, tidak ada yang mempermasalahkan aksi pemain tersebut kala itu. Semua orang fokus dengan dirinya masing-masing. Akan tetapi, sebagai seorang pewarta, Chan memang dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang tidak biasa. Maka, diambillah foto tersebut dan keesokan harinya seantero AS menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Pemain yang memutuskan untuk duduk itu adalah Colin Kaepernick, quarterback 49ers. Ketika aksinya diketahui khalayak luas, Kaepernick pun menjelaskan makna di baliknya.
"Aku tidak akan berdiri untuk menunjukkan rasa bangga terhadap bendera sebuah negara yang menindas orang-orang kulit hitam dan kulit berwarna lainnya. Bagiku, isu ini lebih besar dari football dan alangkah egoisnya aku jika terus berpura-pura tidak tahu," ucap Kaepernick kepada NFL Media.
Aksi duduk itu hanya dilakukan Kaepernick dua kali. Setelah mendapatkan saran dari rekan-rekan setimnya dan seorang eks serdadu AS bernama Nate Boyer, Kaepernick mengubah gesturnya. Pada pertandingan berikutnya melawan San Diego Chargers (sekarang Los Angeles Chargers), Kaepernick mulai berlutut ketika lagu kebangsaan dikumandangkan. Aksi inilah yang kemudian membuat namanya didengar sampai seluruh dunia.
Ketidakadilan rasial memang sudah jadi bagian dari AS sejak negara itu lahir. Pada dekade 1960-an, sempat ada Civil Rights Movement yang dipimpin Martin Luther King, Rosa Parks, Fred Hampton, dan Malcolm X. Pergerakan itu mampu membuat segregasi rasial di Amerika runtuh. Namun, bukan berarti rasialisme hilang begitu saja setelahnya.
Pemboman di pemukiman kulit hitam Philadelphia tahun 1985, pengeroyokan terhadap Rodney King di Los Angeles, penembakan fatal remaja 17 tahun bernama Trayvon Martin oleh polisi Florida, dan hal-hal semacamnya memicu lahirnya sebuah gerakan baru bernama Black Lives Matter pada 2013. Apa yang diminta Kaepernick lewat aksi berlututnya itu pun segendang sepenarian dengan tuntutan-tuntutan para aktivis BLM. Yakni, agar diskriminasi—terutama diskriminasi rasial—dihapuskan dari Amerika.
Sepintas, tuntutan Kaepernick tersebut tampak masuk akal. Akan tetapi, di negara yang patriotisme diukur lewat simbol dan gestur, aksi sang quarterback menuai perdebatan panas. Kaum Republikan menyebut Kaepernick telah merendahkan lambang negara dan menghina pengorbanan para serdadu yang tewas di medan perang. Kaum Demokrat, sebaliknya, mendukung atau setidaknya memaklumi dan mau mendengarkan Kaepernick.
Di AS, football adalah satu dari tiga fondasi konservatisme bersama faith (agama Kristen) dan family (keluarga). Dengan kata lain, Kaepernick menyuarakan kegelisahannya tadi di tempat yang "salah". Menyusul ramainya kecaman, termasuk dari Presiden AS kala itu, Donald Trump, Kaepernick dipaksa angkat kaki dari 49ers. Dia memutuskan untuk pergi jelang musim kompetisi 2017.
Melompat ke 2021, Kaepernick belum kunjung mendapatkan tim baru. Praktis, sejak 2017 itu dia menganggur sebagai seorang pemain football. Kaepernick sempat mengikuti trial terbuka yang diselenggarakan NFL tahun lalu tetapi, tetap saja, tak ada waralaba yang mau merekrutnya. Baltimore Ravens sempat dikabarkan berminat terhadap Kaepernick tetapi urung meminangnya. Semua tim NFL khawatir kehilangan fans apabila sampai merekrut Kaepernick.
Kendati demikian, hidup Kaepernick baik-baik saja. Meski tak turun gelanggang sebagai atlet profesional, dia tetap memiliki pemasukan, salah satunya dari Nike. Ya, pada September 2018, atau hampir dua tahun semenjak dia terakhir kali berlaga di arena NFL, Kaepernick mendapatkan kontrak baru dari Nike dengan nilai "jutaan dolar". Kaepernick kala itu dijadikan wajah kampanye ulang tahun slogan Nike, "Just Do It", yang ke-30.
"Believe in something. Even if it means sacrificing everything."
Begitulah tulisan yang terpampang pada kampanye "Just Do It" hasil kolaborasi Nike dan Kaepernick. Dari situ, terindikasi bahwa Nike mendukung apa yang dilakukan oleh sang atlet. Kaepernick percaya pada sesuatu, yakni bahwa ketidakadilan rasial harus disudahi, dan dia mengorbankan kariernya untuk keyakinan tersebut.
Nike memang berutang banyak pada atlet-atlet kulit hitam AS. Salah satu sosok yang membuat Nike menjadi sebesar sekarang adalah Michael Jordan. Pada 1984, Jordan sebenarnya lebih berminat mengenakan sepatu Adidas. Namun, sang agen, David Falk, menyarankan Jordan untuk menerima pinangan Nike yang kala itu bahkan belum memiliki lini sepatu basket. Hasilnya, bersamaan dengan perkembangan Jordan menjadi bintang besar, Nike pun turut terangkat.
Dengan sejarah demikian, menjadi masuk akal bagi Nike untuk mengampanyekan dukungan terhadap gerakan BLM. Pada 2020, Nike meluncurkan iklan dengan tajuk "For Once, Don't Do It". Dalam video berdurasi satu menit itu Nike menekankan bahwa situasi di Amerika sedang tidak baik-baik saja sehingga janganlah berpura-pura tidak tahu apa-apa. Nike pada dasarnya meminta semua orang untuk angkat bicara dan bertindak secara aktif melawan rasialisme. Setegas itulah sikap mereka.
Rasialisme tidak jadi satu-satunya isu yang diangkat oleh Nike ke permukaan. Seksisme pun turut jadi agenda kampanye mereka. Pada 2019, menyusul keberhasilan Timnas Sepak Bola Putri Amerika Serikat menjuarai Piala Dunia, Nike meluncurkan iklan kampanye yang mendukung diberlakukannya equal pay (bayaran yang setara) oleh Federasi Sepak Bola Amerika Serikat (USSF) kepada para pemain putrinya.
"We will keep fighting not just to make history, but to change it, forever!” jadi slogan kampanye mereka kala itu.
Dukungan untuk pesepak bola putri Amerika tidak cuma datang dari Nike. Sponsor USSF lainnya, Visa, menyuarakan hal senada. Dilansir The New York Times, sebelum Piala Dunia 2019 itu dihelat, Visa dan USSF menandatangani perjanjian kerja sama berdurasi lima tahun. Dalam pernyataan resminya, Visa menyebut bahwa separuh dari uang yang mereka berikan kepada USSF harus digunakan untuk mengembangkan sepak bola wanita.
Dari contoh-contoh di atas, bisa ditarik sebuah pola. Yakni, bagaimana korporasi secara aktif terlibat dalam aktivisme sosial. Nike dan Visa, lewat keterlibatan mereka dalam dunia olahraga, telah menunjukkan sikap anti terhadap rasialisme dan seksisme. Apa yang dilakukan Nike dan Visa ini bukanlah pengecualian karena ternyata banyak korporasi yang sudah melakukannya.
Fenomena ini dinamakan corporate activism atau aktivisme korporasi.
(Bersambung)
Editor: Nuran Wibisono