tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku sudah mulai memonitor dan melacak kasus-kasus potensial COVID-19 pada Januari, lebih dari sebulan sebelum kasus positif pertama diumumkan di Indonesia pada 2 Maret.
Hal ini diungkapkan Gubernur Anies Baswedan dalam wawancara bersama The Sydney Morning Herald dan The Age.
Anies mengungkapkan bahwa pada 6 Januari setelah mendengar kasus-kasus awal di Wuhan, pihaknya langsung melakukan monitoring ke seluruh rumah sakit di Jakarta. “Kami melakukan rapat dengan rumah sakit di seluruh Jakarta. Menginformasikan soal Pneumonia Wuhan—waktu itu namanya belum COVID-19,” ujar Anies.
Pemprov kemudian menyediakan hotline yang terhubung dengan 190 rumah sakit untuk kasus-kasus dugaan “pneumonia Wuhan”.
Angka dugaan kasus perlahan mulai meningkat pada Januari dan Februari. Pemprov pada waktu itu langsung membuat keputusan bahwa siapapun yang berada di balai kota bertanggungjawab untuk menghadapi wabah ini.
“Kasusnya terus bertambah tapi kami tidak diizinkan melakukan tes. Setiap sample yang kami terima kami serahkan kepada Balitbangkes—di bawah Kementerian Kesehatan—untuk nantinya dikonfirmasi sebagai kasus positif atau negatif. Pada akhir Februari, hasil yang keluar negatif semua,” kata Anies.
Kendati demikian, Anies bersikeras tetap mengumumkan bahwa Pemprov memiliki data sejumlah kasus-kasus potensial, yang langsung ditepis Kementerian Kesehatan bahwa hingga saat itu belum ditemukan kasus positif COVID-19.
Selama Januari-Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terus menerus menyangkal adanya kasus positif COVID-19 di Indonesia. Sementara Presiden Joko Widodo mengaku memang tidak mengungkap semua data ke publik demi “mencegah kepanikan di masyarakat”.
Saat ini pemerintah pusat memproyeksikan aktivitas akan kembali normal pada Juni. Namun Anies, di sisi lain tidak mau terburu-buru. Melihat data yang ada, ia justru ragu dengan klaim pemerintah pusat yang mengatakan tren kasus sudah mulai melandai dan mengalami penurunan.
“Saya tidak yakin kita mengalami penurunan kasus. Harus dilihat dulu dalam beberapa minggu untuk menyimpulkan apakah sudah landai atau masih mengalami peningkatan,” katanya kepada SMH dan The Age.
Data yang ada, imbuh Anies, tidak berkata demikian (kasus menurun). “Epidemiologi juga bilang begitu. Seharusnya para pembuat kebijakan mempercayai sains.”
Namun mengingat selama ini informasi terus dimonopoli pusat, Anies jelas frustasi.
Demi mengakomodir ketidaktransparanan pemerintah pusat, Anies memutuskan merilis angka pemakaman dengan prosedur COVID-19 di DKI. Per 7 Mei jumlah pemakaman dengan prosedur COVID-19 di DKI sebanyak 1.826 pemakaman, jauh lebih besar dari angka kematian akibat positif COVID-19 yang diumumkan pemerintah pusat, yakni 431 orang per 8 Mei 2020.
Editor: Restu Diantina Putri