Menuju konten utama

Green Day dan Mengapa Mereka Penting di Kancah Punk Indonesia

Green Day baru mencicipi kesuksesan besar dan dikenal luas setelah melempar album ketiga, Dookie (Reprise, 1994)

Green Day dan Mengapa Mereka Penting di Kancah Punk Indonesia
Grup Band Green Day. FOTO/Amy Harris/Invision/AP

tirto.id - Tidak semua band punya faktor X --yang membuat mereka tenar, dan kalau lebih beruntung: jadi legenda.

Ada yang konstan berkarya tapi tak kunjung sukses. Ada yang langsung sukses di album pertama tapi kemudian bubar. Ada yang sukses di album pertama tapi melempem di album kedua, dan ada pula yang baru meraih kesuksesan setelah melempar beberapa album.

Contoh terakhir dialami oleh Green Day.

Band yang digawangi oleh Billie Joe Armstrong, Mike Dirnt, dan Tré Cool ini baru mencicipi buah kesuksesan setelah melempar album ketiga, Dookie (Reprise, 1994). Meski jalan yang mereka tempuh dianggap kontradiktif, tapi berkat album tersebut Green Day seketika menjelma jadi band besar, bukan lagi band ecek-ecek yang bermain di pub-pub kecil dengan jumlah penonton terbatas.

"Tidak ada yang bisa memprediksi bahwa album ini (Dookie) akan menjadi sukses besar di Amerika Serikat," terang Matthias Fricke, selaku Manajer Produk Warner Musik Jerman, pada tabloid Billboard terbitan 25 Juni 1994.

Seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, di balik padatnya jadwal promo tur Dookie, Green Day kembali tancap gas ke studio untuk menggarap Insomniac (Reprise, 1995). Tak berbeda dengan pendahulunya, Insomniac juga sukses besar di pasaran.

Dampak kesuksesan Green Day, membuat banyak band-band punk rock Amerika lainnya dilirik oleh label mayor, dalam rentang tahun 1995 - 1996. Circle Jerks berlabuh ke Mercury Records, 7 Seconds ke Sony/BMI, Jawbreakers ke DGC, ALL merapat ke Interscope, Unwritten Law ke Epic Records, D Generation ke Columbia, Schleprock ke Warner Bros. Records, hingga Waterdog yang teken kontrak bersama Atlantic.

Imbas Green Day di Indonesia

Di Indonesia, penjualan Dookie dan Insomniac terbilang fantastis. Dikutip dari surat kabar Merdeka terbitan 1 Februari 1996, Mares G. Soplanit dari Hemagita Records (Warner Music Group) selaku pemegang lisensi edar di Indonesia, mengungkapkan angka penjualan dua kaset itu sekitar 100 ribu dan 50 ribu. Bahkan Jakarta mencapai angka penjualan tertinggi dibandingkan dengan kota lain di Asia.

Ada tiga aspek yang membuat Green Day amat digandrungi di Indonesia. Pertama, popularitas rock alternatif saat itu sedang memuncak. Kedua, lirik-lirik lagu dan penampilan mereka sangat mewakili Gen X gelombang terakhir. Ketiga, eksposur media. Klip video mereka kerap diputar di MTV (lewat kanal ANTV) dan acap muncul saat jeda komersial. Lagu serta ulasan tentang mereka juga mudah diakses, baik di radio maupun majalah, terutama Hai.

Dengan segala eksposur tadi, wajar kalau trio asal East Bay, California, itu cepat meroket. Imbasnya mewarnai rambut, menindik kuping, serta memakai rantai dompet dan sepatu Converse Chuck Taylor, menjadi tren oleh sebagian besar remaja di kota-kota besar saat itu.

Menurut David Tarigan dari Irama Nusantara, selain perkara eksposur, alasan lain yang membuat Green Day diminati adalah karena mereka punya segala sesuatu yang dibutuhkan orang untuk tenar.

"Ada melodi pop yang menular, manis, nempel, dan semuanya itu memang didesain oleh industri, untuk jadi big thing setelah Nirvana," kata David.

Meski jauh sebelum Dookie dirilis kultur punk telah hadir di Indonesia dan dipraktikkan oleh segelintir orang, harus diakui bahwa Green Day yang berjasa besar membuat virus punk makin mewabah ke mana-mana.

Hal itu disetujui oleh Apenx, pentolan band punk rock asal Jakarta yang dibentuk pada 1997, No Label. “Pertama kali liat klip mereka, gue langsung jatuh cinta. Impact-nya gue jadi anak punk sampai sekarang."

Tak berbeda dengan Apenx, Buux gitaris Turtles JR dari Bandung juga menganggap Dookie amat berpengaruh bagi kancah punk di Indonesia.

Dookie itu, materinya gila. Dari situ gua kepikiran langsung dalam hati, gua harus bisa bikin lagu kaya gitu. Bohong banget lah kalau ngga dengerin Green Day zaman itu. Jangan gengsi, akui aja," katanya.

Opini yang sama juga dikemukakan Jussie mantan vokalis R.U. Sucks. "Sebelum gue terjun ke hardcore, gue pernah bikin band namanya Tonk’ Sampah, itu bawain Green Day dan gue sampai ngecat rambut warna ijo biar kaya Tré Cool.”

Bagi sebagian besar remaja saat itu, Green Day tak ubahnya seperti pintu gerbang untuk masuk ke skena punk, dan menggali lebih dalam tentang kultur tersebut. Ini diakui oleh Copletz penggebuk drum The Brews, band punk asal Bali.

"Setelah mendengarkan Green Day, otomatis kita ingin mencari informasi dan referensi lebih band-band lain, yang setipe dengan mereka," ujar Copletz.

Niki, frontman band Substars, mengutarakan hal senada. Baginya Green Day jualah yang menggiring untuk membeli kaset Punk-O-Rama 1, NOFX, Rancid, Bad Religion, Neurotic Outsiders, sampai Sex Pistols, dan Ramones. Sejak saat itu mengunjungi toko kaset jadi agenda rutin untuknya.

Konser Green Day Berakhir Ricuh

Popularitas yang diukur dari penjualan album, akhirnya membuat promotor musik tertarik mendatangkan Green Day. Mereka datang atas inisiasi Indo Ent Production, yang dipimpin Tri Hanurita, anak dari Sudwikatmono yang merupakan sepupu Presiden Soeharto. Konsernya berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) pada Jum’at, 2 Februari 1996, bertepatan dengan 12 Ramadan 1416 H.

Lucunya saat jumpa wartawan di ASEAN Room Hotel Horison, Billie Joe malah menyarankan penggemarnya agar sholat tarawih dulu sebelum datang ke konser, dan berjanji takkan tampil seronok untuk menghormati kesucian bulan Ramadan dan adat istiadat setempat.

Koran Republika terbitan 2 Februari 1996, menuliskan bahwa manajemen Green Day menolak adanya keterlibatan sponsor, dan menawarkan skema bagi hasil. Jadi besar kecilnya honor yang mereka terima, dihitung berdasarkan jumlah tiket yang terjual. Tiket kala itu dibanderol seharga Rp60 ribu, nilai yang cukup tinggi kala itu untuk pelajar SMA dan mahasiswa.

Bagi Niki, konser tersebut bak mimpi yang menjadi kenyataan.

“Pas tau Green Day mau konser di sini, perasaan gue senang campur aduk. Pas di dalam gue berada persis di depan Mike Dirnt. Dia baru cukur rambut jadi botak 1 cm, plus dia pake Chuck Taylor Allstar baru. Di konser tersebut lagu yang dibawain kebanyakan dari Insomniac, yang dibuka dengan ‘Armatage Shanks’,” ucap Niki antusias.

Ihsan, mantan drummer Kuro! dan Speak Up juga punya kenangan yang sama.

“Gue sampai ngga tidur 24 jam, saking senengnya. Gue bisa nonton mereka karena menang quiz tiket gratis dari majalah Hai. Di dalam orang-orang sudah pada moshing padahal musik belum main. Gue lompat dari kelas tribun ke kelas festival, karena gue harus berada di pit festival atau nyesel.”

Malam itu Green Day main pol-polan di hadapan ribuan penggemarnya. Semua lagu digeber nyaris tanpa jeda, membuat crowd makin menggila. Kebanyakan repertoar yang dibawakan berasal dari album Insomniac. Sesekali Mike Drint berteriak “Kalian gila!” dan memukulkan mic ke kepala. Green Day seolah menunaikan janjinya untuk memberi penampilan terbaik.

Namun sayang konser tersebut sempat diwarnai aksi kericuhan. Harian Media Indonesia terbitan 3 Februari 1996, mewartakan saat konser baru dimulai sekitar pukul delapan malam, anak-anak muda yang tidak memiliki tiket melempari batu ke aparat keamanan, hingga mengenai pintu-pintu kaca dan menerobos masuk ke dalam.

Etos DIY dan Band Pasaran

Cukup dimengerti mengapa Green Day pada pertengahan dekade 1990 punya pengaruh besar, bagi pergerakan punk di Tanah Air. Saat itu literasi dan referensi sangat terbatas, terlebih buat yang belum punya tongkrongan, sehingga mau tak mau harus puas dengan apa yang dijual di toko kaset.

Kemunculan Green Day mematahkan persepsi kalau seorang punk itu harus berambut mohawk atau spike, berjaket kulit, dan bersepatu boot. Dengan kata lain mereka menunjukkan cara sederhana untuk jadi seorang punker, dengan sedikit modal --ini penting untuk konteks Indonesia.

Namun ada perubahan seiring dengan meluasnya peredaran CD dan kaset band-band punk impor, juga mail order dan rekam merekam, serta menyebarnya bahan pustaka tentang kultur punk dari tangan ke tangan. Ini membuat banyak komunitas jadi melek dengan etos Do It Yourself (DIY).

Efeknya Green Day mulai ditinggalkan dan dianggap band pasaran serta "jualan". Ini terlihat tatkala Nimrod rilis pada 1997, yang direspons dingin di Indonesia.

“Bahkan sempat terjadi individu atau band yang membawakan Green Day di skena akan dicap poser,” kenang Copletz.

Sejak saat itu pamor Green Day mulai meredup di Indonesia. Generasi yang awalnya terpapar musik mereka, makin mapan secara pengetahuan, dan konsisten pada jalur yang mereka pilih. Ada yang memainkan ska punk/core, hardcore, melodic ─istilah skate punk belum jamak dipakai─ dan lain sebagainya.

Posisi Green day lalu digantikan oleh Blink-182, yang menyeruak ke permukaan lewat Enema of the State (MCA, 1999). Hebatnya lagi musik Blink-182 mampu menyusup lewat soundtrack film-film remaja Hollywood. Karuan saja membuat trio asal Poway, California itu, muncul jadi idola baru bagi generasi selanjutnya.

Menurut Ucay, mantan personel Rocket Rockers, Enema of the State menghadirkan gelombang tren American punk rock, pop punk, emo, dalam satu paket. Dampaknya, banyak band lokal yang terpengaruh dan memainkan musik yang dipengaruhi Blink-182.

"Blink-182 nggak ubahnya kaya pemantik yang meledakkan genre-genre yang gue sebut tadi di atas, dan berhasil menggeser hegemoni Green Day dan tipikal punk Lookout Records/Ramonescore saat itu," tukas Ucay.

Sebetulnya tak hanya dua band di atas, yang “secara general” punya dampak signifikan bagi perkembangan skena punk lokal. Di samping mereka ada Sex Pistols. Walau Sex Pistols sudah lama bubar, tapi uniknya pada akhir dekade 1980 band asuhan Malcolm McLaren itu mampu memengaruhi band-band punk generasi pertama Ibu Kota, seperti The Stupid, Shid, dan Vacant, hingga Submission, dan Pistolaer yang eksis pada awal dekade 199

Kendati Green Day, Blink-182, dan Sex Pistols menawarkan warna yang berbeda, tapi ketiganya memiliki kesamaan. Yakni sama-sama bernaung di major label. Terlepas dari polemik sell out atau tidak, harus kita akui major label punya sisi positif. Berkat luasnya jangkauan edar mereka, kita bisa menikmati rilisan-rilisan band punk mainstream mancanegara. Tanpa peran major label, mungkin kita jadi negara yang tertinggal dalam hal permusikan. []

Baca juga artikel terkait GREEN DAY atau tulisan lainnya dari Nor Rahman Saputra

tirto.id - Musik
Penulis: Nor Rahman Saputra
Editor: Nuran Wibisono