Menuju konten utama

Golkar Beda Suara Soal Rapat Pleno Penonaktifkan Setnov

Nurdin mendesak agar Rapat Pleno segera dilaksanakan. Sementara Idrus menilai Rapat Pleno harus menunggu Novanto.

Golkar Beda Suara Soal Rapat Pleno Penonaktifkan Setnov
Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto memberikan keterangan pers sebelum memasuki ruang rapat utama gedung DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (18/7). FOTO/Ahsan Ridhoi

tirto.id - Pelaksanaan Rapat Pleno Golkar yang membahas penonaktifan Ketua Umum Golkar Setya Novanto menjadi polemik di antara pengurus DPP Golkar. Perbedaan sikap yang kentara terkait hal ini berada di antara Badan Pengurus Harian (BPH) DPP Golkar.

Ketua Harian Golkar Nurdin Halid mendesak agar Rapat Pleno segera dilaksanakan. Sementara Sekjen Golkar Idrus Marham menilai Rapat Pleno harus menunggu Novanto siap memimpin rapat.

Sidang Praperadilan PN Jaksel pada hari Jumat (29/9) menghasilkan keputusan memenangkan Novanto membuat perbedaan sikap di antara BPH Golkar semakin meruncing. Sampai hari ini, Senin (2/10), Rapat Pleno Golkar pun belum menuai kejelasan.

Idrus menyatakan Rapat Pleno belum bisa dilaksanakan sampai Novanto sembuh karena rapat tersebut hanya bisa dilaksanakan jika dipimpin langsung oleh Novanto sebagai ketua umum.

"Nah pada gilirannya setelah Novanto sehat tentu aktif dan memimpin rapat-rapat yang ada. Biarlah nanti dalam rapat itu kita sampaikan semua biar lebih enak," kata Idrus, Senin (2/10).

Dirinya pun berdalih telah menyampaikan hasil rapat harian Golkar pada 25 September 2017 tentang penonaktifan kepada Novanto. Tapi, setelah menang praperadilan, Novanto meminta rapat ditunda.

"Nah pada waktu itu sudah disampaikan. Saya yang menyampaikan. Akhirnya pada waktu itu adalah hasilnya adalah ditunda rapat itu. Tidak jadi rapat dan waktunya ditentukan kemudian," kata Idrus.

Untuk itulah, Idrus mengaku belum bersedia menandatangai surat penyelenggaraan Rapat Pleno yang sedianya dilakukan hari ini.

Bahkan, Idrus berpendapat kalaupun nanti Rapat Pleno jadi diselenggarakan dan ada yang menyinggung soal penonaktifan Novanto tidak perlu diperhatikan.

"Apalagi aspirasi pada waktu itu adalah bahwa kajian yang dilakukan oleh tim itu harus didukung oleh hasil survei yang dilakukan mandiri oleh Golkar. Tidak ada itu," kata Idrus.

Sementara, Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar Mahyudin pun menyatakan tidak perlu ada Plt ketua umum untuk menggantikan Novanto. Karena, menurutnya, Novanto hanya bisa diganti melalui mekanisme Munas dengan persetujuan 2/3 DPD 1 dan DPD 2 Golkar.

"Ya Rapat Pleno perlu saja untuk membahas hal-hal lain, kayak persiapan dan evaluasi Pilkada 2018 mungkin program kerja, mungkin juga mengevaluasi persyaratan verifikasi parpol itu yang harus disiapkan, KTA dan sebagainya," kata Mahyudin saat dihubungi Tirto, Senin (2/10).

Mahyudin pun menganggap tak tepat jika mengkambinghitamkan Novanto dalam urusan menurunnya elektabilitas Golkar. Pasalnya, Golkar adalah kerja kolektif seluruh kader, sehingga semua pihak mesti mau mengoreksi diri.

"Imbauan saya hentikanlah manuver-manuver yang bisa menimbulkan perpecahan di dalam partai. Tapi kita ikuti saja aturan partai yang berlaku, hormati AD/ART kita kemudian kita juga hormati ketum kita. Jaga kesatuan dan persatuan di dalam partai," kata Mahyudin.

Mendesak Pelaksanaan Rapat Pleno

Berbeda dengan dua politisi Golkar tersebut, Ketua Harian Golkar Nurdin Halid meminta agar Rapat Pleno tetap dilakukan malam ini. Menurutnya, tandatangan Idrus adalah soal teknis saja.

"Korbid kepartaian juga bisa (tandatangan). Ketua harian juga bisa. Tergantung kepentingannya kan," kata Nurdin di DPP Golkar, Senin (2/10).

Menurutnya, undangan rapat pleno juga tidak mesti dalam bentuk kertas tertulis, tapi bisa dalam bentuk pesan whatsapp. "Tapi belum disebar sama Sekjen," kata Nurdin.

Nurdin berpandangan Rapat Pleno mendesak untuk dilaksanakan karena dalam rapat tersebut bukan hanya membahas soal penonaktifan Novanto, melainkan evaluasi partai secara menyeluruh.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua DPP Golkar Nusron Wahid. Menurutnya, Rapat Pleno penonaktifan Novanto masih relevan untuk dilakukan meskipun yang bersangkutan telah memenangkan praperadilan.

"Karena ya namanya rekom pleno ya harus dilaksankan. Kalau kemudian hasilnya rapat itu lain hal. Jadi evaluasi itu suatu hal yang sangat urgen dan sangat penting dalam kondisi apapun itu biasa," kata Nusron di DPP Golkar.

Mengenai urgensi tersebut, kata Nusron, perkara korupsi telah membuat elektabilitas Golkar menurun melebihi faktor-faktor lainnya, termasuk kekalahan di Pilgub DKI Jakarta.

"Saya kan udah bicara apa adanya ini. Keberpihakan saya kan sudah nampak. Di mana-mana cut off position itu mendesak. Karena kalau tidak ini akan menjadi kronis," kata Nusron.

Sehingga, kata Nusron, tidak perlu menunggu Novanto sehat untuk melaksanakan Rapat Pleno. Sebab, selain soal Novanto juga ada hal-hal yang bersifat makro politik yang mendesak untuk dibahas.

Baca juga artikel terkait SIDANG PRAPERDILAN SETYA NOVANTO atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto