Menuju konten utama

Gimmick Berjualan Atas Nama Festival

Tiap ada festival terkenal dari mancanegara, orang-orang di Indonesia latah merayakannya meski perayaan-perayaan itu tidak berakar dalam kebudayaan Indonesia. Dan segala macam perayaan itu tak sesuai dengan definisi festival itu sendiri.

Gimmick Berjualan Atas Nama Festival
Wisatawan berfoto dengan warga yang mengenakan kostum hantu saat pesta kostum Halloween di kawasan Legian, Badung, Bali. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

tirto.id - Akhir September hingga awal Oktober lalu, sebuah tenda besar didirikan. Aneka makanan khas Jerman dihidangkan, lengkap dengan free flow beer-nya. Tak ketinggalan sebuah panggung kecil, tempat para pemusik dan penyanyi mengiringi perayaan itu.

Pemandangan itu bukan terjadi di Jerman, tetapi di sebuah restoran bernama The Traders di Medan. Ini bukan pertama kalinya The Traders mengadopsi festival bir terbesar di Jerman itu. Sebelumnya, pihak manajemen sudah menggelar Oktoberfest tiga kali. Para pengunjung harus membayar Rp. 200.000 untuk menikmati makanan dan meminum bir sepuasnya.

Di Jakarta, berbagai restoran dan hotel juga menggelar acara serupa. Hotel Aryaduta salah satunya. Tahun ini, adalah tahun ke 28 Aryaduta menggelar perayaan Oktoberfest. Berbeda dengan The Traders di Medan yang menggunakan tenda, seperti yang biasa digunakan dalam festival di Jerman, di Aryaduta, festival itu digelar di dalam ballroom (kamar bola).

Harga tiket masuk perayaan di Aryaduta jauh lebih mahal, yakni Rp845.250 per orang. Tersedia juga pilihan yang dibanderol dengan paket menginap seharga Rp1,2 juta hingga Rp1,6 juta per orang.

Oktoberfest sejatinya adalah festival bir terbesar di dunia. Ia digelar di Jerman setiap pertengahan Oktober. Festival ini biasanya berlangsung selama 16 hingga 18 hari. Dimulai sejak pertengahan atau akhir September hingga awal Oktober. Sekitar enam juta pengunjung dari seluruh dunia meramaikan festival ini setiap tahunnya.

Di Jerman, Oktoberfest memiliki sejarah panjang. Dalam situs resmi Oktoberfest dijelaskan bahwa festival ini bermula ketika Putra Mahkota Ludwig, yang kelak menjadi Raja Ludwig, menikahi Putri Theresa dari Sachsen Hildburghausen pada Oktober 1810.

Berbagai perayaan digelar di alun-alun depan gerbang kota untuk merayakan pernikahan itu. Penduduk diundang dalam pesta selama 16 hari itu. Pesta pernikahan putra mahkota tersebut bertepatan dengan kegiatan mengosongkan penyimpanan bir musim semi untuk membuat bir musim gugur. Hal itu yang membuat pesta pernikahan putera mahkota berlimpah oleh bir.

Perayaan itu lalu menjadi rutinitas tahunan yang kini dikenal dengan nama Oktoberfest. Ia juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Jerman.

Berbeda dengan perayaan di Jerman yang tumbuh dari komunitas masyarakat, di Indonesia Oktoberfest hanya menjadi gimmick yang digunakan para pelaku bisnis hotel, restoran, atau produsen bir dalam menjalankan bisnisnya. Ia jelas bukan festival, ia hanya event yang dimanfaatkan untuk meraup keuntungan.

Infografik Oktoberfest

Jika menilik kembali definisi festival, ia dimaknai sebagai perayaan oleh komunitas masyarakat yang memiliki beberapa aspek karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Ia bisa berupa karakteristik agama atau tradisi-tradisi. Sumber karakteristik lainnya dari sebuah festival adalah makanan. Di seluruh belahan bumi, ada banyak sekali festival untuk merayakan masa panen. Seperti Halloween di belahan bumi Utara dan Paskah di selatan.

Festival, dari sisi itu, selalu merupakan peristiwa tidak biasa, artinya bukan momen sehari-hari, namun secara berkala digelar untuk merayakan sesuatu yang dianggap penting oleh sebuah komunitas. Ia dibutuhkan untuk merawat rasa memiliki bersama, atau merawat identitas komunal, yang dengan itulah kohesivitas sosial secara berkala diteguhkan.

Di Indonesia, ada banyak sekali label festival, padahal bukan. Halloween yang sejatinya adalah festival pun dipakai sebagai gimmick menjalankan bisnis. Pada perayaan Halloween 31 Oktober kemarin, warga Indonesia pun ramai-ramai ikut merayakan. Meskipun perayaannya hanya sekadar pesta kostum di beberapa hotel dan restoran.

Di Jakarta, untuk bisa ikut dalam pesta Halloween, pengunjung harus membayar tiket masuk. Tarifnya beragam, beda restoran, beda tarif. Di Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan, pengunjung harus membayar Rp400 ribu. Harga itu sudah termasuk bir gratis.

Beberapa restoran ada yang tak meminta tarif masuk, mereka hanya mengambil keuntungan dari makanan dan minuman yang dipesan.

Meniru festival dari negara lain untuk dijadikan gimmick dalam bisnis bukanlah persoalan. Menjadi agak problematis ketika gimmick-gimmick itu dicap sebagai sebuah festival, padahal jelas bukan. Padahal semata strategi berjualan, yang sama sekali tidak ada urusannya dengan perayaan sebuah ingatan kolektif yang berakar dalam sejarah dan kebudayaan di tanah ini.

Baca juga artikel terkait OCTOBERFEST atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Marketing
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Zen RS