Menuju konten utama

GIIAS 2017: Produksi Kendaraan Hybrid Dimulai Tahun 2025

Kemenperin menargetkan produksi kendaraan beremisi rendah atau hybrid dan electric vehicle dapat dimulai pada 2025 mendatang.

GIIAS 2017: Produksi Kendaraan Hybrid Dimulai Tahun 2025
Pekerja menyiapkan stan salah satu peserta pameran Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS) 2017 di Indonesia Convention Exebi ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan produksi kendaraan beremisi rendah atau hybrid dan electric vehicle dapat dimulai pada 2025 mendatang. Namun, penerapan itu masih menunggu regulasi.

"Pada 2025, targetnya 20 persen atau 400 ribu kendaraan beremisi rendah," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto usai pembukaan acara Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2017 di ICE BSD City, Tanggerang Selatan, Kamis (10/8/2017).

Ia menambahkan untuk menarik perhatian para produsen kendaraan yang berbasis beremisi rendah, pihaknya akan memberikan insentif yang lebih besar, baik dari bea masuk maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Beberapa regulasi pemerintah telah lahir untuk menopang industri otomotif. Salah satu mobil yang mendapat karpet merah insentif pajak pemerintah adalah Low Cost and Green Car (LCGC).

Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau “mobil murah” mendapatkan pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM). Hasilnya LCGC Agya, Ayla, Karimun Wagon, Satya berhasil meramaikan jalanan.

Insentif ini berkat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 tentang barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPn BM. Ironisnya, mobil-mobil berbahan bakar gas dan mobil hemat energi seperti hibrida pada PP ini masih dikenai pajak PPn BM sebesar 75 persen.

Berselang setahun, PP tersebut sempat direvisi dengan PP No 22 tahun 2014 tentang perubahan PP Nomor 41 Tahun 2013, daftar mobil hibrida tak masuk dalam ketentuan kendaraan yang mengalami perubahan. Ini menegaskan pemerintah memang masih menempatkan mobil hibrida sebagai barang mewah.

Saat ini, memang sudah ada wacana kebijakan program insentif bagi kendaraan rendah emisi atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) yang sedang dikaji kementerian perindustrian (Kemenperin). Rencana ini memang sudah sewajarnya, karena program pendahulu, LCGC dianggap sudah melenceng dari gagasan semula, karena harga mobil murah sudah tak lagi murah. Namun, yang jadi persoalan, LCGC mendapat insentif karena sudah diproduksi di dalam negeri, sedangkan mobil hibrida yang saat ini ada di Indonesia semuanya masih impor.

Namun, pihaknya akan menerbitkan aturan baru terkait kendaraan hybrid. "Regulasi akan segera diterbitkan dan akan berbicara dengan Kementerian Keuangan," kata Airlangga.

Saat insentif untuk hibrida masih belum jelas, Presiden Jokowi belum lama ini mengeluarkan PP Nomor 22 tahun 2017 tentang rencana umum energi nasional. Mirisnya, rencana pengembangan mobil hibrida baru digariskan pada 2025 yang mengamanatkan pengembangan mobil listrik/ hibrida sebanyak 2.200 unit dan 2,1 juta untuk motor. Padahal pengembangan mobil hibrida sudah dilakukan LIPI sejak 2010 lalu. Campur tangan pemerintah memang ditunggu, tak hanya mengandalkan dari kesiapan industri saja.

Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Johannes Nangoi mengatakan siap melaksanakan produksi mobil hybrid. Apalagi industri otomotif Indonesia mulai melaraskan dengan perkembangan otomotif global.

"Industri otomotif Indonesia mulai melaraskan perkembangan otomotif global dengan kendaraan yang efisien dan ramah lingkungan," kata Johanes.

Baca juga artikel terkait GIIAS 2017 atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Otomotif
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Maya Saputri