Menuju konten utama

Gempa Lombok dan Erupsi Gunung Samalas di Abad ke-13

Kepulauan Nusa Tenggara dibentuk oleh aktivitas tektonik dan vulkanik yang dinamis, salah satunya adalah erupsi kolosal Gunung Samalas. Riset mendalam diperlukan untuk mitigasi bencana.

Gempa Lombok dan Erupsi Gunung Samalas di Abad ke-13
Gunung Samalas, Nusa Tenggara Barat. FOTO/iStock

tirto.id - Hanya berselang sepekan, Pulau Lombok diguncang dua gempa besar. Yang pertama terjadi pada Minggu (29/7/2018). Menurut laporan dari Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa Lombok berkekuatan 6,4 skala Richter (SR) dengan pusat gempa berada di 47 km timur laut Kota Mataram. Gempa tersebut terjadi akibat aktivitas Sesar Flores.

Seminggu kemudian, Minggu (5/8/2018), gempa kedua mengguncang dengan kekuatan lebih besar: 7 skala Richter. Di antara kedua gempa besar itu, BMKG mencatat setidaknya ada 147 kali gempa susulan yang terjadi. Penyebabnya pun sama belaka, aktivitas Sesar Flores.

Kedua gempa yang terjadi dalam sepekan ini semestinya menjadi pengingat bahwa Lombok, juga pulau-pulau lain di sepanjang bujur Kepulauan Nusa Tenggara berada dalam zona tektonik yang aktif.

Ahmad Arif dalam Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013: 36) menyebut bahwa Indonesia merupakan zona tumbukan tiga lempeng besar dunia: Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik. Lempeng Pasifik memanjang dari tepian utara Pulau Papua hingga ke Sulawesi. Sedangkan Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia saling bertumbukan ke arah utara. Pulau Lombok, juga Nusa Tenggara secara keseluruhan, berada di zona tumbukan kedua lempeng besar ini.

“Zona tumbukan dua lempeng ini berada di sepanjang palung laut Sumatra, Jawa, Bali, hingga Lombok. Lempeng [benua] Australia kemudian menabrak busur kepulauan di sepanjang tepi kontinen dari tepian selatan Timor Timur terus ke timur dan melingkar berlawanan arah jarum jam di Lautan Banda,” tulis Ahmad Arif.

Sumber lebih tua dari naturalis Alfred Russel Wallace juga menyebut informasi yang kurang lebih serupa. Dalam Kepulauan Nusantara (2009: 4-5), Wallace menyebut bahwa deretan pulau dari Sumatera hingga Nusa Tenggara adalah zona vulkanis yang aktif dan senantiasa “membentuk” diri.

“Daerah-daerah yang dilewati gunung deretan gunung api dan yang berada di sekitarnya sering dilanda gempa. Gempa ringan terjadi dalam selang waktu beberapa minggu atau bulan, sedangkan yang lebih keras terjadi tiap tahun,” tulis naturalis Inggris itu.

Selain dibentuk oleh aktivitas tektonik, kawasan Nusa Tenggara juga merupakan bagian dari deretan gunung api teraktif di dunia. Dua gunung api aktif yang berada di kawasan ini adalah Gunung Rinjani dan Gunung Tambora. Aktivitas alam itu memberikan berkah kesuburan dan kehidupan bagi penduduk yang mendiaminya.

Namun, hidup di zona ini juga mesti selalu siap berhadapan dengan bencana. Karena kedua gunung api itu punya catatan letusan kolosal di masa lalu yang mampu mengubur peradaban dan membuat iklim dunia berubah.

Letusan Samalas

Pada 10 April 1815, Tambora meledak, menyemburkan material vulkanik setinggi 43 kilometer. Awan panasnya menyebar hingga radius 820 kilometer dan menimbulkan hujan abu hingga radius 1.300 kilometer.

“Letusan Tambora memang dahsyat. Magnitudo letusannya, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8 skala. Aliran awan panas itulah yang menghancurkan Semenanjung Sanggar, memusnahkan Kerajaan Tambora dan Pekat, serta menyisakan Kerajaan Sanggar yang sekarat,” tulis Ahmad Arif (hlm. 51).

Dambak global letusan Tambora terasa hingga setahun setelahnya di Eropa. Orang Eropa mengenal tahun 1816 sebagai “tahun tanpa musim panas”. Gagal panen terjadi di mana-mana dan epidemi tifus merajalela dari Eropa hingga Mediterania (hlm. 52).

Orang barangkali paling mengenal letusan Tambora itu sebagai yang terbesar dan paling mematikan. Namun, fakta itu terkoreksi pada 2013 lalu kala Franck Lavigne dari Universite Paris Pantheon-Sorbonne bersama 14 peneliti gunung api lain menerbitkan makalah berjudul “Source of the great A.D. 1257 mystery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia” dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (no. 42, vol. 110, 2013)

Tim Lavigne kala itu juga melibatkan geolog-geolog Indonesia, yaitu Geolog Museum Geologi Indyo Pratomo, Danang Sri Hadmoko dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dan mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono.

Tim Lavigne meneliti jejak-jejak vulkanik yang mengendap dalam inti es di Pulau Greenland dan Antartika. Metode ini telah cukup teruji untuk meneliti aktivitas vulkanisme di masa lalu beserta dampak lingkungannya. Sampel jejak vulkanik dalam inti es itu lantas dikombinasikan dengan beberapa data geologi untuk memastikan dari mana asalnya.

Salah satu temuan tim Lavine adalah “erupsi misterius” yang berdasarkan penanggalan radiokarbon terjadi antara kurun 1257-1259. Timnya bahkan memperkirakan erupsi misterius itu lebih kolosal daripada erupsi Krakatau pada 1883 dan Tambora pada 1815.

“Berdasarkan bukti-bukti menarik dari data stratigrafi dan geomorfik, vulkanologi fisik, penanggalan radiokarbon, geokimia dari sisa-sisa semburan material vulkanik, dan kronik sejarah, kami berpendapat bahwa sumber letusan yang lama dicari ini adalah gunung Samalas, (yang dulunya) bersebelahan dengan Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Indonesia,” tulis Lavigne dan kawan-kawan.

Infografik Letusan Gunung Samalas

Letusan yang Tercatat di Babad Lombok

Dalam makalahnya, Tim Lavigne juga menyebut beberapa kemungkinan gunung lain yang menjadi asal jejak vulkanik itu. Di antaranya adalah Gunung Okataina di Selandia Baru, Gunung El Chichón di Meksiko, dan dan Gunung Quilotoa di Ekuador. Namun, tak satu pun gunung-gunung api itu yang menunjukkan kecocokan data vulkanologi dan perkiraan waktu letusan.

Gunung Samalas menjadi kandidat terkuat karena ada catatan erupsinya dalam historiografi tradisional Babad Lombok. Data penanggalan dalam kronik yang ditulis di lontar berbahasa Jawa Kuno itu cocok dengan perkiraan penanggalan radiokarbon Tim Lavigne.

Bait ke-274 dan ke-275 dari Babad Lombok ini, yang disertakan dalam makalah Lavigne (PDF), adalah gambaran paling jelas tentang letusan Samalas pada 1257

274. Gunung Renjani kularat, miwah gunung samalas rakrat, balabur watu gumuruh, tibeng desa Pamatan, yata kanyut bale haling parubuh, kurambangning sagara, wong ngipun halong kang mati.

275. Pitung dina lami nira, gentuh hiku hangebeki pretiwi, hing leneng hadamparan, hanerus maring batu Dendeng kang nganyuk, wong ngipun kabeh hing paliya, saweneh munggah hing ngukir.

(274. Gunung Rinjani longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.

275. Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng, diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit).

Tim Levigne memperkirakan erupsi Gunung Samalas memuntahkan 40 kilometer kubik material vulkanik dengan ketinggian kolom letusan 43 kilometer. Erupsi sedahsyat itu lantas menimbulkan hujan abu masif hampir di seluruh dunia dan memengaruhi iklim global.

Dua per tiga tubuh Gunung Samalas hancur dan meninggalkan jejak berupa kaldera Segara Anak. Di tengah kaldera itu kini tumbuh gunung baru bernama Barujari. Kira-kira di sekitar titik itulah kerucut Gunung Samalas berada.

Catatan Babad Lombok ini dikonfirmasi pula oleh dua sumber kronik sezaman dari Perancis dan Inggris. Dari kronik-kronik Eropa diketahui terjadinya anomali cuaca di Eropa bagian utara dan barat. Anomali itu berupa penurunan suhu kala musim panas dan menghangatnya cuaca di musim dingin sekitar kurun 1257-1258.

“Menghangatnya musim dingin di wilayah kontinen belahan utara jadi dikenali sebagai respon dinamis atmosfer tersebab lontaran sulfur pekat di daerah tropis, itu bukti atas perkiraan letusan pada 1257. Persebaran deposit tephra (lontaran material vulkanik saat erupsi) Gunung Samalas yang mengarah ke barat kompatibel dengan waktu berhembusnya angin timur yang biasa dimanfaatkan untuk pelayaran dagang yang terjadi selama musim kemarau. Data ini memberi perkiraan bahwa erupsi terjadi antara Mei hingga Oktober 1257,” tulis Tim Lavigne di bagian akhir makalahnya.

Sayangnya, data-data, dokumentasi, atau penelitian sejarah dan arkeologi di lingkungan kompleks gunung Samalas atau Rinjani sangat minim. Padahal, hal itu penting untuk menguji lebih lanjut data-data dari penelitian Tim Lavigne.

Selama ini penelitian arkeologi dan sejarah di sekitar Gunung Tambora telah berhasil mengungkap kebenaran letusan kolosal yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa. Riset lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap misteri erupsi Samalas dan dampaknya bagi lingkungan lokal dan global. Ini penting, khususnya untuk pengawasan dan mitigasi bencana geologi di kawasan NTB di masa depan.

Baca juga artikel terkait GEMPA NTB atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan