tirto.id - Sejak 2011 hingga 2016, pertumbuhan nilai realisasi investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di Indonesia tumbuh rata-rata 10,66 persen per tahun. Pertumbuhan hingga dua digit ini tentu hal yang positif.
Pertumbuhan realisasi investasi yang tinggi memang menjadi ambisi pemerintahan Presiden Jokowi. Tahun ini saja, Presiden Jokowi menargetkan total realisasi investasi mencapai Rp670 triliun. Bahkan, tahun depan ditargetkan tumbuh 25,4 persen menjadi Rp840 triliun.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai penjaga gawang investasi, tentu punya tugas berat merealisasikan target-target besar ini. Selain menggelar promosi investasi di berbagai tempat, BKPM juga menggelar berbagai pertemuan dengan investor untuk menarik investasi, dan penataan layanan perizinan yang cepat dan mudah seperti izin satu pintu hingga izin 3 jam sejak 2015.
Hasilnya tak mengecewakan memang, catatan peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business Indonesia kian membaik--dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 91 pada 2017 atau meningkat sebesar 15 poin. Peningkatan paling besar terlihat dari indikator kemudahan memulai usaha. Pada 2016, Indonesia mendapatkan nilai 67,51 dan menempati posisi ke-167, kemudian meningkat menjadi 76,43 dan menempati posisi ke-151 pada 2017.
Namun, di balik catatan-catatan positif dan segala upaya yang telah dilakukan. Pertanyaan besarnya adalah ke manakah investasi itu mengalir dan adakah dampaknya?
Secara prinsip penanaman modal baik itu dalam negeri (PMDN) ataupun luar negeri untuk membangun perekonomian dan mengurangi kesenjangan yang terjadi di Indonesia. Sayangnya, tren positif investasi masih belum dapat memeratakan pembangunan di Indonesia. Ini terjadi karena lokasi realisasi penanaman modal masih dominan berpusat di Pulau Jawa.
Berdasarkan data BKPM, nilai realisasi investasi PMA dan PMDN di Pulau Jawa pada 2015 mencapai Rp296,7 triliun atau sebesar 54,4% dari total investasi di Indonesia. Porsi investasi di Pulau Jawa sedikit menurun pada 2016 yang hanya 53,6% atau sebesar Rp328,7 triliun. Investasi tersebut terpusat di DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Di luar Pulau Jawa, investasi yang porsinya masih di atas 10 persen terlihat berada di Kalimantan dan Sumatera dengan masing-masing 11,2 persen dan 19,2 persen pada 2016. Pada 2016, nilai realisasi investasi di Kalimantan sebesar Rp68,8 triliun atau menurun dari Rp93 triliun di 2015. Sedangkan di Sumatera, nilai realisasi investasinya mengalami peningkatan dari Rp84,4 triliun di 2015 menjadi Rp117,6 triliun di 2016. Pulau Sumatera dan Kalimantan termasuk yang masih beruntung karena menempel Pulau Jawa dari sisi realisasi investasi.
Suka tidak suka, ketimpangan realisasi investasi ini berimplikasi ke persoalan yang lebih nyata. Ambil contoh, persentase penduduk miskin di luar Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan di Pulau Jawa. Berdasarkan data BPS sejak Maret 2014 hingga September 2016, secara umum menunjukkan persentase penduduk miskin di Pulau Jawa dan Kalimantan serta Sumatera lebih rendah dibandingkan yang berada di luar ketiga pulau tersebut.
Bila dilihat secara khusus untuk periode September 2016, provinsi yang masuk dalam tiga besar pulau dengan investasi terbesar di Indonesia memang memiliki persentase penduduk miskin yang lebih rendah dibandingkan pulau lainnya. Di Pulau Jawa, khususnya di provinsi DKI Jakarta misalnya, persentase penduduk miskin di ibu kota negara ini per September 2016 tercatat hanya 3,75 persen. Sedangkan, persentase penduduk miskin di provinsi Papua mencapai 28,4 persen.
Selain kemiskinan, hal lain yang terlihat dari kesenjangan investasi adalah tingkat pengangguran terbuka yang lebih tinggi di provinsi di pulau-pulau dengan realisasi investasi yang lebih kecil. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional, tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2016 di DI Yogyakarta sebesar 2,72 persen, sedangkan di Sulawesi Utara mencapai 6,18 persen.
Namun, korelasinya ini memang tak langsung ajek hubungan antara realisasi investasi dengan pengangguran. Misalnya angka TPT di DKI Jakarta untuk periode yang sama hingga mencapai 6,12 persen, lebih tinggi dibandingkan Bali yang bernilai 1,89 persen--yang merupakan luar Pulau Jawa. Ini karena ada pengaruh dari variabel lainnya, seperti dinamika politik serta banyaknya jumlah pencari kerja di daerah tersebut.
Upaya untuk mengurangi dampak kesenjangan tersebut adalah dengan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya tak hanya di sekitar Pulau Jawa. Salah satu yang perlu dilakukan pemerintah adalah percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya di daerah luar Jawa. Adanya infrastruktur yang mumpuni akan memudahkan investasi masuk ke suatu wilayah.
Pemerintah juga perlu memperbaiki kemudahan perizinan pendirian usaha dari segi prosedur, waktu, dan biaya untuk investasi. Ini dapat dilihat dari penilaian Ease of Doing Business, jaminan perlindungan bagi para investor kecil juga penting untuk dilakukan. Sehingga akan tercipta iklim berbisnis yang lebih baik dan akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Tentu saja, investasi itu bisa menyebar ke seluruh wilayah Indonesia agar ada pemerataan ekonomi. Sehingga realisasi investasi tak hanya menjadi catatan dan laporan yang biasa diumumkan rutin setiap tiga bulan dengan angka-angka positif.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra