tirto.id -
Gerakan Buruh Indonesia (GBI) dalam siaran persnya, Senin (28/3/2016) menegaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur tentang pemidanaan terhadap aksi unjuk rasa. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai tidak dapat dijadikan dasar sebagai lansadan pemidanaan.
Hal tersebut disampaikan GBI menyusul penangkapan sejumlah aktivis buruh saat aksi menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, pada 30 Oktober 2015 lalu. “Aksi buruh pada 30 Oktober 2015 yang melebihi jam pemberlakuan aksi tidak bisa dipidanakan karena hanya diatur dalam peraturan Kepala Kepolisian RI,” demikian isi siaran pers GBI.
Menurut GBI, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum hanya mengatur sanksi terhadap aksi massa, yaitu pembubaran saja, bukan pemidanaan. Karena itu, GBI mengecam keras kriminalisasi yang dilakukan terhadap 23 aktivis buruh, dua pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan seorang mahasiswa.
Pasalnya, menurut GBI, dalam aksi menolak PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut, meskipun melebih waktu pemberlakuan aksi, namun buruh tidak melakukan tindak kriminal apa pun. Justru 26 orang yang menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendapatkan tindak kekerasan berupa pukulan, tendangan hingga semprotan gas air mata dari aparat yang berupaya membubarkan aksi.
Dalam aksi tersebut, massa buruh juga tidak melakukan perusakan sama sekali. Justru mobil komando milik massa buruh yang mengalami kerusakan karena tindakan aparat yang represif dalam membubarkan aksi.
Karena itu, GBI meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggunakan hati nurani dalam menyidang 26 orang tersebut dengan membebaskan secara murni.
GBI juga menyatakan akan terus melakukan aksi mulai 1 April 2016 hingga peringatan Hari Buruh 1 Mei 2016 atau "May Day" untuk menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang berorientasi pada upah murah serta menolak kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. (ANT)