tirto.id - Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat nomor 4 di dunia menunjukkan percepatan urbanisasi yang signifikan. Merujuk pada laporan Bank Dunia, lebih dari setengah populasi tinggal di daerah perkotaan dan pada tahun 2045 proporsinya akan menyentuh hampir 75%.
Sayangnya, sarana transportasi publik yang tersedia tidak cukup memuaskan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan kepemilikan mobil dan sepeda motor di perkotaan tumbuh signifikan dan berdampak pada tingkat kemacetan.
Tim analis dari Bank Dunia menemukan bahwa kemacetan lalu lintas yang tinggi di kota-kota besar di Indonesia menelan biaya setidaknya USD5,6 miliar (Rp87,36 triliun) secara nasional per tahun atau setara dengan 0,47% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2021 (asumsi kurs Rp15.500/USD, PDB 2021 sebesar USD1.186 triliun).
Perhitungan biaya tersebut merupakan kerugian yang ditimbulkan dari kelebihan waktu perjalanan, konsumsi bahan bakar, dan emisi gas rumah kaca.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Polana B Pramesti, menyampaikan temuan yang senada. Polana menyebutkan bahwa kemacetan di enam kota besar di Indonesia membuat pemborosan Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 2,2 juta liter per hari.
“Kerugian ekonomi sebesar Rp71,4 triliun per tahun akibat pemborosan BBM dan kehilangan waktu di 6 kota metropolitan,” ungkap Polana dikutip dari VOI.
Lebih lanjut, TomTom sebuah lembaga spesialis teknologi geolokasi asal Belanda mengembangkan indeks kemacetan 404 kota di 58 negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2021, TomTom menemukan bahwa waktu tempuh perjalanan penduduk Jakarta bertambah rata-rata 37% di pagi hari dan hingga 65% pada sore hari.
Figur 1. Tabel tingkat kemacetan Jakarta berdasarkan rentang waktu
Sumber: TomTom
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas, diketahui bahwa pada hari Senin pukul 08.00 pagi, waktu tempuh di Jakarta menjadi 37% lebih lama dari waktu normal. Atau perjalanan yang umumnya ditempuh dalam waktu 30% saat kondisi arus bebas, akan memakan waktu sekitar 11 menit lebih lama karena adanya kemacetan.
Solusi Macet, Dari TransJakarta hingga ERP
Pemerintah Indonesia sudah menerapkan berbagai upaya untuk mengurai tingkat kemacetan di kota-kota besar. Ibukota Jakarta menjadi contoh utama cerminan usaha untuk mengurangi kemacetan.
Pemerintah daerah mengenalkan berbagai solusi, termasuk sistem Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, peraturan ganjil-genap untuk kendaraan roda empat, MRT, dan Jak Lingko.
Sayangnya semua kebijakan tersebut belum membuahkan hasil yang optimal. Pasalnya, data Statistik Komuter Jabodetabek menunjukkan 2 dari 3 orang komuter pada 2019, masih menggunakan kendaraan pribadi dan ojek pada untuk perjalanan sehari-hari.
Selain langkah kebijakan di atas, pemerintah masih menyimpan beberapa alternatif senjata rahasia yang hingga saat ini masih digodok, salah satunya adalah Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar. Solusi ERP pertama kali didiskusikan pada tahun 2006, dan tahun ini solusi tersebut kembali diangkat karena sudah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2022-2023.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta mendefinisikan ERP sebagai metode pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai kepada satu titik permintaan penggunaan jalan tidak lagi melampau kapasitas jalan.
Singapura adalah negara pertama yang memberlakukan penetapan harga zona atau dikenal dengan istilah cordon pricing, yang merupakan bentuk pemungutan biaya kepada pengemudi yang berkendara ke dan/atau di dalam area tertentu. Pendekatan ini umumnya digunakan untuk mengelola lalu lintas di area padat.
Metode cordon pricing yang diimplementasikan Negeri Singa pertama kali adalah skema perizinan area (ALS) yang berlaku pada 1975. Penerapan ALS membutuhkan waktu persiapan kurang lebih 3 tahun untuk membangun sistem manajemen kemacetan, pemetaan jalan, pemasaran, dan pengembangan transportasi publik.
Pemerintah Singapura kemudian memutuskan untuk beralih ke ERP di tahun 1998 dengan alasan operasional ALS yang dilakukan manual akan jadi lebih sulit dan mahal jika area makin besar.
ERP ditempatkan di ruas jalan yang menghubungkan ke kawasan pusat bisnis , di sepanjang jalan tol, dan jalan arteri dengan lalu lintas padat. Per tahun 2022, terdapat 78 ERP yang terpasang di seluruh penjuru negeri, dilansir dari Dollars and Sense.
Tarif ERP umumnya ditetapkan dalam jangka waktu 30 menit dan disesuaikan untuk menjaga agar lalu lintas tetap bergerak pada kisaran kecepatan optimal 20 hingga 30 km/jam di jalan arteri dan 45-65 km/jam di jalan tol. Selain itu, biaya ERP juga ditentukan oleh jenis dan ukuran kendaraan. Kendaraan yang lebih besar membayar lebih mahal.
ERP di Singapura hanya beroperasi dari hari Senin hingga Sabtu pada pukul 07.00-22.30. Pengeculian diberlakukan pada hari libur nasional, seperti malam tahun baru, Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan seterusnya. Tarif ERP ditinjau setiap kuartal dan disesuaikan selama periode liburan sekolah bulan Juni dan Desember, berdasarkan kondisi lalu lintas saat itu.
Apabila rata-rata kecepatan kendaraan di atas batas normal, maka tarif ERP akan diturunkan. Jika sebaliknya, maka tarif ERP akan dinaikkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengenaan tarif bergantung pada perilaku mengemudi.
Sumber: Onemonitoring
Gambar di atas adalah salah satu skema harga yang berlaku di jalan Bestier untuk tipe mobil, taksi dan kendaraan barang ringan, yang diklasifikasikan sebagai 1 satuan mobil penumpang (passanger car unit/PCU). Untuk sepeda motor akan berlaku setengah harga dari tarif di atas.
Selain Singapura, terdapat beberapa kota di negara lainnya yang juga menerapkan skema jalan berbayar, yakni London-Inggris, Stockholm di Swedia, dan Manhattan di Amerika Serikat.
Keuntungan dan Tantangan ERP
Implementasi ERP sudah dilakukan oleh Singapura lebih dari 30 puluh tahun. Hal ini menunjukkan manfaat yang didapat dari penerapan sistem tersebut sangat menguntungkan, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi pengguna jalan.
Melansir analisis Development Asia, Otoritas Transportasi Darat Singapura menunjukkan bahwa ERP berdampak pada mayoritas komuter (60%) untuk lebih memilih menggunakan transportasi publik. Pemerintah juga tercatat mampu menampung pendapatan hingga SD80 juta per tahun atau setara dengan Rp920 miliar (asumsi kurs Rp11.500/SD). Pemerintah Negeri Singa mengantongi keuntungan sekitar Rp736 miliar karena biaya operasional tahunan hanya sebesar Rp184 miliar atau SD16 juta.
Sementara itu, penelitian oleh Schuitema menemukan bahwa pemberlakuan sistem jalan berbayar di Singapura menurunkan tingkat kemacetan hingga 73 persen pada awal penerapan. Kemudian seiring berjalannya waktu, meski jumlah kepemilikan kendaraan bertambah, tapi tingkat kemacetan masih 31 persen lebih rendah dari sebelum implementasi kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, kota lain yang menjalankan sistem jalan berbayar juga merasakan penurunan tingkat kemacetan yang signifikan. Di kota Portland di AS, misalnya, tingkat perjalanan kendaraan pribadi turun 31 persen, perjalanan dengan menggunakan bus naik 33 persen, dan tingkat kecelakaan turun hingga 20 persen.
Lalu, implementasi jalan berbayar di kota Stockholm mampu menurunkan kemacetan sekitar 18-20 persen di area sibuk, peningkatan signifikan hingga 50 persen pada penggunaan transportasi publik, serta adanya penurunan tingkat emisi Nox sekitar 10-14 persen. Selain itu, pemerintah kota Stockholm juga meraup pendapatan SEK1,3 miliar atau setara dengan Rp1,95 triliun (asumsi kurs Rp1.500/SEK).
Meski demikian, manfaat besar tersebut diperoleh melalui proses yang cukup menantang. Singapura sebagai negara pionir yang menerapkan sistem ERP, membutuhkan persiapan hingga 9 tahun dengan total biaya, jika dihitung dengan nilai saat ini mencapai SD290 juta atau setara dengan Rp3,34 triliun.
Perlu diketahui pada 1989, pemerintah menghabiskan dana SD200 juta untuk penerapan ERP. Merujuk lembaga moneter Singapura, nilai SD1 di tahun 1998 setara dengan SD1,45 di tahun 2021.
Setengah dari biaya proyek ERP dihabiskan pemerintah Sngapura untuk menyediakan perlengkapan unit dalam kendaran (in-vehicle unit/IU) yang disediakan gratis oleh pemerintah. IU tersebut digunakan untuk mendeteksi kendaraan yang memasuka wilayah jalan berbayar dan membebankan biaya sesuai skema yang ada.
Alhasil, sudah bisa dibayangkan bahwa pemerintah Jakarta kemungkinan besar akan mengeluarkan modal yang lebih besar mengingat jumlah kendaraan di Jakarta lebih banyak dibanding Singapura.
Selain itu, pemerintah juga wajib mengembangkan strategi transportasi yang menyeluruh dan terintegrasi. Persiapan ERP juga harus dibarengi dengan pembenahan transportasi publik yang tersedia agar masyarakat dapat berpindah dengan nyaman. Pembenahan termasuk meningkatkan fasilitas pelayanan, penambahan rute, hingga revitalisasi kendaraan atau kereta.
Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendapat dukungan publik atas proyek jalan berbayar. Ide ERP di Indonesia saat ini mendapat kecaman dari masyarakat karena publik merasa “diperas” oleh pemerintah di tengah situasi ekonomi nasional yang buruk.
Bisa disimpulkan bahwa untuk menerapkan ERP ada 3 komponen biaya yang harus dikeluarkan, yakni biaya untuk persiapan ERP, biaya pembenahan transportasi publik, dan biaya sosialisasi masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah punya tugas yang lumayan berat untuk mensosialisasikan skema ERP dan mencerahkan publik atas manfaat jangka panjang dari jalan berbayar. []
Editor: Nuran Wibisono