tirto.id - Selang dua minggu setelah dilantik, pada 9 Agustus 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy melontarkan gagasan Full Day School. Ide itu langsung mendapatkan banyak penolakan mulai dari DPR, KPAI, psikolog, pengamat pendidikan, hingga petisi online.
Saat diterapkan nanti, Full Day School akan membuat siswa pulang sekolah sore hari yaitu jam 17.00. Tapi seluruh siswa akan serentak diliburkan pada hari Sabtu dan Minggu.
Upaya tersebut diwacanakan untuk meningkatkan pendidikan karakter. Basisnya ialah kejujuran, toleransi, disiplin, hingga rasa cinta Tanah Air.
Tak sampai setahun setelahnya, Peraturan Menteri (Permen) terkait hal itu diterbitkan sebagai payung hukumnya pada, 12 Juni 2017. Permen No.23 Tahun 2017 tersebut bukan lagi bertajuk Full Day School, melainkan "Hari Sekolah".
Sehari setelahnya, Muhadjir menjelaskan bahwa peraturan tersebut sudah jadi dari jauh-jauh hari, tetapi baru tuntas secara administrasi di Kemenkum HAM. Dengan munculnya Permen tersebut, Muhadjir menolak istilah Full Day School.
"Jangan pakai Full Day School karena menyesatkan. Ini bukan Full Day School," ungkap Muhadjir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/6/2017). Muhadjir lebih sepakat memakai istilah sistem penguatan karakter.
Pada minggu ketiga Bulan Juli 2017, kebijakan baru tersebut akan diterapkan. Eksekusi awal akan dilakukan pada sekitar 9.800 sekolah.
Tak Sinkron AntarKementerian
Tapi sosialisasi di kalangan kementerian belum tuntas. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mengaku baru mengirimkan surat berisi saran kepada Mendikbud.
"Harus memperhatikan keadaan-keadaan dan kondisi di daerah. Termasuk sistem sarana dan infrastruktur sekolah di daerah harus diperhatikan juga," kata Yohana di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Di hari yang sama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta rencana penerapan sistem hari sekolah tersebut tak menghabisi keberadaan madrasah diniyah dan pondok pesantren. Sebab kedua lembaga tersebut sudah sejak lama menjadi bagian dari penguatan karakter.
"Harus ada jaminan bahwa penerapan kebijakan tersebut benar-benar justru untuk memberikan pengakuan dan penguatan terhadap eksistensi madrasah diniyah, pondok pesantren, dan sejumlah lembaga pendidikan keagamaan informal dan non formal lainnya, termasuk pengakuan dan pemberdayaan guru-gurunya," terang Menag Lukman di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Menurut Lukman, jaminan penguatan eksistensi madrasah diniyah dan pondok pesantren juga harus tertuang dalam regulasi. Bila tidak ada jaminan tesebut, Menag berpandangan sebaiknya rencana penerapan kebijakan Full Day School ditinjau kembali.
"Jika tidak ada jaminan, sebaiknya dikaji secara lebih mendalam lagi dampak negatif yang ditimbulkannya, karena ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat," tuturnya.
Menjawab hal tersebut, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah Hamid Muhammad mengatakan, guru honorer tidak akan bekerja penuh seperti guru PNS kecuali mereka mendapat tunjangan profesi. Karena itulah, guru honorer dibolehkan bekerja di lebih dari satu sekolah setelah kewajibannya di tempat tersebut selesai.
"Yang delapan jam itu kan guru PNS. Sama guru yang sudah menerima tunjangan profesi. Jadi guru swasta, yang sudah menerima tunjangan profesi penuh berlaku 8 jam di sekolah. Jadi guru honorer silahkan mereka ngajar berapa jam, terus kalau mau pindah ke sekolah lain enggak masalah," ungkapnya di Kemendikbud, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2107).
Di samping itu, kata dia, sekolah-sekolah yang hanya memiliki sedikit guru dan belum berstatus PNS juga belum akan melaksanakan aturan lima hari sekolah dalam Permendikbud tersebut.
"Kalau belum ada PNS, tetap 6 hari dan bisa 24 jam seminggu. Tapi kalau gurunya PNS harus 40 jam," tambahnya.
Penolakan terhadap Permendikbud Nomor 23 tahun 2017, muncul dari Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengungkapkan kebijakan tersebut berangkat dari kekhawatiran berlebihan pada siswa.
Padahal tak semua orang tua siswa adalah pekerja kantoran yang tinggal di kota. Sebagian besar mereka, kata Said bekerja di sektor informal seperti petani, pedagang dan nelayan. Maka dari itu orang tua bisa mengawasi saat anak pulang sekolah.
"Tidak semua orang tua peserta didik bekerja sehari penuh, utamanya mereka yang di pelosok bekerja sebagai petani dan nelayan yang separuh waktunya bisa dipakai bersama-sama dengan anak-anak mereka," katanya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Menurutnya Said interaksi para siswa di luar sekolah di tempat tinggalnya juga merupakan bagian dari pendidikan karakter. Maka dari itu dia berhadap Kemendikbud memperbaiki sistem daripada buat kebijakan baru.
"Yang sudah ada kan sudah baik. Jadi jangan melakukan perubahan yang merugikan banyak pihak. Jadi ayolah kita perbaiki. Di desa-desa semua gitu. Pagi sampai jam 12 kita sekolah, pulangnya madrasah. Malamnya baca Quran," tuturnya.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad mengaku akan merangkul madrasah diniyah dan pesantren. Nantinya siswa bisa pulang pukul 13.00 untuk mengikuti pendidikan karakter di pesantren dan madrasah diniyah.
"Jadi sampai jam 13.00 siswa selesai pulang dulu. Makan jam 14.00. Jam 14.30 mereka ke madrasah diniyah. Bagi daerah yang sudah melaksanakan itu, itu sebenarnya sudah selesai," ungkapnya di Gedung Kemendikbud, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Kerjasama Deradikalisasi dengan MUI
Meski telah terbit payung hukum, polemik belum selesai. Muhadjir akhirnya dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana negara pada, Rabu (14/6/2017).
Usai bertemu Jokowi, Muhadjir berunding dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI memang sejak ide Full Day School muncul, sudah sepakat.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi mengapresiasi kebijakan Mendikbud. "MUI dapat memahami dan mengapresiasi program PPK Kemendikbud tersebut. MUI menganggap kebijakan yang dilakukan Kemendikbud ini sangat tepat dan sesuai dengan kebutuhan penguatan karakter bangsa," kata Zainut di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, menjelaskan pertemuan Muhadjir dengan MUI tersebut guna jalin kerjasama deradikalisasi.
"Mengawasi sekolah yang alirannya ekstrem, itu kan bagus dan memastikan anak belajar agama sesuai yang dianut. Kita akan fasilitasi lah. Bagus lah kalau ada yang ikut bantu. Terutama sekolah-sekolah yang tendensinya aliran keras. Kalau nanti MUI ikut bantu kan bagus," ungkap Hamid di gedung Kemendikbud, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Dalam pertemuan tersebut, kata Hamid, Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin menilai memang perlu adanya penguatan karakter sejak dini. Hal itu akan menjadikan generasi penerus Indonesia mampu bersaing hadapi tantangan globalisasi.
Ma'ruf juga meminta agar penerapan sistem sekolah sampai sore tersebut tak diterapkan secara serentak. "Pelaksanaannya bertahap. Sesuai saran dari MUI dan akan dilakukan koordinasi dengan Kemenag untuk petunjuk atau pedoman pelaksanaannya," tuturnya.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana