tirto.id - Alkisah, pada suatu hari dalam dekade 1910-an, Albert Einstein melihat seorang pekerja sedang membersihkan jendela apartemen. Fisikawan muda itu telah memiliki cukup reputasi di kalangan akademik--tetapi belum populer di dunia awam--wabilkhusus setelah mencetuskan teori relativitas khusus (E=mc2). Ia kemudian berpikir: Apa yang terjadi dengan si pekerja seandainya ia jatuh?
Andai pekerja pembersih jendela itu terjatuh, mati atau cedera parah tentu akan muncul dalam pikiran orang-orang biasa sebagai buah dari sebab-akibat. Karena otaknya telah dipengaruhi pemikiran Isaac Newton dan James Clerk Maxwell, Einstein punya pikiran berbeda. Hanya gravitasi yang bisa membuat si tukang bersih-bersih jatuh, demikian pikir Einstein. Hanya gravitasi yang membuatnya memiliki akselerasi ke bawah. Sialnya, karena di bawah terdapat permukaan Bumi, akselerasi tubuh yang meluncur ke bawah itu lalu terhenti.
Einstein pun berpikir kembali. Bagaimana jika si pekerja jatuh dan tidak ada muka Bumi yang membuatnya terhenti? Pikir Einstein, karena tidak ada lagi penghalang--dan terlebih karena menurut hukum Newton kecepatan tidak pernah mutlak, tetapi relatif terhadap pembanding (dalam hal ini Bumi)--maka keadaan jatuhnya si pekerja sama dengan keadaan astronaut yang melayang-layang di angkasa alias weightless.
Berkat imajinasi ini Einstein berkesimpulan bahwa gravitasi dan akselerasi sesungguhnya merupakan jalan berbeda untuk mendeskripsikan hal yang sama. Dari kesimpulan ini, Einstein membayangkan kejadian lain: seandainya seorang astronaut berbobot 80 kg berada di wahana yang terbang secara vertikal di angkasa dengan kecepatan 9,8 meter/detik2, berapa bobot si astronaut? Lagi-lagi, dengan merujuk hukum Newton, bobot astronaut yang sedang terbang vertikal ke angkasa itu tidak memiliki perbedaan dengan bobotnya sewaktu di Bumi. Ini terjadi karena kecepatan wahana sebesar 9,8 meter/detik2, setara dengan gaya gravitasi Bumi.
Khayalan Einstein tak berhenti. Lantas, bagaimana jika si astronaut yang tengah melaju vertikal di luar angkasa itu menembakkan senter ke dinding wahananya? Ketika Einstein merujuk hukum Newton, cahaya senter yang mengenai dinding akan melengkung. Kesimpulan ini ia ambil dari pemikiran tentang tindak-tanduk cahaya oleh Newton. Newton, dalam studinya berjudul “Opticks” (1704) menyatakan bahwa “karena (akselerasi), tindakan tersebut membelokkan cahaya.”
Sayangnya, pemikiran Newton ini sebatas pemikiran kualitatif, tidak menjelaskan secara matematis bagaimana pembelokkan cahaya terjadi. Pikir Einstein, prediksi Newton soal cahaya terpengaruh gravitasi berbanding terbalik dengan hukum Maxwell yang menerangkan bahwa kecepatan gelombang elektromagnetik seperti cahaya bersifat tetap. Apapun yang terjadi, tak peduli halangannya, cahaya akan meluncur dengan kecepatan 299.792.458 meter/detik. Artinya, ketika astronaut itu menembakkan senter ke dinding wahananya, sinar yang ditembakkan seharusnya lurus, tidak bengkok. Bagi Einstein, perbedaan hasil yang diberikan hukum Newton dan hukum Maxwell merusak prinsip persamaan.
Tentu saja, di titik ini khayalan Einstein belum berakhir. Hukum Newton dan Maxwell mungkin tidak salah. Alasannya, prinsip kerja cahaya adalah ia akan mengambil jalur terpendek dari poin asal (A) ke poin tujuan (B). Maka, pikir Einstein, jalan terpendek bagi cahaya yang ditembakkan dari senter ke dinding wahana bukanlah jalur lurus, melainkan melengkung. Prinsip ini sama dengan keadaan di Bumi. Coba cek Google Maps/Google Earth, jalur terpendek antara dua titik terjauh di Bumi tidak pernah merupakan garis lurus karena Anda harus melintasi permukaan Bumi yang berbentuk geometri. Ya, tidak ada keraguan bahwa Bumi itu bulat, kawan.
Gravitasi mungkin menyebabkan kelengkungan atas ruang dan membuat cahaya--sesuai hukum Newton dan tetap menjunjung hukum Maxwell--melengkung. Dari spekulasi ini dan kerja akademik bertahun-tahun, Einstein mempublikasikan “The Foundation of the General Theory of Relativity” (1916) (catatan: relativitas umum Einstein telah dibicarakan kalangan akademik sekitar 1907 hingga 1915, 1916 adalah tahun ketika Einstein mempublikasikannya secara formal). Jika Anda tak sempat membaca studi Einstein tersebut, secara singkat teori relativitas Einstein berkata: “Ruang memberitahu bagaimana materi (benda) bergerak, dan materi (banda) memberitahu ruang bagaimana melengkung.”
Tentu saja, dalam pemikiran ini gravitasi bukanlah gaya fundamental alam, tarik-menarik benda seperti yang diutarakan Newton, melainkan suatu keadaan di mana materi (benda) melengkungkan ruang. Dan karena ruang dilengkungkan materi, materi yang ada di sekitarnya seakan tertarik. Sebagaimana merujuk “Einstein, Eddington and the 1919 Eclipse” (2019) yang ditulis Peter Coles dari University of Nottingham, ini bertentangan dengan hukum Newton. Ya, baik hukum Newton maupun relativitas umum Einstein sesungguhnya memang tidak menjelaskan bagaimana gravitasi bekerja (sesuatu yang masih menjadi misteri hingga saat ini), tetapi menjelaskan sebab-akibat dari gravitasi.
Di tengah situasi Perang Dunia I, hukum gravitasi yang ditemukan bangsawan Inggris terancam oleh hukum baru yang ditemukan seorang Yahudi Jerman. Pembuktian kerja akademik Einstein disebut-sebut menggoyang kedigdayaan sains Inggris. Uniknya, sekitar tiga tahun kemudian, kerja akademik Einstein soal relativitas umum sukses dibuktikan oleh seorang ilmuwan Inggris. Melalui sebuah foto.
(Catatan: Untuk memudahkan memahami relativitas umum, silakan lihat publikasi NASA ini)
Gerhana Einstein: Foto yang Membuatnya Dicap Jenius
Dalam relativitas umum, singkat kata, cahaya melengkung karena kehadiran gravitasi. Cara terbaik untuk membuktikannya adalah dengan melihat gerhana matahari, dengan melihat di mana sesungguhnya matahari berada ketika gerhana berada. Pasalnya, dalam pemahaman umum, ketika gerhana Matahari terjadi seharusnya matahari-Bulan-Bumi berada dalam posisi sejajar. Einstein, melalui relativitas umumnya, menyatakan bahwa tatkala gerhana matahari terjadi, cahaya matahari itu melengkung 1,75 detik busur (second of arc) dari posisi asalnya. Sementara itu, mengikuti hukum Newton, cahaya matahari memang melengkung, tetapi tidak signifikan. Hukum Newton memprediksi bahwa cahaya matahari hanya melengkung 0,86 detik busur.
Dennis Overbye, dalam paparannya untuk The New York Times, menyebut pembuktian relativitas umum Einstein soal gravitasi dilakukan pertama kali pada 1914 oleh seorang astronom Jerman bernama Erwin Finlay-Freundlich. Pada tahun itu, Finlay-Freundlich terbang ke Crimea untuk mengamati gerhana matahari, menyingkap di mana sebenarnya matahari berada ketika gerhana terjadi. Nahas, karena Perang Dunia I baru saja dimulai, Finlay-Freundlich dihadang pasukan Rusia, dianggap sebagai mata-mata dan kamera khusus miliknya dirampas.
Pada 1916, gerhana matahari kembali muncul. Titik terbaik mengobservasinya ada di Venezuela. Finlay-Freundlich kembali ingin membuktikan coret-coretan Einstein. Sayangnya, peluang ini menguap begitu saja karena kamera miliknya dirampas dan tidak dikembalikan.
Akhirnya, tibalah 1919. Sesuai prediksi para ilmuwan, gerhana matahari akan muncul tepatnya pada 29 Mei 1919.
Para ilmuwan memprediksi gerhana yang terjadi akan jauh lebih istimewa kali ini karena akan muncul berbarengan dengan bintang-bintang lainnya atau dikenal dengan sebutan Hyades. Ketika terjadi gerhana matahari , karena kemudian menghasilkan kondisi yang cukup gelap, bintang-bintang yang ada di sekitar matahari akan mudah terlihat. Dari ini, tim peneliti yang menguji pemikiran Einstein dapat memetakan lokasi matahari sesungguhnya.
Sayangnya, Erwin Finlay-Freundlich tak pergi untuk membuktikan relativitas umum Einstein. Kali ini, astronom asal Inggris bernama Arthur Stanley Eddington melakukannya. Dalam paparan Peter Coles untuk Nature, Eddington membentuk tim untuk melakukan pengukuran. Tim pertama, yang beranggotakan ilmuwan bernama Charles Davidson dan Andrew Crommelin, pergi ke wilayah bernama Sobral di Brazil. Tim kedua, selain diikuti Eddington dan Edwin Cottingham, pergi ke Principe di ujung Afrika Barat.
Kembali merujuk Overbye, awalnya pembuktian yang dilakukan tim ilmuwan yang dikepalai Eddington kemungkinan akan berakhir dengan kegagalan. Bagaimana tidak, di tanggal 29 Mei itu, tatkala Davidson dan Crommelin tiba di Sobral, cuaca buruk menyelimuti wilayah tersebut. Dan di Principe, Eddington dan Cottingham harus ikhlas menerima kenyataan bahwa wilayah yang mereka datangi untuk menguji teori Einstein tengah mengalami musim hujan.
Alam nampaknya berkehendak lain. Di menit-menit jelang gerhana matahari hendak mencapai titik sempurna, kedua wilayah yang didatangi tim ilmuwan tiba-tiba cerah. Memanfaatkan alat bernama astrograph--semacam teleskop yang dimodifikasi untuk menghasilkan foto langit melalui plat tembaga yang telah disiapkan--kedua tim lalu memotret gerhana matahari . Gerhana matahari itu akhirnya diabadikan melalui foto. Tepatnya, tiga buah foto. Dua dari Sobral dan satu dari Principe.
Setelah dibawa pulang dan diteliti di London, foto yang dihasilkan dari tim yang berlokasi di Sobral menyatakan bahwa cahaya matahari memang melengkung. Melengkung sekitar 1,98 detik busur dari posisi matahari, seandainya matahari-Bulan-Bumi benar-benar lurus. Angka itu lebih mendekati apa yang diprediksi Einstein melalui teori relativitas umum. Di sisi lain, foto lain yang dihasilkan tim Sobral menyatakan sinar matahari melengkung sebesar 0,86 detik busur, tidak jauh dari hukum Newton. Terakhir, foto yang dihasilkan oleh Eddington menyatakan bahwa cahaya matahari melengkung sekitar 1,61 detik busur, sesuai dengan prediksi Einstein.
Singkat kata, ketiga foto tak memberikan kesimpulan utuh bahwa Einstein benar atau salah.
Uniknya, dalam publikasi resmi Eddington, ilmuwan muda asal Inggris ini menyatakan bahwa relativitas umum Einstein benar dan teruji. Eddington menegaskan hal tersebut selepas ia hanya menggunakan data dari foto yang dihasilkan dari Principe. Menurutnya, foto-foto yang dihasilkan di Sobral cacat. Kemungkinan, terdapat kesalahan lensa yang membuat astrograph tidak bekerja dengan baik. Awalnya, hasil kerja Eddington membuktikan kebenaran Einstein diragukan. Eddington dianggap sebagai penggemar Einstein, dan memilih menggunakan foto yang mendukung Einstein. Namun, masih merujuk Overbye, astrofisikawan dari University of Arkansas bernama Daniel Kennefick menyatakan bahwa Eddington bukanlah fans Einstein. Ia justru kebalikannya: ilmuwan yang paling skeptis terhadap Einstein.
Ketika pengukuran ulang dilakukan pada 2009, Edward Fomalont, astronom pada National Radio Astronomy Observatory di Charlottesville, Amerika Serikat, menegaskan kembali kebenaran teori Einstein.
Tatkala kerja ilmiah Eddington dipublikasikan, melalui paper berjudul “A Determination of the Deflection of Light by the Sun's Gravitational Field, from Observations Made at the Total Eclipse of May 29, 1919,” nama Albert Einstein seketika melambung. The New York Times, yang kala itu melaporkan publikasi ini, menyebut bahwa relativitas umum Einstein terbukti membuat “semua cahaya melengkung di langit”. The New York Times juga meminta keterangan Joseph Thomson, President of Royal Society and Royal Astronomical Society, yang menyebut “hasil ekspedisi gerhana menunjukkan bahwa cahaya dari bintang dibengkokkan atau dibelokkan dari jalur normalnya oleh ‘benda udara lain’”. “Benda udara lain” yang dimaksud tak lain adalah gravitasi. Hasil pembuktian ini, tutur Thomson, “memberikan kontribusi paling penting pada pemahaman terbaru atas hukum gravitasi, sejak Newton meletakkan prinsipnya”.
Einstein, karena pemikirannya terbukti benar, jadi selebritis. Selain relativitas umum, teori relativitas khusus-nya, E=mc2, naik pamor dari perbincangan ilmuwan menjadi perbincangan publik. Atas undangan Charlie Chaplin, Einstein pun akhirnya terbang ke Hollywood. Dan di tengah-tengah publik yang mengelu-elukan dua nama hebat itu, Chaplin berbisik sambil bercanda: “Albert, lihatlah orang-orang yang bersorak untuk kita. Mereka bersorak untukku karena mereka paham apa yang aku ucapkan. Namun, mereka bersorak untukmu karena mereka tidak mengerti apa yang kau ucapkan.”
Editor: Windu Jusuf