Menuju konten utama

FITRA Menilai Tingginya Biaya Pemilu Jadi Penyebab Utama Korupsi

Biaya survei pilkada tingkat kabupaten/kota bisa mencapai 100-150 juta rupiah. Ini menjadi salah satu pembiayaan yang mendorong calonkada melakukan korupsi.

FITRA Menilai Tingginya Biaya Pemilu Jadi Penyebab Utama Korupsi
(Ilustrasi) Warga mengamati dokumentasi tentang Pemilu di Galeri Literasi Demokrasi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Solo, Jawa Tengah, Selasa (20/2/2018). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai tingginya biaya pemilihan umum (pemilu) mendorong calon kepala daerah (calonkada) melakukan korupsi, terutama petahana.

Sekjen FITRA, Yenny Sucipto menyatakan terdapat lima jenis pembiayaan yang mendorong calonkada melakukan korupsi.

Pertama, biaya rekomendasi partai atau mahar politik. Menurutnya, besarnya mahar politik yang harus dikeluarkan bakal calonkada masih menjadi hal mendasar adanya korupsi di saat pemilu.

"Terlepas benar atau tidak, apa yang diungkap La Nyalla terkait mahar politik di Gerindra menjadi bukti praktik itu masih berjalan," kata Yenny, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).

Maka, menurut Yenny, jika ingin menghentikan korupsi di Pemilu hal pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan praktik mahar politik.

Kedua, adalah besarnya biaya survei elektabilitas. Menurut Yenny, biaya survei pilkada tingkat kabupaten/kota bisa mencapai 100-150 juta rupiah. Untuk tingkat provinsi bisa mencapai 250-300 juta rupiah.

Sementara, menurut Yenny, sampai saat ini survei elektabilitas masih menjadi patokan dari calonkada untuk menentukan strategi di Pemilu.

Ketiga, adalah biaya kampanye. Menurut Yenny, pemilu secara langsung mengharuskan calonkada melakukan kampanye secara massif demi dekat dengan rakyat. Sementara, itu membutuhkan biaya yang besar.

"Belum lagi ada praktik-praktik politik uang," kata Yenny.

Keempat, kata Yenny, yang tidak kalah besar adalah untuk biaya operasional pilkada. Terutama dalam memobilisasi relawan agar terus giat bekerja melakukan suksesi pemilu.

Terakhir, adalah praktik pembelian suara yang masih terjadi sampai saat ini. Menurutnya, tidak sedikit calonkada yang melakukan praktik ini dalam pilkada. "Salah satu cara mencegahnya dengan memberikan pendidikan pemilu di masyarakat," kata Yenny.

Berbeda dengan Yenny, Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai tingginya biaya pemilu bukanlah alasan pokok yang menyebabkan calonkada melakukan korupsi.

"Biaya tinggi itu untuk pembenaran saja. Menurut saya, yang perlu diperhatikan adalah sistem pemilu itu sendiri," kata Ray, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, (21/2/2018).

Ray menyatakan KPU dan Bawaslu harus lebih ketat dalam mengawasi praktik-praktik kotor dalam pemilu. Misalnya, dengan benar-benar menerapkan sanksi diskualifikasi pada kandidat yang terbukti melakukan praktik kotor dalam pemilu.

"Proses verifikasi faktual seharusnya juga menyelidiki sumber kekayaan calon, bukan hanya kelengkapan dokumen," kata Ray.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora