tirto.id - Thailand berangkat ke Piala AFF 2018 tidak dengan skuat terbaiknya. Kawin Thamsatchan, Chanathip Songkrasin, Teerathon Bunmathan, dan Teerasil Dangda absen. Ini membuat Thailand kehilangan ruh di setiap lini permainan selama gelaran AFF 2018.
Thailand sempat diyakini menjadi tim unggulan meski para bintangnya absen. Namun, Scott McIntyre, pengamat sepakbola Asia punyai pendapat lain. Ia yang biasa menulis di FourFourTwo dan Foxsports Asia, memilih menjagokan Vietnam untuk menjadi juara.
“[...] Sekarang ada dua atau tiga negara lain yang merupakan favorit untuk meraih gelar,” tulis McIntyre di FourFourTwo pada 25 September 2018 lalu.
“Indonesia dengan skuat muda mereka yang bersemangat sudah lebih dari mampu untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan regional, sementara Malaysia juga memiliki kualitas individu yang bisa membuat mereka melaju jauh di dalam kompetisi, tetapi satu-satunya negara yang paling pantas untuk mengangkat tropi di pertengahan Desember adalah Vietnam.”
Sekitar empat bulan setelahnya, pendapat McIntyre itu ternyata mendekati kenyataan. Thailand secara dramatis berhasil dikalahkan Malaysia pada babak semifinal. Setelah bermain imbang 0-0 di Stadion Bukit Jalil pada leg pertama, Malaysia mampu menahan imbang Thailand 2-2 saat bertanding di Stadion Rajamangala, Thailand. Harimau Malaya unggul gol tandang.
Di pertandingan final, Vietnam, tim favorit McIntyre, sudah menunggu mereka. Sebelum sampai ke final, Vietnam berhasil menyingkirkan Filipina pada babak semifinal. Baik saat bertanding di kandang maupun tandang, Vietnam unggul 2-1 atas Filipina -- secara agregat Vietnam unggul 4-2 atas Filipina.
Lantas, tim mana yang paling berpeluang menang?
Pragmatisme ala Vietnam
Selepas Vietnam berhasil menjadi runner-up Piala Asia U-23 pada Januari 2018 lalu, kebahagiaan serta kekhawatiran melebur menjadi satu di Vietnam. Kebahagiaan itu muncul lantaran Vietnam berhasil meraih prestasi di luar dugaan, sedangkan rasa khawatir itu berasal dari gaya bermain Vietnam di sepanjang turnamen.
Di bawah asuhan Park Hang-soe, The Golden Stars tampil begitu pragmatis. Seringkali bermain dengan menggunakan formasi tiga atau bahkan lima bek, Vietnam lebih banyak bertahan. Permainan cair Vietnam yang enak ditonton pun menguap. Statistik Vietnam bisa menjadi bukti: di putaran grup, menghadapi Korea Selatan, Australia, dan Suriah, rataan tingkat penguasaan bola Vietnam dalam tiga pertandingan itu hanya mencapai 29,9 persen; dan di fase gugur, rataan penguasaan bola Vietnam juga hanya mencapai 41 persen.
Perkara itu, setelah berhasil lolos ke final, seorang fans Vietnam pun berkelakar, “Aku mengira saat ini kami seperti Yunani.”
Yang menarik, jika ditelisik lebih jauh, pernyataan fans Vietnam tersebut sebenarnya bukan hanya tentang gaya main saja. Ia jelas khawatir bahwa setelah menjadi runner-up Piala Asia U-23, seperti Yunani setelah meraih sukses di Piala Eropa 2004, Vietnam tak mampu berbicara banyak di dalam turnamen selanjutnya.
Rasa khawatir itu ternyata disadari oleh penggemar Vietnam lainnya. Saat Park Hang-soe meladeni pertanyaan para pembaca VnExpress, seorang pembaca bertanya, “Apakah kesuksesan timnas Vietnam di Piala Asia U-23 hanya bersifat sementara atau menjadi standar baru bagi Vietnam untuk naik level?”
Pelatih asal Korea Selatan itu lantas menjawab pertanyaan itu dengan tegas, “Aku mendengar seseorang berkata bahwa Vietnam hanya beruntung. Keberuntungan dapat datang sekali, atau dua kali, tapi itu tidak akan membawa kami hingga ke partai final. Mereka seharusnya tidak berpikir seperti itu. Sebagai pelatih timnas, aku tidak dapat mengatakan bahwa para pemain Vietnam telah berada dalam standar yang begitu tinggi, tetapi aku pikir kesuksesan ini tidak bersifat ‘sementara’.”
Park lantas membuktikan ucapan itu dalam gelaran Asian Games 2018 lalu, sekaligus membuat para penggemar Vietnam lega. Kala itu Vietnam memang hanya mampu mencapai di peringkat empat. Namun, dalam waktu normal, satu-satunya tim yang berhasil mengalahkan Vietnam hanyalah Korea Selatan -- peraih medali emas -- yang diperkuat oleh Son Heung-min. Selebihnya, Suriah, Jepang, hingga Bahrain dipaksa bertekuk lutut di hadapan The Golden Stars.
Dalam gelaran Piala AFF 2018, gaya pragmatis Vietnam bahkan semakin terlihat meyakinkan. Park mulai mampu mengombinasikan pertahanan rapat dengan kualitas individu pemain-pemain Vietnam. Sering bermain dengan formasi 5-3-2, Vietnam bisa bertahan dengan seluruh pemainnya. Tapi saat menyerang, memanfaatkan skill serta daya ledak para pemain depan, Vietnam bisa membombardir gawang lawan hanya dengan dua-tiga orang pemain saja.
Nguyen Anh Duc, penyerang tengah Vietnam yang sudah mencetak tiga gol di Piala AFF 2018, jago dalam memanfaatkan umpan-umpan langsung. Sementara itu, Nguyen Cong Phuong, yang seringkali menjadi senjata rahasia Vietnam, mempunyai kelebihan untuk melewati dua sampai tiga orang pemain lawan, Phan Van Duc sangat pintar dalam menafsir ruang. Alhasil: dari 12 gol yang dicetak Vietnam di sepanjang turnamen, 10 (gol dan assist) di antarnya melibatkan tiga pemain ini.
Selain itu, berbahayanya setiap serangan yang dibangun Vietnam juga dapat dilihat dari jumlah percobaan tembakan ke arah gawang mereka lakukan. Dalam enam pertandingan di Piala AFF 2018, percobaan tembakan ke arah gawang Vietnam hampir selalu mencapai dua digit. Mereka hanya sekali gagal melakukannya, yakni saat menghadapi Malaysia pada babak penyisihan 16 November 2018 lalu. Kala itu mereka hanya tujuh kali melakukan percobaan tembakan ke arah gawang. Meski demikian, dengan tingkat penguasaan bola hanya mencapai 31,4%, The Golden Stars mampu menang 2-0.
Persoalan Malaysia
Jika Malaysia tidak mempunyai Norshahrul Idlan Talaha, barangkali mereka tidak akan pernah mencapai partai puncak Piala AFF 2018. Bagaimana tidak, dari 9 gol yang dicetak Malaysia di sepanjang turnamen, 6 gol di antaranya terjadi karena penyerang Pahang FA tersebut. Sejauh ini, ia sudah mencetak 5 gol dan mencatatkan 1 assist.
Menyoal itu, Arvind Sriram, jurnalis Fox Sports Asia, bahkan berani menyebut bahwa Idlan merupakan penyerang terbaik di Piala AFF 2018. Alasan Sriram pun sangat masuk akal: Idlan mampu menunjukkan ketajamannya saat Malaysia benar-benar membutuhkannya. Ia mencetak satu-satunya gol ke gawang ke Kamboja, mencetak satu gol dalam pertandingan genting melawan Myanmar, juga mencetak gol penentu ke gawang Thailand.
Masalahnya, ketajaman Idlan tersebut juga memperlihatkan kelemahan Malaysia. Sebagian besar gol Idlan murni terjadi karena insting golnya yang luar biasa, bukan karena kolektivitas tim. Padahal, Malaysia merupakan tim yang paling menonjol perkara penguasaan bola dalam gelaran Piala AFF 2018. Ini bisa dimaknai kolektivitas tim jadi sia-sia karena gol yang berasal dari permainan jarang terjadi.
Saat Malaysia kalah dari Vietnam, Dzung Le, analis sepakbola Vietnam, menjelaskan bahwa Vietnam sengaja memanfaatkan titik lemahnya kolektivitas permain Malaysia untuk meraih kemenangan. Kala itu, bermain dengan formasi 5-3-2 (berubah menjadi 5-4-1 saat bertahan), Vietnam memilih bertahan dengan jarak yang cukup rapat. Jarak antara lini belakang ke lini tengah hanya 15 meter dan jarak antara lini tengah ke depan hanya 30 meter. Tujuan pendekatan taktik itu sangat jelas: Vietnam membatasi opsi umpan pemain-pemain Malaysia.
Pendekatan taktik itu ternyata mujarab. Meski tingkat penguasaan bola Malaysia mencapai 69,6 persen, pemain-pemain Malaysia gagal mendekati gawang Vietnam. Mereka kebingungan untuk mengirimkan umpan ke lini depan. Pada akhirnya, selain kalah, mereka pun hanya mampu melakukan empat kali percobaan tembakan ke gawang dalam pertandingan tersebut -- itu adalah percobaan tembakan paling sedikit yang dilakukan Malaysia di Piala AFF 2018 sejauh ini.
Dengan pendekatan seperti itu, jika ingin menang di pertandingan final yang digelar pada 11 Desember dan 15 Desember 2018 nanti dalam laga tandang dan kandang, Malaysia harus mampu membenahi kolektivitas permainannya. Jika tidak, seperti pada babak penyisihan, Vietnam bisa kembali mengalahkan mereka. Prediksi Scott McIntyre pun bisa menjadi kenyataan.
Editor: Suhendra