Menuju konten utama

Filosofi Peci

Bagi orang Indonesia, peci bukan cuma untuk salat di masjid saja. Lebih dari itu, peci juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia, yang dipakai para pejuang dan pendiri Republik Indonesia.

Filosofi Peci
Ilustrasi Antara foto/Agus Bebeng

tirto.id - Kecuali Megawati Soekarnoputri, semua Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, punya foto resmi dengan kepala tertutup peci. Tampilan mereka yang gagah dengan jas dan peci terpampang di dinding-dinding sekolah dan kantor-kantor pemerintahan.

Tidak hanya para pemimpin negeri ini yang mengenakan peci. Mereka yang ingin menjadi calon kepala daerah, calon anggota dewan pun kebanyakan berkampanye dengan menampilkan fotonya yang gagah mengenakan peci. Tak peduli apapun agamanya, foto kampanye baru terasa sah jika mengenakan peci. Terasa lebih berwibawa, gagah, sekaligus nasionalis. Kombinasi maut yang diharapkan bisa menggaet suara untuk memenangkan pemilu.

Dalam acara resmi kenegaraan, presiden juga biasanya mengenakan peci. Acara pelantikan pejabat, Upacara 17 Agustus, tidak sah jika pejabat yang menghadiri tidak mengenakan peci. Peci memang kini telah menjadi sebuah identitas kebangsaan. Atas alasan itulah Walikota Bandung, Ridwan Kamil terhitung sejak 2014 mewajibkan mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Bandung mengenakan peci setiap hari Jumat.

"Bung Karno menyatakan peci adalah identitas lelaki Indonesia, terlebih menggunakan kopiah bisa tambah ganteng," kata Ridwan Kamil, seperti dikutip dari Antara.

Terlepas apakah benar bisa membuat ganteng atau tidak, tapi Peci adalah lelaki Indonesia. Padahal, peci sebenarnya bukan penutup kepala asli Indonesia. Bagaimana perjalanan peci sehingga bisa menjadi sebuah simbol identitas nasional?

Perjalanan Peci

Peci bisa diartikan juga sebagai kopiah atau songkok. Bicara soal sejarah peci, sebagian orang akan mengacu pada Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki atau petje dari bahasa Belanda, artinya topi kecil. Sementara nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacu pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok.

Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi. Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.

Sebelum ada peci, laki-laki di Indonesia terbiasa menutup kepala dengan ikat kepala. Tanpa tutup kepala, seorang laki-laki dianggap tak jauh beda dengan orang telanjang. Tutup kepala adalah bagian dari kesopanan.

Menurut Rozan Yunos, dalam artikelnya The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times (23/09/2007), peci diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam. Rozan juga menyebut beberapa ahli berpendapat di Kepulauan Malaya peci atau kopiah ini sudah dipakai pada abad XIII. Setelah dipopulerkan para pedagang Arab itu, baru orang Malaysia, Indonesia dan Brunei mengikutinya.

Peci mulai ramai dipakai di Indonesia setelah kain lebih mudah diperoleh. Pemakainya tak selalu berbaju resmi. Ada yang menggunakan peci meski bercelana pendek. Penggunanya pun bukan hanya dari kalangan berada, tetapi juga rakyat jelata.

Zaman dahulu, ketika Raja Bone dijabat La Pawawoi lalu Andi Mappanyuki, Songkok Recca atau peci Bugis ini hanya dikenakan kain bangsawan. Sebuah foto zaman kolonial, memperlhatkan Raja La Pawawoi tengah mengenakan songkok ketika ditangkap pada 1905. Sementara lukisan diri Andi Mappanyuki pun memperlihatkan sosoknya tengah mengenakan songkok. Namun, dalam perkembangannya songkok tidak hanya digunakan oleh kalangan Raja Bone, tetapi juga rakyat biasa. Peci Bugis saat ini jadi bagian dari pakaian daerah Sulawesi Selatan.

Peci, biasanya terbuat dari kain beludru yang diberi rangka plastik padat agar tegak. Di Tanah Bugis, Peci tradisional mereka, terbuat dari pelepah daun lontar yang dipukul-pukul hingga menjadi serat, lalu dianyam. Peci ini disebut Songkok Recca. Ukurannya berbeda dengan peci yang dipakai secara nasional dalam forum resmi masa kini.

Bukan Hanya Kaum Muslim

Di Indonesia peci nyaris identik dengan Islam. Banyak tokoh Islam berfoto dalam keadaan berpeci. Jamaah-jamaah tokoh Islam pun juga pakai peci. Seejak abad XIII peci sudah diperkenalkan kepada orang Islam di Indonesia. Baru pada awal abad XX orang Islam di Indonesia beramai-ramai pakai peci. Dalam perjalanannya, peci dianggap sebagai identitas Islam.

Padahal peci kecil dipakai juga oleh rabi-rabi pemuka agama Yahudi dan juga pemuka agama Katolik. Peci agak besar seperti fez Turki dipakai juga oleh orang-orang Kristen ortodok di sekitar Timur Tengah. Bahkan jilbab juga dipakai wanita-wanita kristen ortodok.

Di Kampung Sawah, di mana orang-orang berkebudayaan Betawi beragama Kristen hidup, memakai peci bagi kaum laki-laki dan kerudung bagi perempuan adalah hal biasa. Perayaan Natal mereka kadang diisi dengan ondel-ondel juga. Mereka berusaha menunjukan Agama Kristen tidak membunuh budaya lokal. Itulah kenapa mereka masih berpeci juga.

Kassian Chepas, 'Sang Pemula' dalam Fotografi Indonesia, juga berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun 1905. Kassian Chepas juga seorang kristen. Nama belakangnya, Chepas, adalah nama baptisnya. Chepas tentu bukan satu-satunya orang Kristen yang pakai peci.

Peci sedemikian lekat dengan Islam, padahal tidak demikian. Walikota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, peci hitam atau kopiah merupakan penutup kepala khas Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan agama Islam.

Bagian dari Sejarah

Peci ikut mewarnai sejarah Indonesia. Banyak tokoh pergerakan nasional setelah tahun 1920an mengenakan peci. Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga dia meninggal.

Soekarno yang besar dalam budaya Jawa tentu beda dengan Thamrin yang besar dalam budaya Betawi, meski dia Indo. Sedari kecil, Soekarno terbiasa dengan blangkon atau tutup kepala khas Jawa. Begitu pun Bapak Bangsa sekaligus Bapak kos Soekarno, Hadji Oemar Said Cokroaminoto. Dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan blangkon sebagai identitas yang diikuti banyak pengikutnya. Belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun berpeci. Blangkon mereka tinggalkan.

Sebagai Ketua umum Sarekat Islam (SI), kebiasaan Cokro tentu diikuti. Awalnya, SI hanya berkembang di Jawa saja. Belakangan, SI berkembang di wilayah di mana blangkon bukan tutup kepala lagi. Apalagi pengurus SI lain yang bernama Agus Salim pun orang Padang. Salim semasa muda juga kebarat-baratan. Belakangan, foto-foto Agus Salim kebanyakan berpeci.

Setelah Indonesia merdeka, seorang pahlawan keturunan Belanda bernama Douwes Dekker pun pakai peci di masa tuanya. Ketika dia jadi menteri. Di masa lalu, dia tak berpeci. Peci tetap jadi tutup kepala yang umum.

Meski tak resmi, Peci sering dipakai sebagai anggota Tentara atau laskar. Mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu sediakan baret dan helm baja. Jika ada yang memakai baret atau helm, itu seringkali hasil rampasan dari tentara musuh.

Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi, Soedirman lebih sering berpeci. Belum ditemukan ada foto Soedirman pakai baret. Itu bukan sesuatu yang ketinggalan zaman untuk ditiru. Ketika memeriksa barisan dalam apel partai Gerindra, Prabowo pun berpeci ketika berkuda. Mirip Panglima Besar Soedirman.

Setelah tahun 1950, peci makin jarang digunakan anak muda. Tak seperti di tahun 1945. Hanya orang-orang tua atau tokoh masyarakat yang masih suka memakainya. Anak muda hanya berpeci ketika ke masjid atau ke acara keagamaan.

Hingga usia senjanya, Soekarno terus memakai peci hitamnya. Peci membuat Soekarno terlihat gagah dalam foto-foto yang banyak beredar meski tubuhnya mulai ringkih dan kepalanya membotak.

Barangkali sosok laki-laki Indonesia sejati adalah yang berpeci. Sosok Pitung yang diperankan Dicky Zulkarnaen dalam beberapa film tentang Pitung di tahun 1970an, digambarkan sebagai sosok pria berpakaian merah dan berpeci. Pakaian itu seperti tampilan jago-jago silat Betawi setelah Pitung terbunuh oleh Polisi kolonial di tahun 1893. Tentu saja, para pendekar anti kolonial pun belakangan juga berpeci. Sebut saja Soekarno, Agus Salim, Alimin, Cokroaminoto. Begitu juga tokoh betawi berdarah Inggris, Muhammad Husni Thamrin.

Peci memang merupakan simbol kebangsaan. Sayangnya, peci kini hanya sekadar simbol. Menggunakan peci tak begitu saja membuat semua pemakainya menedalani keteladanan pendiri bangsa yang selalu menjaga diri dan menjadi panutan. Seperti Hatta dan Soekarno yang jauh dari korupsi. Apa yang terjadi sekarang adalah, sebagian besar pelaku kasus korupsi adalah orang-orang yang pernah berpeci dengan gagah. Nyaris tidak ada yang menjadikan peci sebuah tutup kepala penjaga kehormatan yang selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk berlaku terhormat.

Baca juga artikel terkait PECI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti