Menuju konten utama

Film Searching: Bukti Uniknya Gaya Aneesh Chaganty Bercerita

Film Searching lebih dari sekadar film thriller, bukan juga cuma tentang mencari putri yang hilang. Ia juga tentang menemukan gairah untuk bermimpi besar.

Film Searching: Bukti Uniknya Gaya Aneesh Chaganty Bercerita
Poster film "Searching". FOTO/IMDB

tirto.id - Aneesh Chaganty adalah pendongeng yang ulung. Di laman Twitter pribadinya, Aneesh menyematkan sepotong cerita haru.

Dalam delapan paragraf yang diketik rata pinggir, ia menjelaskan tiga hal: mengapa ia menyukai film, mengapa ia ingin menjadi sutradara, dan mengapa kita harus menonton film (panjang komersil) pertamanya Searching.

Delapan paragraf itu dirakitnya sedemikian rupa. Ada tiga paragraf gemuk dengan jumlah 4–7 baris, ditambah tiga paragraf kurus yang berisi dua baris, dan dua paragraf yang isinya masing-masing satu kalimat lugas.

Buat mereka yang biasa menulis atau mungkin pernah ikut kursus menulis, pasti paham kalau rakitan paragraf Aneesh bukanlah sembarang jadi. Konon, tulisan dengan paragraf yang bergelombang lebih sehat di mata pembaca. Sementara, tulisan dengan paragraf yang gemuk dan monoton diisi empat atau lima baris katanya bisa bikin pembaca cepat bosan dan malah meninggalkan cerita sebelum tamat.

Dinamika itu tak cuma ditunjukkan bentuk paragrafnya.

Cerita Aneesh dibuka dengan memoar personal, tentang tabiat sang ibu yang suka menggeret ia dan saudara laki-lakinya bolos sekolah di akhir pekan—cuma untuk menonton di bioskop. Cerita itu lenyap di paragraf selanjutnya, dan baru muncul lagi di paragraf terakhir. Teknik ini digunakan Aneesh untuk mengikat nilai sentimental dalam ceritanya.

Yang sebenarnya ingin Aneesh sampaikan adalah: Please see Searching—sebatang kalimat yang ia pajang tepat di tengah-tengah tulisan. Ia kelihatan sengaja membuka dan menutup tulisan itu dengan karakter ibu, sebab siapa yang tak simpatis mendengar kisah-kisah sentimental tentang Ibu?

Trik ini juga dipakai Aneesh ketika membuat Seeds, film pendek yang dipakainya jadi iklan Google Glass. Video dua setengah menit itu berisi kumpulan montase perjalanan seorang pria yang ingin memberi ibunya kejutan dengan foto USG bayi. Seeds viral kurang dari 24 jam dengan lebih dari 1 juta view. Akibatnya, Google langsung merekrut Aneesh masuk Google Five, tim marketing Google di Google Creative Lab, New York City.

Perusahaan raksasa itu yakin kalau gaya bercerita Aneesh memang istimewa. Dan pasti berfaedah bagi masa depan perusahaan.

Malang buat Google, untung buat kita, Aneesh tak lama-lama di sana. Ia memutuskan keluar untuk serius menggarap Searching—film yang kembali dibuka dengan cerita seorang ibu. Bahkan ceritanya lebih menohok, karena (spoiler alert) sang ibu mati cuma di 10 menit pertama.

Dalam film berdurasi 1 jam 42 menit itu, kemahiran Aneesh menyampaikan cerita kembali jadi sorotan utama. Yang unik, kali ini keseluruhan film diceritakan lewat perspektif layar komputer: direkam dari kamera ponsel, kamera komputer, dan CCTV. Ini bukan cara bercerita yang gampang. Secara estetika, pengambilan gambar dengan cara-cara tersebut bisa meningkatkan tensi dramatis pada film. Membuat kita fokus pada detail ekspresi tokoh, sekaligus bikin situasi terasa lebih nyata. Namun, di saat bersamaan membatasi pilihan visual sang pembuat film—yang kalau tak digarap dengan saksama bisa bikin penonton menguap, atau lebih parah: kehilangan fokus pada cerita dan berujung cibiran di internet.

Naskahnya sendiri adalah tipikal thriller klasik. Seorang remaja mendadak hilang, sehingga ayahnya yang panik sibuk mencari. Margot (Michelle La) pamit pulang larut pada ayahnya, David (John Cho), sebelum keesokan paginya benar-benar tak terlihat lagi. Anehnya, Margot sempat menelepon sang ayah tiga kali pada malam itu, tapi cuma berujung jadi panggilan tak terjawab karena David istirahat dibantu obat tidur. Proses pencariannya penuh teka-teki misteri yang harus dipecahkan. Ini juga bagian sulit.

Infografik Misbar Searching

Sebagai sutradara dan penulis naskah, Aneesh harus benar-benar ketat menyeleksi adegan apa saja yang perlu ditampilkan, dan berpikir keras bagaimana cara kamera merekam babak-babak itu, tanpa membuat motivasi para karakter terasa konyol. Sehingga penonton tetap merasa terikat pada alur cerita.

Hebatnya, ia benar-benar cerdas dalam mengakali hal itu. Tensi film tetap terjaga dari awal hingga akhir. Simpanan ranjau twist-nya tak habis-habis. Dan semua dirakit secara detail. Termasuk desain grafis di komputer yang makan waktu pembuatan hingga dua tahun.

Mencontek layar percakapan di WhatsApp, kolom komentar di Facebook atau YouTube, dan desain aplikasi komputer lainnya bukan pekerjaan mudah. Searching kelihatan serius dan amat niat membangunnya. Pergerakan waktu dalam film ini bahkan tak ditunjukkan oleh jam atau kalender, alih-alih dengan desain media sosial yang terus berganti seiring zaman.

Di luar segi teknis, naskah Searching juga punya bobot cerita yang menarik. Ia tak cuma “sekadar thriller klasik yang dikemas dengan cara mutakhir”.

Ada diskusi-diskusi menarik yang coba dilempar Aneesh dalam kisah David menemukan kembali putrinya. Pertama, ia ingin menunjukkan bagaimana era digital ini memengaruhi relasi orangtua dan anak. Hubungan David dan Margot mungkin akan terlihat baik-baik saja lewat perspektif mata manusia. Namun, ketika David kembali menonton beberapa potong video kebersamaannya dengan sang putri lewat komputer, ia akhirnya menyadari hal-hal ganjil yang pelan-pelan memupuk jarak di antara mereka.

Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apa aku benar-benar kenal putriku?” atau “Kenapa Margot merahasiakan ini-itu dariku?”

Dalam Searching, Aneesh juga cukup adil menggambarkan baik-buruknya pengaruh teknologi pada manusia. Tak seekstrem serial-serial gelap Black Mirror, perspektif layar komputer yang dipilih Aneesh justru ingin bilang kalau secerdas-cerdasnya teknologi zaman ini, manusia tetap bisa menemukan celah untuk jadi lebih licik. Atau dengan kata lain: keputusan menggunakan teknologi untuk perbuatan baik atau buruk tetap berada di tangan kita.

Ia juga menyempilkan budaya catfish—yang drastis berkembang di zaman media sosial—jadi salah satu batang cerita. Ingat, sekali lagi semuanya diatur dalam tempo tepat dan hanya lewat perspektif layar komputer.

‘Searching’ yang Politis

Pemilihan John Cho—pemeran Letnan Hikaru Hulu dalam semesta Star Trek—juga bukan pilihan sembarangan. Ada pesan politis yang ingin disampaikan Aneesh lewat tokoh minoritas Asia-Amerika yang dijadikannya karakter utama. Tentu saja ia ingin memperlihatkan bahwa film yang dibintangi aktor minoritas juga bisa laku dan sukses.

“Tontonlah film ini untuk mendukung film thriller arus utama pertama yang dibintangi Asia-Amerika. Tontonlah untuk mendukung normalisasi sebuah budaya, bukan karikatur [sindiran]-nya,” ungkap Aneesh dalam potongan cerita di Twitter-nya.

Sutradara keturunan India-Amerika ini lebih jauh ingin membuktikan bahwa film yang dibuat sungguh-sungguh akan tetap punya tempat di hati para penonton—melewati sekat-sekat dangkal macam diskriminasi pada ras minor.

“Aku bikin film ini dengan lima orang, di ruangan yang amat kecil, selama dua tahun, aku berhenti bekerja di Google, pindah dari New York ke LA, hidup ditanggung tabungan, kehabisan tabungan, cuma untuk membuat film yang mimpinya bahkan enggak ada ditonton orang, mungkin lima orang aja sudah senang,” kata Aneesh pada MSN.

“Melihatnya tayang di Sundance dan diputar di seluruh dunia, bukan cuma enam bulan terbaik dalam hidupku, tapi juga hal paling keren yang pernah kejadian di dunia ini,” tambahnya, girang.

Akhirnya, Searching bukan cuma membuktikan seberapa jagonya keahlian Aneesh dalam bercerita, tapi juga membuktikan bahwa mimpi besar mungkin terwujud.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra