tirto.id - Tahapan orang jatuh cinta hingga pacaran tak banyak berubah dalam film remaja: pertemuan pertama, masa pendekatan, kencan pertama, kontak fisik, dan akhirnya ajakan untuk pacaran—tentu ada beberapa variasi, tapi inilah plot yang paling umum.
Tapi formula itu tak berlaku buat Stella Grant, seorang remaja yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di rumah sakit karena menderita Fibrosis Kistik (CF).
Kisah Stella (dimainkan oleh Haley Lu Richardson) hadir dalam film Five Feet Apart, adaptasi novel Rachael Lippincott berjudul sama yang terbit pada 2018. CF membuat Stella terpaksa menjaga jarak dan menghindari kontak fisik dari penderita CF lainnya, yakni Poe (Moises Arias), sahabatnya, dan Will Newman (Cole Sprouse), pemuda yang ia taksir.
Penderita Fibrosis Kistik diharuskan menjaga jarak sekitar lima kaki atau dua meter saat bertemu, agar tak saling menularkan kuman yang memperparah penyakit. Karena fungi paru-paru yang menurun, penderita juga dianjurkan menggunakan selang oksigen untuk membantu pernapasan.
Tapi Stella tak putus asa gara-gara CF. Ia tetap menjalani aktivitas layaknya remaja biasa. Selain mengikuti pengobatan dan terapi di rumah sakit, ia rajin berolahraga, membaca buku, mengatur kegiatan, dan membuat vlog di Youtube.
Hal sebaliknya terjadi pada Will. Remaja yang baru delapan bulan terinfeksi CF ini kehilangan semangat dan enggan mematuhi prosedur medis. Bagi Will, tak ada gunanya berobat karena toh ujung-ujungnya ia akan mati juga. “Ini cuma kehidupan,” begitu tuturnya kepada Stella ketika pertama kali mereka bertemu.
Kisah Stella dan Will yang berdurasi selama 116 menit ini bukan hal baru di Hollywood. Motifnya klasik, turunan “Cinta Mengalahkan Segalanya” (alias “Love Against All Odds”), mulai dari orangtua yang tak merestui, perbedaan kelas sosial, agama, afiliasi ormas, pilihan capres, dan lain sebagainya.
Dalam Five Feet Apart, yang dimaksud “segalanya” adalah penyakit kronis dan ancaman kematian. Tak beda jauh dari Love Story (1970) A Walk to Remember (2002), The Fault in Our Stars (2014), dan Everything, Everything (2017): dua orang bertemu, jatuh cinta, pacaran dalam tenggat waktu biologis, lalu salah satunya meninggal, dan yang ditinggalkan merasa mendapat pelajaran berharga. Karakter-karakternya biasanya remaja, atau anak muda usia kepala dua yang salah satunya—atau dua-duanya—sakit.
Tapi Baldoni membantah jika Five Feet Apart mirip film-film tersebut. Ia bilang, filmnya bukan tentang remaja sakit. “Ini film tentang remaja dan eksplorasi cinta dan masa muda. Aku tidak ingin tokoh-tokohnya didefinisikan oleh penyakit.”
Sekali Berarti Setelah Itu Mati
Pernyataan Baldoni adalah satu hal. Filmnya berbicara lain.
Dalam tema khas orang-sakit-kronis-lalu-jatuh-cinta itu, ada satu elemen yang terus berulang: sesosok karakter yang diadakan untuk menyemangati orang lain. Ia tak digambarkan punya motivasi yang jelas, tak mementingkan diri sendiri, seringkali street-smart, nyentrik, tapi ingin mengubah pasangannya agar lebih riang, lebih mencintai hidup, bisa keluar dari keterbatasan-keterbatasannya, lalu menggali pelajaran hidup. Stock character seperti ini lazim dikenal sebagai manic pixie dream girl (jika cewek) atau manic pixie dream boy (untuk cowok).
Di film-film remaja sakit, manic pixie dream girl/boy ini bisa disaksikan di A Walk to Remember (seorang gadis Kristen saleh penderita leukimia mengubah cowok yang suka berkelahi dan mabuk-mabukan) hingga The Fault In Our Stars (tentang ketulusan absolut pemuda penderita kanker tulang menyemangati pemudi kanker tiroid).
Tipologi karakter ini tak hanya hadir di film-film remaja sakit, tapi juga dalam semesta mas-mas dan mbak-mbak sehat. Anda bisa cek karakter pramugari yang dimainkan Kirsten Dunst di Elizabethtown (2005) yang tak punya latar belakang tapi punya misi membangkitkan semangat Orlando Bloom, cowok yang baru dikenalnya di pesawat. Contoh klasik lainnya adalah Zooey Deschanel di 500 Days of Summer (2009): tak terlalu jelas apa keinginannya tapi mampu membuat Joseph Gordon-Levitt mengejar cita-cita lamanya jadi arsitek. Yang lebih klasik lagi adalah Leonardo DiCaprio di Titanic (1997), seorang pemuda sobat miskin yang dipasang di film cuma untuk mansplaining Kate Winslet yang aristokrat agar “tidak menyerah dalam hidup”.
Five Feet Apart juga menghadirkan karakter serupa: Will. Pemuda yang awalnya tak disukai Stella ini tidak cukup tereksplorasi latar belakangnya kecuali dari tuturan Will sendiri dan beberapa kali kunjungan ibu. Selain itu tak banyak yang bisa diketahui dari Will selain kepiawaian melukisnya. Momentum manic pixie dream boy-nya Will muncul ketika ia merelakan donor paru-paru diberikan pada Stella untuk menyelamatkan hidup kekasihnya itu. Padahal, ia bisa saja menggunakan paru-paru baru itu untuk memperpanjang usianya sendiri.
Saking "kardusnya", penggambaran manic pixie dream girl/boy telah banyak dikritik. Mereka cuma versi vulgar dari perpanjangan tangan si penulis naskah/sutradara untuk menasihati karakter utama atau fantasi mentah si pembuat film tentang kejaiban yang tiba-tiba datang di masa sulit. Setelah pesan-pesan itu tersampaikan dan si tokoh utama mengalami perubahan dalam hidup, bukankah sutradara dengan leluasa bisa mematikan karakter kardus tanpa ambisi ini?
Tak ada hal baru yang ditawarkan Five Feet Apart. Kecuali mungkin satu pelajaran penting: tidakkah kita patut curiga bahwa manic pixie dream girl/boy di banyak film pada dasarnya adalah pasien stadium akhir yang numpang lewat dalam kehidupan orang lain?
Editor: Windu Jusuf