Menuju konten utama

Filipina Bukan Apa-apa Tanpa Amerika

Di saat eksistensi Filipina terancam oleh Cina, sang presiden Rodrigo Duterte malah mengompori agar hubungan militer Filipina dan Amerika Serikat segera diakhiri. Keinginan yang di luar akal, karena tanpa Amerika Serikat, Filipina sangat lemah.

Filipina Bukan Apa-apa Tanpa Amerika
Sebuah kapal patroli Angkatan Laut Filipina mengambil posisi di sepanjang Teluk Manila. [Antara foto/ Reuters/Erik De Castro]

tirto.id - Filipina adalah negara yang paling terancam atas aneksasi Cina pada sebagian wilayah Laut Cina Selatan. Sebagian wilayah mereka di Kepulauan Spratly kini telah diserobot. Beberapa bagian bahkan sudah direklamasi dan dibangun pangkalan militer.

Tidak hanya itu, Cina pun kini sedang berupaya merebut dangkalan Scarborough yang terletak di sebelah utara dari Kepulauan Sprathly. Dikabarkan nantinya fasilitas militer akan dibangun Cina di sana. Jatuhnya Scarborough ke Cina bencana bagi Filipina, posisi pulau itu sangat strategis karena hanya berjarak 236 km dari Pulau Luzon atau 340 km dari ibukota Manila.

Untungnya, sejarah pendudukan Amerika Serikat pada awal abad 20-an membuat posisi mereka selalu diidentikan sebagai sekutu Amerika. Sampai dekade 90-an, AS bahkan dibiarkan membuka pangkalan militer di sana.

Namun, hubungan karib itu itu tiba-tiba saja semakin runyam. Di tengah ancaman Cina yang semakin nyata, Presiden Filipina baru terpilih, Rodrigo Duterte malah bertindak konyol. Setelah menghina presiden AS, Barrack Obama sebagai anak sundal, dia pun tak segan mengatakan pada media untuk mengusir tentara AS yang bercokol di negerinya.

Sampai saat ini AS dan Filipina terikat kerja sama mengatasi kelompok pemberontak di Filipina Selatan dengan tajuk Operation Enduring Freedom. AS dan Filipina terikat dalam perjanjian Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) and the Visiting Forces Agreement (VFA). EDCA memberikan akses AS untuk memakai pangkalan Filipina, sedangkan VFA memungkinkan pasukan AS menggelar operasi darat dan melakukan latihan bersama dengan tentara Filipina secara rotasi.

Operasi ini dimulai 2001 hingga sekarang, tetapi sejak 2015, AS menghentikan kerja sama ini. Hanya saja ada sebagian kecil pasukan khusus berjumlah 100-an orang yang saat ini masih tetap beroperasi di Filipina.

Duterte beralasan kehadiran pasukan AS di Mindanao hanya mempersulit operasi militer melawan kelompok milisi. "Mereka harus angkat kaki. Saya tidak ingin memulai pertengkaran dengan Amerika Serikat. Tapi mereka harus angkat kaki," kata Duterte, Senin (13/9). “Selama kami bersama dengan AS, negeri ini tidak akan pernah memiliki kedamaian.”

Ucapannya ini membuat Gedung Putih panas. Juru Bicara Gedung Putih, John Earnest menyebut Duterte mirip seperti Donald Trump, tak perlu didengar serius. Usai heboh, Duterte kembali mengklarifikasi ucapannya. “Saya tidak anti-Amerika. Kami tidak memutuskan hubungan militer. Apa yang saya katakan karena kami ingin mengikuti kebijakan luar negeri yang independen,” katanya.

Ucapan asal Duterte ini membuat Departemen Pertahanan kebakaran jenggot. Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menegaskan kerja sama dengan AS akan terus berlanjut. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina (AFP), Ricardo Visaya menilai pasukan AS masih dibutuhkan di Mindanao. “Pasukan AS itu tidak memiliki cukup kemampuan lapang sebagus kami," katanya.

“Tugas mereka memang tidak memberikan dukungan tempur, Namun, membantu pengawasan intelijen dan sistem pengintaian dengan teknologi canggih, termasuk drone,” ucap Ricardo. “Ini tepat bagi kami untuk bersekutu dengan AS karena mereka masih merupakan kekuatan militer yang dominan di Pasifik,” timpal Lorenzana.

Tanpa dukungan AS, Filipina tidak akan berdaya menghadapi Cina. Jika menelisik kemampuan angkatan perang mereka, Filipina sangat payah. Sebagai negara maritim, angkatan laut mereka bisa jadi merupakan yang terlemah di Asia Tenggara.

Data Global Fire Power, Filipina hanya punya 3 kapal frigat, 11 korvet dan 38 kapal pertahanan pesisir. Kalah jauh jika dibandingkan dengan Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Sebuah hal yang ironis mengingat AL Filipina diberi beban menjaga 3,219 km perbatasan laut – lebih banyak ketimbang Thailand, Malaysia dan Vietnam.

Lemah di laut, lemah juga di udara. Alutsista Armada perang Filipina sama payahnya. Bagaimana mungkin dalam soal kepemilikan jet tempur misalnya Filipina sama sekali tak mempunyai jet tempur kelas fighter. Mereka hanya memiliki jet temput model fixed-wing jet aircraft, itupun jumlahnya tidak sampai satu skuadron, hanya 8 saja.

Sistem militer Filipina mengadopsi seperti sang empu, AS yang dimana inti kekuatan armada perang ada di beban Korps marinir. Dengan alutsista yang seminim itu kita bisa tahu seberapa kuat Korps Marinir Filipina. Jika marinir saja begitu, apalagi angkatan-angkatan lain.

Wajar jika banyak yang menyindir bahwa angkatan perang Filipina tidaklah disiapkan untuk menghadapi serangan dari luar, Angkatan Perang mereka disiapkan untuk melawan kelompok-kelompok separatis.

Hal ini sejalan dengan ucapan Duterte yang mengatakan bahwa Filipina membutuhkan pesawat propeller yang bisa digunakan untuk menghadapi pemberontak dan teroris di Mindanao. “Saya tidak butuh F-16, tidak ada gunanya bagi kami. Kami tidak memiliki niatan untuk berperang dengan negara manapun,” kata Duterte.

Dengan minimnya kekuatan angkatan perang wajar jika Filipina terus membebek pada AS. Karena tanpa AS, Filipina begitu lemah.

Baca juga artikel terkait SENGKETA LAUT CINA SELATAN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti