tirto.id - Kerajaan Majapahit (1293-1500) punya pengaruh besar dalam sejarah Indonesia dan pernah menjadi imperium adidaya di Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pusat pemerintahan Majapahit pernah berada di Mojokerto, Trowulan, dan Kediri, Jawa Timur.
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1991), menyebut Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kemaharajaan Majapahit mencapai era kejayaan pada masa pemerintahan Sri Rajasanagara atau yang lebih dikenal dengan nama Hayam Wuruk (1350-1389). Saat Hayam Wuruk memimpin dengan didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas.
Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (1990:436) karya Marwati Djoened Poesponegoro diungkapkan, Majapahit menguasai hampir seluruh Nusantara, dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan kawasan timur lainnya, bahkan sampai ke negeri-negeri Semenanjung Malaya atau sebagian Asia Tenggara.
Luasnya wilayah kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya ini tidak terlepas dari Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada, bahwa ia akan berusaha menyatukan Nusantara di bawah naungan Kemaharajaan Majapahit.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Wafatnya Gajah Mada pada 1364 dan Hayam Wuruk pada 1389 menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Majapahit. Stabilitas wilayah yang amat luas mulai goyah. Beberapa negeri taklukan berusaha melepaskan diri.
Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005:20), Slamet Muljana menerangkan, polemik menemukan raja baru setelah kematian Hayam Wuruk ikut andil dalam meruntuhkan kekuatan Majapahit.
Polemik ini memunculkan perang saudara yakni Perang Paregreg. Pada 1389, Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk, menganggap dirinya sebagai penerus tahkta. Suami Kusumawardhani ini berselisih dengan Bhre Wirabhumi, anak dari selir Hayam Wuruk. Perang ini dimenangkan oleh Wikramawardhana.
Wikramawardhana memimpin sampai 1427, kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh Ratu Suhita (1429-1447), Kertawijaya (1447-1451), Rajasawardhana (1451-1453), Purwawisesa (1456-1466), Suraprabhawa (1466-1468), Bhre Kertabumi (1468-1478), dan Girindrawardhana (1478-1498).
Di era Ratu Suhita, Majapahit nyaris bangkit. Namun, kerajaan ini ternyata tak sanggup seperkasa dulu. Tiada lagi pemimpin secakap Hayam Wuruk, juga mahapatih setangguh Gajah Mada. Bahkan, Majapahit sempat mengalami kekosongan kepemimpinan antara 1453 hingga 1456.
Pamor Majapahit kian pudar saat Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa muncul pada 1475. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Bhre Kertabumi atau Brawijaya V (1468-1478) dari istri selir asal Cina bernama Siu Ban Ci.
Raden Patah kecewa karena ayahnya takluk kepada Girindrawardhana yang kemudian berkuasa di Majapahit dengan gelar Brawijaya VI (1478-1498). Di era ini, Patih Udara melakukan kudeta. Majapahit di ambang kehancuran.
Majapahit benar-benar musnah ketika Kesultanan Demak dipimpin Sultan Trenggana (1521-1546). Pada 1527, Sultan Trenggana mengirimkan pasukan untuk menduduki Majapahit. Sejak itulah riwayat Kerajaan Majapahit tamat setelah Kesultanan Demak mengambil-alih wilayah-wilayah taklukan yang masih tersisa.
Prasasti Peninggalan Majapahit
- Prasasti Wurare (1289 M): Mengisahkan bergabungnya Jenggala dan Panjalu pada 1289.
- Prasasti Kudadu (1294 M): Berisi cerita Raden Wijaya yang dibantu Rama Kudadu untuk lari dari Jayakatwang.
- Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M): Menceritakan Raden Wijaya ketika memperistri empat putri Kartanegara, juga tentang penobatan Jayanegara sebagai pemimpin Daha.
- Prasasti Prapancasapura (1320 M): Bercerita tentang Hayam Wuruk yang memiliki nama lain Kummaraja Jiwana.
- Prasasti Parung (1350 M): Dalam prasasti ini dikisahkan bahwa seorang pengadil harus punya pertimbangan matang memberikan keputusan.
- Prasasti Canggu (1358 M): Berisi peraturan melintas di wilayah sekitar sungai Bengawan Solo dan Brantas.
- Prasasti Biluluk I (1366 M), Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M): Berisi peraturan tentang pajak serta hal lain yang menyangkut air asin.
- Prasasti Karang Bogem (1387 M): Berisi pengesahan wilayah perikanan di Karang Bogem.
- Prasasti Katiden I (1392 M): Tertulis pembebasan wilayah di Desa Katiden.
- Prasasti Waringin Pitu (1447 M): Menceritakan aturan administrasi pemerintahan Majapahit serta kerajaan-kerajaan yang ada di bawahnya.
- Prasasti Jiwu (1486 M): Menceritakan tentang pemberian tanah kepada seorang brahmana.
- Prasasti Marahi Manuk: Cerita sengketa tanah yang terjadi dan ditengahi oleh pejabat cendekiawan yang paham hukum adat.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya