tirto.id - "Saat mau pulang, perasaansaya udah enggak enak. Kok jam segini sepi, biasanya ada pasukan TNI dan mobil TNI wara wiri. Kami di sana sendirian"
Kenangan Ferry Santoro—kamerawan RCTI—dan rekannya Ersa Siregar mengalami menit-menit menegangkan pada Minggu sore, 29 Juni 2003. Kepada Merdeka.com dia menceritakan kejadian menegangkan itu berawal saat usai solat ashar dalam perjalanan Langsa ke Lhokseumawe untuk balik ke pos mereka. Pada Minggu pagi, dia dan Ersa Siregar yang bertugas sebagai reporter, berada di Kuala Langsa untuk meliput hasil operasi pasukan Marinir TNI.
Di perjalanan, mobil Toyota Kijang dengan plat BK 1753 CO yang ditumpangi mereka dihadang oleh sekelompok orang setelah baru melaju sekitar 200 meter dari masjid. Sekelompok pria bersenjata menghadang dan memaksa mereka untuk turun. Kelompok itu muncul dari kiri-kanan selokan jalan di lokasi kejadian.
“Tabrak!” teriak Ersa.
“Berhenti saja,” kata Safrida, warga sipil yang juga duduk di dalam mobil.
Ada lima orang, termasuk sopir di dalam mobil itu. Selain Ersa, Safrida, Ferry Santoro, juga ada Soraya, adik Safrida. Sejak sore itu, kelimanya diculik dan menjadi tawanan para pemuda yang merupakan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di Lhokseumawe, rekan Ersa dan Ferry harap-harap cemas, karena mereka harusnya sampai hari Minggu sore itu. Ersa bahkan sempat mengirimkan laporan tentang hasil liputan operasi di Kuala Langsa.
Ersa juga sempat bilang ke rekan-rekannya, akan kembali ke Jakarta keesokan hari sebab sudah berjanji pada istrinya untuk mengajak liburan.
Sampai Senin, pihak RCTI maupun keluarga tak kunjung mendapat kabar dari Ersa dan Ferry. Segenap jurnalis di Lhokseumawe langsung menghubungi kontak-kontak petinggi GAM yang mereka punya, menanyakan keberadaan Ersa dan Ferry.
Rekan-rekan pos RCTI di Lhokseumawe juga melakukan pencarian, mereka meluncur ke Kuala Langsa, menanyai kedai-kedai di sekitaran pelabuhan.
Seorang perempuan di satu kedai sempat bilang ia melihat Ersa dan Ferry. Dia ingat melihat simbol RCTI di atribut yang dipakai sang reporter. Tim pencarian lalu menyusuri jalan Medan-Banda Aceh, menanyai orang-orang di SPBU, kedai kopi, rumah makan, dan sebagainya. Namun, tak satupun dari mereka melihat Ersa dan Ferry.
Tiga hari setelah Ersa dan Ferry hilang, barulah kru RCTI mendapat kepastian dari Juru Bicara GAM. Mereka membenarkan bahwa Ersa, Ferry, dan tiga orang lainnya yang satu mobil menjadi tawanan GAM kelompok Ishak Daud—Panglima GAM tertinggi di Aceh Timur. Peristiwa penyanderaan inilah yang akhirnya membuat salah satu jurnalis RCTI ini meregang nyawa kena terjangan peluru.
Disandera Hingga Tewas
Ferry menulis buku berjudul Antara Hidup dan Mati: 325 Hari Bersama GAM (2006). Dari buku ini terungkap detail kisah penyanderaan bermula. Saat hari kejadian penyanderaan, para anggota GAM menghadang mobil Kijang lalu masuk ke dalam mobil yang ditumpangi Ersa, Ferry dan penumpang lain. Ersa yang duduk di kursi depan ditarik dan didorong untuk kemudian duduk di kursi paling belakang. Begitu pula dengan sang sopir.
Salah satu anggota GAM mengambil kemudi, satunya duduk di depan. Safrida dan Soraya duduk di tengah, diapit dua personel GAM. Ersa, Rahmatsyah, Ferry, dan satu anggota GAM duduk berdesakan di belakang.
Mata mereka ditutup dan baru dibuka saat tiba di lokasi tujuan—hamparan sawah yang sangat luas. Kelimanya tak tahu mereka ada di mana. Mereka lalu diinterogasi.
Usai diinterogasi, mereka diajak berjalan menelusuri sawah, lalu ke perbukitan dan gunung di ujungnya. Sampai tibalah mereka di satu gubuk. Di gubuk itu, Safrida diinterogasi lagi. GAM curiga ia adalah mata-mata. Safrida adalah istri tentara, begitu juga adiknya, Soraya.
Mobil Kijang ditinggalkan, suatu hari, ia ditemukan TNI di tengah kebun sawit dan ditutupi semak-semak. Pada Kamis, 3 Juli 2003, Ersa diberi kesempatan untuk bicara dengan rekannya di RCTI. Ia memberitahu bahwa mereka dalam keadaan sehat. Ia juga meminta rekannya menyampaikan kabarnya kepada keluarga di Jakarta.
Selama sepekan itu mereka berpindah-pindah. Mata mereka selalu ditutup dalam perjalanan, hanya dibuka ketika berjalan atau naik perahu.
Mereka juga sempat bertemu dengan Ishak Daud, sang Panglima. Lewat buku Catatan Harian Sandera GAM: Kisah Nyata Safrida dan Soraya, Safrida menggambarkan Ishak sebagai sosok yang tenang dan sopan. Ishak memperlakukan mereka dengan baik.
Tepat sepekan setelah penculikan, 6 Juli 2003, Ishak menggelar konferensi pers dengan RCTI guna memberitahu publik bahwa Ersa, Ferry, dan tawanan lainnya dalam keadaan sehat dan diperlakukan dengan baik. Mereka dibolehkan bicara apa saja, kecuali satu hal, memberitahu di mana mereka berada.
Pada hari itu juga, mereka diberi kesempatan menelepon keluarga mereka. Ersa menelepon anaknya.
“Apa kabar, Nak? Gimana SPMB-nya? Udah mulai ujiannya?” ia langsung menghujani anaknya dengan pertanyaan.
“Baik-baik di rumah, dijaga Inang [ibu] di rumah ya. Jangan nakal-nakal,” ujar Ersa menutup pembicaraan.
Sampai pertengahan Desember 2003, para tawanan tak kunjung dibebaskan, tetapi mereka juga tidak disakiti atau dibunuh.
Ishak sudah mau membebaskan mereka, syaratnya, TNI harus menyetujui gencatan senjata selama dua hari di lokasi pembebasan tawanan. Pihak TNI tak setuju. Mereka meminta para tawanan diletakkan di satu tempat, lalu dijemput. Sementara pihak GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.
Pada 17 Desember 2003, Rahmatsyah, sang sopir Ersa dan Ferry dibebaskan. Bebasnya sopir memberi harapan bagi keluarga dan pihak RCTI. Mereka yakin Ersa dan Ferry juga akan segera dibebaskan.
Pada Sabtu, 27 Desember, Ishak bilang akan menyerahkan tawanan lewat TNI. Namun, sampai Senin pagi, 29 Desember 2003, belum juga ada kesepakatan antara TNI dan GAM. Komando Operasi TNI masih meminta GAM untuk meletakkan para tawanan di satu tempat saja. Sementara GAM bersikeras untuk menyerahkan langsung.
Siang harinya, terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di Desa Kuala Manihan, Simpang Ulim, Aceh Timur. Ersa ada di lokasi, bersama sejumlah anggota GAM. Naas, Ersa tertembak dan tak selamat bersama satu anggota GAM. Dua peluru TNI menembus leher dan dada Ersa.
Panglima Kodam Iskandar Muda yang juga penguasa darurat militer Mayjen TNI Endang Suwarya, seperti dituliskan oleh Tempo edisi 30 Desember 2003, sempat mengungkapkan belum dapat memastikan asal peluru yang menghabisi Ersa. Ia beralasan Ersa dijadikan perisai hidup sehingga TNI sulit mengetahui di lokasi kontak senjata ada wartawan atau tidak.
"Yang pasti, almarhum tertembak dalam kontak senjata. Itu dulu yang bisa dijelaskan," kata Endang.
Setelah insiden itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (KSAD) saat itu Ryamizard Ryacudu mengungkapkan secara tersirat, bahwa Ersa tewas karena peluru TNI. "Kan, Ersa ada di pihak GAM," kata Ryamizard dikutip dari Liputan6.
"Peluru enggak bisa melihat mana yang salah dan benar. Jadi jangan diputar balik"
Pasca-kematian Ersa, RCTI menayangkan sebuah dokumenter berjudul “Sebuah Pencarian: Kisah Usaha Pembebasan Jurnalis Ersa Siregar dan Ferry Santoro”.
Editor: Suhendra