tirto.id - Borussia Dortmund gagal menutup paruh pertama Bundesliga Jerman dengan catatan tak terkalahkan. Usai melewati 15 pertandingan tanpa tersentuh hasil minor, Rabu (19/12) dini hari waktu Indonesia, Marco Reus dan kawan-kawan harus tunduk 2-1 dari tuan rumah Fortuna Dusseldorf.
Dalam pertandingan yang berlangsung di Merkur Spiel-Arena tersebut, Dortmund tertinggal lebih dulu. Fortuna memimpin berkat sebiji gol Dodi Lukebakio di babak pertama. Memasuki babak kedua, tendangan spekulasi Jean Zimmer pada menit 56 menambah keunggulan tuan rumah.
Dortmund sempat merespons ketertinggalan lewat gol Paco Alcacer sembilan menit jelang waktu normal usai. Namun, gol ke-11 sang supersub di Liga Jerman ini gagal menyelamatkan tim tamu dari kekalahan.
Terlepas dari performa kurang meyakinkan para pemainnya di pertandingan itu, pelatih Dortmund, Lucien Favre, mengatakan dirinya tetap puas. Favre meyakini bahwa kekalahan tersebut bisa jadi pelajaran untuk skuatnya yang punya rataan usia muda dibanding klub-klub Liga Jerman lain.
“Tim ini sangat muda. Kami belajar setiap hari. Apapun hasilnya, ini tetap paruh pembuka musim yang hebat,” ujar Favre seperti dikutip Fox Sports.
Meski kalah, Dortmund tetap dipastikan jadi juara paruh musim Bundesliga. Dengan satu laga tersisa pada paruh pertama, Die Borussen telah mengemas 39 poin, unggul enam angka atas Borussia Monchengladbach di urutan kedua.
Mencari Sosok Pengganti Klopp
Penampilan Dortmund musim ini begitu impresif. Statistik memperlihatkan, di Bundesliga, Dortmund baru sekali menelan kekalahan. Sisanya, mereka 12 kali menang dan tiga kali imbang dengan total memasukkan-kemasukan gol 42 dibanding 17.
Capaian serupa juga diraih Dortmund di Liga Champions Eropa. Dalam kompetisi tersebut, Dortmund berhasil menang empat kali, imbang sekali, serta kalah sekali. Mereka pun hanya kemasukan dua gol dan sukses menjebol gawang lawan sebanyak sepuluh kali.
Performa yang meyakinkan itu membikin Dortmund nyaman di puncak klasemen sementara Bundesliga dan lolos ke babak 16 besar Liga Champions Eropa.
Dortmund sedang mengalami masa bulan madu. Dalam beberapa musim terakhir, atau tepatnya usai Jürgen Klopp cabut pada 2015, tim dengan warna kebesaran kuning ini terlihat kelimpungan di lapangan. Kepergian Klopp ke Liverpool nyatanya meninggalkan lubang besar yang tidak mampu diantisipasi anak-anak Die Borussen.
Inkonsistensi Dortmund di rumput hijau selepas Klopp hengkang amat sangat bisa dipahami. Klopp bukan sembarang juru taktik biasa.
Di bawah komando Klopp, Dortmund berjaya. Dengan filosofi permainan gegenpressing—atau bisa disebut “heavy metal”—yang diusung Klopp, sebuah permainan yang mengandalkan serangan balik dan pressure tinggi di sepanjang pertandingan, Dortmund sukses memenangkan Bundesliga secara back-to-back pada 2011 dan 2012. Tak sekadar itu saja, Dortmund melaju sampai final Liga Champions Eropa, sebelum akhirnya dikalahkan Bayern Munchen, pada 2013.
Manajemen Dortmund bukannya tanpa usaha untuk menambal lubang akibat kepergian Klopp. Pada 2015, mereka menunjuk Thomas Tuchel, pelatih muda kelahiran Krumbach, sebagai kepala tim.
Namun, perjalanan Tuchel tak begitu mulus. Kendati mampu menciptakan rasio poin per pertandingan paling tinggi (2,29) dibanding pelatih Dortmund yang lain, termasuk Klopp, ia dianggap mengkhianati tradisi klub karena permainan Dortmund di bawah kendalinya begitu “dingin dan tanpa energi.” Bahkan, majalah Kicker, melabeli Tuchel dengan sebutan “anti-Klopp.”
Situasi makin buruk tatkala tuntutan yang disodorkan Tuchel untuk selalu bermain perfeksionis malah menyebabkan gesekan, baik di ruang ganti maupun di manajemen. Walhasil, masa bakti Tuchel pun tak berlangsung lama. Pada Mei 2017, Tuchel dipersilahkan angkat kaki dari Signal Iduna Park.
Sebagai ganti Tuchel, Dortmund mengangkat Peter Bosz. Penunjukan Bosz dianggap langkah yang brilian. Alasannya: di klub sebelumnya, Ajax Amsterdam, Bosz dapat memaksimalkan potensi-potensi muda dan menyuguhkan permainan yang atraktif. Dua hal ini dinilai sesuai dengan karakter Dortmund.
Lagi-lagi, ekspektasi Dortmund tak terpenuhi. Walaupun berhasil tampil meyakinkan di awal kompetisi, laju Dortmund tersendat memasuki paruh musim. Dalam sepuluh pertandingan yang dijalani di seluruh kompetisi, misalnya, Dortmund hanya mampu menang sekali.
Serangkaian hasil buruk itu membikin manajemen kebakaran jenggot dan memecat Bosz sebelum musim berakhir. Peter Stoger, pelatih 51 tahun yang dipecat FC Koln akibat tak bisa membawa tim asuhannya beranjak dari dasar klasemen Bundesliga, dipilih sebagai pengganti.
Memasuki musim 2018/2019, Dortmund kembali berburu pelatih. Kali ini, mereka merekrut Lucien Favre. Kedatangan Favre seketika disambut dengan gegap gempita. Publik mengenal Favre sebagai pelatih dengan reputasi jempolan. Meski curriculum vitae-nya tak secemerlang Pep Guardiola maupun Jose Mourinho yang bergelimang trofi juara, Favre bisa membawa tim gurem “berprestasi.”
Anda bisa melihatnya kala ia melatih Borussia Monchengladbach pada 2011 sampai 2015. Selama tiga musim kompetisi berjalan, Favre berhasil membawa Monchengladbach duduk di posisi 4, 8, dan 3. Atas prestasinya itu, ia diganjar penghargaan “Bundesliga Coach of the Year” sebanyak tiga kali.
Prestasi itu ia teruskan kala pindah ke Perancis dan melatih tim medioker, OGC Nice. Di tangannya, Nice mampu tampil menawan dan nangkring di posisi tiga, pada musim 2016/2017, dan turun lima peringkat di posisi delapan, semusim setelahnya. Tapi, yang bikin kepelatihan Favre jadi istimewa ialah karena ia bisa menjinakkan stiker bengal asal Itali, Mario Balotelli.
Meski begitu, sosok Favre tetap diragukan media-media Jerman. Süddeutsche Zeitung, contohnya, menyebut Favre sebagai “anti-Klopp.” Sementara Spiegel mengatakan bahwa Dortmund “butuh lebih dari sekadar pelatih yang bagus.”
Yang mengkritik Favre memang banyak, namun yang mendukungnya juga tak satu-dua. Surat kabar lokal, Westfälische Nachrichten, misalnya, menyatakan bahwa Favre merupakan “pelatih dengan gagasan sepakbola yang jelas.” Ungkapan senada juga dilontarkan Marco Reus, kapten Dortmund, yang menyebut Favre sebagai “pelatih yang sensasional.”
Apa Saja yang Dicapai?
Untuk ukuran sebuah klub, Dortmund bisa dibilang merupakan klub idaman. Mereka sehat secara finansial, punya pendukung yang loyal dan militan, serta memiliki akademi yang rutin melahirkan bakat-bakat apik. Kekurangan Dortmund hanya satu: mereka sulit move on dari Klopp.
Keraguan boleh saja menyelimuti kedatangan Favre. Namun, pelatih asal Swiss ini berhasil membungkamnya. Di bawah komando Favre, Dortmund punya style bermain yang sedikit berbeda dari sebelumnya: tenang, penuh improvisasi, tapi tetap agresif. Dortmund yang sekarang bukan lagi tim “heavy-metal” seperti era Klopp, melainkan, mengutip ungkapan media-media bola, tim “modern jazz.”
Inti dari permainan “modern jazz” ala Favre ialah ketenangan. Artinya, tim harus paham kapan menyerang dan bertahan. Tak ada pressing yang berlebih layaknya taktik Klopp. Semua harus diperhitungkan dengan sangat detil.
Dengan formasi andalan 4-2-3-1, yang bisa berubah menjadi 4-1-4-1, taktik Favre berjalan efektif. Di lini pertahanan, misalnya, Favre melakukan pendekatan lebih terstruktur dengan jarak antar ruang pemain yang rapat. Taktik Favre juga mengharuskan para pemain tak kelewat berambisi untuk menekan, saat menyerang maupun diserang.
Situasi yang sama juga terjadi saat transisi dari bertahan ke menyerang. Anak asuh Favre sangat sabar menguasai bola. Dari lini belakang, bola dialirkan ke tengah lewat operan pendek. Mereka menunggu kesempatan sekaligus kelengahan lawan. Dalam semesta Favre, gelandang tengah memainkan peran krusial. Mereka jadi pengatur ritme, pemecah kebuntuan, serta benteng pertama yang menghalau serangan lawan.
Skema ini berjalan lancar. Data WhoScored menyebutkan Dortmund lebih banyak mencetak gol lewat open play (26 kali atau sekitar 62 persen). Angka tersebut jauh dibanding dengan serangan balik yang cuma sebanyak 5 kali (12 persen). Meski nampak mengandalkan aliran bola lini tengah, Favre tetap punya opsi lain. Ketika lini tengah buntu membangun serangan, Favre memaksimalkan lini sayap untuk jadi tumpuan.
Tentu pendekatan taktik Favre tak akan berhasil apabila tidak ditopang barisan pemain yang mumpuni. Kombinasi kebijakan transfer yang tepat guna serta kehadiran bakat-bakat muda dalam tubuh Dortmund menciptakan soliditas yang berandil besar dalam kemampuan untuk menafsirkan strategi Favre.
Dalam setiap pertandingan, pemain-pemain baru macam Paco Alcacer, Alex Witsel, Abdou Diallo, hingga Achraf Hakimi bersinergi dengan Reus, Christian Pulisic, Jadon Sancho, Shinji Kagawa, serta Łukasz Piszczeck. Di tangan Favre, setiap pemain punya porsi yang lebih untuk berkontribusi dalam kemenangan yang diraih Dortmund.
Maka, yang terjadi setelahnya adalah kita bisa menyaksikan bagaimana Dortmund membantai Atletico Madrid empat gol tanpa balas hingga membenamkan seteru abadi, Munchen, dengan skor tipis (3-2) kendati tertinggal terlebih dahulu.
“Kami bermain sangat bagus dan menggerakkan bola dengan baik,” ujar Sebastian Kehl, mantan kapten Dortmund yang kini duduk di kursi manajemen. “Mereka yang baru saja datang ke sini bermain begitu baik. Itu membuat saya benar-benar bahagia. Pemain-pemain muda pun juga memperlihatkan kualitas yang hebat.”
Ditinggal Klopp memang bikin Dortmund patah hati. Namun, sekarang, bersama Favre mereka sudah move on dan bersiap menyambut lagi era keemasan. Tak berlebihan, bukan?
Editor: Nuran Wibisono