tirto.id - Dalam konferensi pers usai pertandingan melawan Valencia, pelatih Real Madrid, Santiago Solari, mengatakan bahwa dirinya bangga terhadap para pemain muda di tim asuhannya. Kata Solari, kehadiran pemain muda telah memberikan suntikan “energi dan kesegaran” pada pertandingan yang berkesudahan 2-0 untuk kemenangan Los Blancos itu.
Dengan Marcelo, Casemiro, dan Toni Kroos yang absen karena cedera, Madrid memulai pertandingan dengan Sergio Reguilon (21 tahun) di posisi bek kiri, Marcos Llorente (23 tahun), serta Dani Ceballos (22 tahun) di posisi gelandang tengah. Tak ketinggalan, Federico Valverde (20 tahun) masuk menggantikan Luka Modric menjelang akhir pertandingan.
Solari menyatakan tugasnya sekarang ialah mencari formula yang tepat untuk memadukan pemain muda dan senior agar Madrid bisa punya fondasi yang kokoh dalam mengarungi ketatnya kompetisi.
“Selain harus menemukan cara untuk bersaing dan mendapatkan poin, kami juga harus memikirkan bagaimana menyediakan ruang bagi pemain-pemain muda di sini untuk berkembang. Mereka sangat berbakat. Anak-anak harus terbang, dan satu-satunya tempat adalah di lapangan. Saya harap mereka semua ada di sini dalam waktu lima tahun,” jelas Solari, sebagaimana diwartakan ESPN.
Upaya Membangun Fondasi
Musim ini berjalan tak terlalu mulus bagi Real Madrid. Kehilangan Zinedine Zidane, pelatih yang membawa Madrid berjaya di level Eropa, hingga pindahnya sang megabintang Cristiano Ronaldo ke Juventus membikin Madrid limbung. Penunjukan Julen Lopetegui sebagai nakhoda pun tak mengubah apa-apa. Ia bahkan harus kehilangan jabatannya setelah Madrid dibantai 5-1 oleh rival abadinya, FC Barcelona.
Usai periode memalukan itu, Madrid berupaya bangkit. Alih-alih mengontrak pelatih sekaliber Antonio Conte maupun Arsene Wenger—dua nama yang santer dikabarkan merapat ke Santiago Bernabeu—manajemen justru memilih Santiago Solari, pelatih Real Madrid Castilla yang juga mantan pemain Madrid (2000-2005), untuk menggantikan Lopetegui.
Kendati tak ada perbedaan yang signifikan dalam hal taktik (Madrid era Solari masih cenderung memainkan bola-bola direct dan skema counter attack warisan Carlo Ancelotti dan Zidane), Madrid perlahan stabil mendulang kemenangan demi kemenangan. Dari total 11 pertandingan yang sudah dijalani di semua kompetisi, Madrid yang berada di bawah komando Solari sejak 29 Oktober 2018, sukses memenangkan 9 di antaranya.
Namun, bukan perkara kemenangan yang bikin kepelatihan Solari di Madrid menarik. Melainkan bagaimana pelatih kelahiran Argentina ini memaksimalkan—atau lebih tepatnya memberi porsi lebih—bagi pemain muda Madrid untuk unjuk gigi. Solari seperti hendak mengubah citra yang selama ini melekat pada Madrid: tim bola yang hobi membeli pemain bintang dan alergi terhadap pemain muda.
Solari bisa dibilang sosok tepat untuk mengemban misi itu. Pasalnya, sebelum diangkat menjadi pelatih tim utama, Solari lebih dulu menghabiskan waktu bertahun-tahun di akademi pemain muda Madrid. Pengalaman ini membikin Solari paham tentang apa saja yang harus dilakukan dengan pemain muda.
Faktor lain yang mendorong Solari mengorbitkan pemain muda adalah Solari melihat Madrid yang sekarang sebagai tim yang mulai tua, lelah, dan tak punya ambisi besar seperti halnya beberapa tahun silam. Solari tak ingin Madrid kehilangan bahan bakar, dan ia percaya cara untuk mengembalikan antusiasme di tim yakni dengan memasukkan banyak pemain muda.
Maka, jadilah Madrid yang kita lihat seperti sekarang. Madrid yang dalam starting eleven-nya diisi banyak youngster. Kita dapat menyaksikan pemain dari akademi macam Sergio Reguilon, Javi Sanchez, Marcos Llorente, sampai Dani Ceballos rutin memperoleh kesempatan bermain di semua kompetisi. Peran mereka lebih menonjol, tumbuh secara organik, dan tak sekadar jadi penghangat bangku cadangan.
Tak hanya percaya dengan bakat akademi, Solari juga memberi peran kepada pemain muda non-akademi, seperti Alvaro Odriozola, Marcus Vinicius Jr., sampai Santiago Valverde. Ketika mereka sulit memperoleh menit tampil di bahwa kendali Lopetegui, tak demikian saat mereka diasuh Solari. Vinicius, misalnya, memperoleh minute play setidaknya di kisaran angka 200. Jumlah ini jomplang dibanding era Lopetegui (dia hanya mendapatkan 12 menit bertanding, selebihnya dititipkan di Castilla.)
Hal serupa juga dialami Llorente. Di bawah kepemimpinan Lopetegui, ia sama sekali tidak mendapatkan jatah bermain. Akan tetapi, situasi berbalik arah kala Solari masuk. Llorente dipercaya di lini tengah dan telah menunjukkan potensi yang cerah sebagai pesaing Casemiro.
Tentu, para pemain muda ini tak luput dari kekurangan. Kendati kemampuan masing-masing pemain cukup memuaskan (gocekan lincah Vinicius, ketenangan Llorente mengatur ritme pertandingan, hingga determinasi Odriozola menyisir sisi kanan lapangan), mental mereka masih belum terasah. Di pertandingan tertentu yang sarat tekanan, para pemain muda Madrid masih kelimpungan. Selain itu, mereka juga tak jarang melakukan kesalahan elementer yang kemudian dimanfaatkan lawan menjadi kesempatan untuk mencetak gol, seperti saat Madrid dibantai Eibar dan CSKA Moskow dengan skor yang identik: tiga gol tanpa balas.
Mengulang Sejarah?
Walaupun dikenal sebagai klub yang gemar menghabiskan banyak duit untuk membeli pemain bintang, tak berarti Real Madrid nihil riwayat pembinaan pemain muda. Sama halnya Barcelona, Atletico Madrid, maupun Athtletic Bilbao, Madrid juga punya kawah candradimuka untuk para pemain muda: “La Fabrica,” atau berarti “pabrik.”
Richard Fitzpatrick dalam “The Secrets of La Fabrica” yang dipublikasikan Bleacher Report (2016) menyebut bahwa sejarah panjang La Fabrica berawal sejak 1950-an. Saat itu, La Fabrica melahirkan pemain seperti Juan Santisteban, yang menjadi pilar inti Madrid kala menguasai Eropa selama lima tahun berturut-turut (1955-1960).
Seiring waktu, La Fabrica makin tumbuh. Pada 1972, Santiago Bernabeu, Presiden Real Madrid waktu itu, mendirikan Castilla, atau yang dikenal dengan tim B Real Madrid. Castilla menggantikan peran klub amatir lokal bernama Argupación Deportivo Plus Ultra yang sebelumnya berfungsi sebagai tim cadangan Madrid. Castilla dibentuk dengan tujuan menjadi tempat “transit” para pemain muda sebelum promosi ke tim utama.
Tak butuh waktu lama bagi Castilla untuk tampil sangar. Pada dekade 1980an, Castilla menggila. Saat aturan Copa del Rey mengizinkan tim cadangan ikut serta dalam kompetisi tersebut, Castilla melangkah jauh sampai babak final, sebelum akhirnya dikalahkan tim senior Madrid dengan skor 6-1. Keberhasilan Castilla masuk final membikin mereka dapat jatah bermain di kompetisi Eropa, tepatnya Piala Winners. Pada 1984, tim Castilla, di bawah komando Amancio Amaro, juga sukses menyabet gelar juara Liga Segunda—divisi dua Spanyol. Akan tetapi, mereka tidak memenuhi syarat untuk promosi karena kehadiran Real Madrid (tim utama) di La Liga.
Kehebatan produk Castilla, seperti dicatat Euan McTear dalam “When Real Madrid Castilla Reached The Copa Del Rey Final and Played in Europe” yang terbit di These Football Times, mendorong Alfredo Di Stefano, manajer Madrid kala itu, mempromosikan beberapa anak muda di sana. Mereka yang diangkat ke tim utama antara lain: Emilio Butragueño, Manolo Sanchis, Miguel González, Miguel Pardeza, dan Rafa Martin Vazquez.
Pilihan Di Stefano tak salah. Kelima pemain tersebut—yang kelak punya julukan “La Quinta del Buitre”—menjadi pilar penting Madrid tatkala memenangkan lima gelar liga berturut-turut antara 1986 hingga 1990, serta dua Piala UEFA (1985 dan 1986). Sejak saat itu, Castilla memegang peran krusial dalam kejayaan Madrid.
Akan tetapi, semua berubah saat Florentino Perez terpilih menjadi presiden klub pada 2000. Ia tak tertarik dengan pemain muda dari akademi. Menurut Perez, La Fabrica dan Castilla punya potensi, namun tak cukup untuk mengangkat gengsi Madrid sebagai klub besar. Perez tak peduli fakta bahwa tepat sebelum ia masuk, Madrid baru saja memenangkan Liga Champions dengan Casillas, Guti, dan Raúl—ketiganya produk La Fabrica—sebagai bagian dari inti klub.
Bagi Perez, Madrid butuh pemain bintang yang dikenal secara internasional agar mampu mendongkrak nilai pasar klub kesayangan Jenderal Franco ini di mata global. Ambisi itu dirangkum dalam proyek bernama “Los Galacticos.”
Walhasil, yang terjadi setelahnya adalah bencana. Madrid mulai getol memboyong pemain dengan harga yang tak masuk akal, dari Luis Figo, David Beckham, Zinedine Zidane, Michael Owen, sampai Ronaldo. Alih-alih membangun kesuksesan klub dengan proses berkesinambungan, Perez justru memilih jalan instan. Perez beranggapan, bintang-bintang yang didatangkannya mampu menjamin prestasi Madrid.
Aksi Perez ini berimbas bagi keberadaan pemain-pemain muda macam Francisco Pavon, Oscar Miñambres, Raúl Bravo, Álvaro Mejía, Borja Fernández, sampai Javier Portillo. Mereka memang diangkat ke tim utama. Namun, mereka, mengutip tulisan Blair Newman berjudul “Remembering Florentino Pérez's Pavones, The Players Real Madrid Forgot” yang tayang di The Guardian, hanya dipakai untuk pencitraan bahwa Madrid peduli dengan bakat-bakat akademinya.
Segala “ketamakan” Perez mendatangkan konsekuensi yang tak main-main. Madrid memang mampu jadi barang dagang global, namun, di rumahnya sendiri, Madrid hancur lebur. Prestasi seret, sementara di saat bersamaan pemain-pemain muda memilih cabut karena sadar mereka tak bisa mendapatkan jatah bermain di tim utama.
Cabutnya para pemain muda akademi Madrid kemudian menjadi ironi ketika mereka justru berkembang pesat di klub lain. (Juanfran di Atletico Madrid, Roberto Soldado di Getafe dan Valencia, Juan Mata di Valencia, Chelsea, dan Manchester United, hingga Jose Callejon di Napoli.)
Seolah tak berkaca dari kegagalan di masa lalu, Perez kembali menerapkan pendekatan yang sama kala terpilih menjadi presiden klub untuk kedua kalinya pada 2009. Ambisi untuk menjadikan Madrid sebagai “klubnya para bintang” dijadikan barang jualan. Cristiano Ronaldo, Kaka, Mesut Ozil, sampai pelatih Jose Mourinho diboyong ke Bernabeu untuk tujuan yang sama seperti sembilan tahun sebelumnya.
Namun, dalam perkembangannya, Perez tak lagi tutup mata akan pemain-pemain La Fabrica. Alvaro Morata, Jese Rodriguez, Marco Asensio, Lucas Vasquez, sampai Dani Carvajal adalah beberapa lulusan La Fabrica yang mendapatkan ruang lebih untuk tampil bersama Madrid serta berkontribusi atas keberhasilan klub ini menggondol La Decima. (Meski dua nama awal dijual dengan harga cukup tinggi ke Juventus dan PSG.)
Semakin ke sini, ambisi Perez untuk menjadikan Madrid sebagai “Los Galacticos” agaknya berkurang dan cenderung mengalihkan kepercayaannya kepada pemain muda. Dalam tiga sampai empat tahun terakhir, Perez mulai fokus merekrut bakat-bakat muda, baik dari akademi maupun dari klub lain. Ada yang disekolahkan terlebih dulu ke klub tetangga, ada pula yang setapak demi setapak diberi tanggung jawab untuk tampil di tim utama.
Pertanyaannya: apakah semua ini bisa berlangsung dalam jangka waktu lama atau hanya mampir sementara?
Editor: Nuran Wibisono