tirto.id - Izaäk Samuel Kijne duduk di samping tumpukan batu di kaki bukit Aitumieri, Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat. Dia dikerubungi muridnya. Saat itu ia memancangkan janji agar bangsa Papua merdeka dan memimpin masa depannya sendiri.
"Di atas batu ini saya meletakan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan makrifat untuk memimpin bangsa ini, tetapi bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri," kata Kijne, 26 Oktober 1925.
Kijne adalah seorang zending atau misionaris yang berasal dari Utrechtse Zendings Vereniging. Dalam berbagai literatur, ada beragam versi untuk nama depannya: Izaäk, Izhak, Isaac, hingga Izaac. Kisah hidupnya sudah sering dibukukan, salah satunya—yang berisi kutipan di atas—bertajuk Domine Izaak Samuel Kijne: Hidup dan Karyanya Bagi Bangsa dan Tanah Papua (2016: 130) yang ditulis Hanz Wanma dan diterbitkan Galang Press.
Tempat itu kini dinamai “batu peradaban”. Setiap mengajar, merenung, dan memimpin doa Kijne berdiri di atasnya.
Kijne menjadi salah satu pijakan perkembangan nasionalisme bangsa Papua. Hal itu diungkapkan Bernarda Materay dan Ode Jamal dalam prosiding seminar LPPM Universitas Cenderawasih yang bertajuk "Pertumbuhan nasionalisme Indonesia di antara orang Papua di Jayapura" (PDF). Mereka mengutip dari buku Bilveer Singh yang berjudul Papua Geopolitics and the Quest for Nationhood (2008).
Kijne menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat sejak Juni 1923. Dia menjadi kepala sekolah Cursus Volksschool Onderwijzer (CVO). Sekitar 22 tahun setelahnya, terjadi perdebatan dalam sidang Badan Pekerja Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada, 10 dan 11 Juli 1945.
Demi rasa keadilan, Mohammad Hatta mengatakan etnis dan kebudayaan Papua yang merupakan rumpun Melanesia berbeda dengan suku bangsa Melayu.
“Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak dipusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka. Akan tetapi bangsa Indonesia buat sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang merdeka,” ucap Hatta.
Hatta menang dalam voting anggota BPUPKI. Dia dan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945 tanpa menyebutkan Papua bagian dari Indonesia. Batas paling timur Indonesia ialah Sulawesi dan Maluku yang saat itu masih diduduki Jepang.
Meski begitu Hatta berseberangan dengan Sukarno dan Mohammad Yamin. Mereka menyatakan Papua menjadi sumber kekayaan alam yang tak ternilai jika diwariskan kepada generasi Indonesia. Dalam pidato pertamanya pada 23 Agustus 1945 Sukarno melenceng. Dia menyatakan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Frans Kasiepo memperkenalkan nama “Irian” sebagai narasi pengganti “Papua” melalui Konferensi Malino pada 18 Juli 1946. Kata itu berasal dari kata bahasa Biak "irarian" yang artinya berjemur atau terpapar sinar matahari. Nama tersebut menurutnya lebih cocok menggantikan kata Papua. Sukarno kemudian menciptakan akronimnya sendiri untuk kata Irian: Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Kasiepo adalah orang Papua yang mendukung Indonesia. Di halaman rumah Lukas Rumkorem, Kasiepo dan rekan-rekannya mengibarkan bendera merah putih tepat pada perayaan HUT Wilhemina, 31 Agustus 1945.
Kemerdekaan Papua Barat Tak Pernah Diakui Indonesia
"Bangsa [Indonesia] yang datang itu dengan sekejap saja menipu dan menguasai tanah serta bangsa [Papua] yang selama puluhan tahun kami persiapkan mereka untuk masa depan bangsanya sendiri."
Kalimat tersebut diungkapkan Izaäk Samuel Kijne kepada istrinya, Johanna Regina Uitenbogaard, pada 1970 usai ia tahu betapa manipulatifnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), 14 Juli 1969-2 Agustus 1969. The Act of Free Choice dikritiknya sebagai The Act of No Choice.
Padahal sebagaimana Indonesia, Papua Barat juga negara yang diakui kemerdekaannya oleh Belanda. Dalam hal ini, Papua Barat bukanlah provinsi yang ada sekarang, melainkan wilayah yang meliputi Papua Barat dan Papua saat ini. Pada 1 Desember 1961, tepat hari ini 58 tahun lalu, di kantor-kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB) alias pemerintahan daerah, penduduk berkumpul merayakan pengibaran bendera Papua Barat di samping bendera Belanda.
Para pejabat dan ratusan warga berkumpul sejak pukul 08.00 di depan Gedung Nieuw Guinea Raad (NGR) atau Dewan Nugini Belanda atau Papua. Mulai dari anggota-anggota partai politik, adviesraad Hollandia, para kepala distrik, Marcus Kasiepo, Willem Inuri, hingga Gubernur Nugini Belanda (NGR) Pieter Johannes Platteel. Peristiwa ini menjadi berita utama Koran Pengantara edisi 2-9 Desember 1961 dengan tajuk "Bendera Papoea Barat Berkibar" (PDF).
Upacara serupa juga terjadi di berbagai wilayah Papua, salah satunya Biak, basis nasionalisme Papua, sebagaimana diungkapkan Richard Chauvel dalam Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation (2005, PDF).
Usai menyanyikan lagu kebangsaan Belanda "Het Wilhelmus", Marcus mengambil bendera bintang kejora di Gedung NGR. Dia menyerahkannya kepada dua orang polisi untuk mengibarkannya di Rumah Sakit Pusat.
Marcus, sepupu Frans Kaisiepo, adalah anggota Komite Persiapan Kemerdekaan Papua Barat (KPKPB) yang diketuai Nin Youwe. Setelah Papua direbut Indonesia, Marcus menjadi eksil di Belanda. Di sana ia mendirikan basis operasional untuk kemerdekaan Papua. Hal itu dicatat Otto Ondawame dalam disertasinya di Australian National University yang bertajuk West Papuan Nationalism and the Organisasi Papua Merdeka (OPM) or Free Papua Movement (2000).
Inisiasi kemerdekaan Papua Barat muncul dari manifestasi politik Komite Nasional yang mendesak Belanda pada 19 Oktober 1961 di Hollandia. Mereka ialah Nicholaas Jouwe, E.J. Bonay, Nicholaas Tanggahma, dan F. Torey. Marcus dan Inuri juga menjadi bagian yang mendorong mereka (PDF).
“Kami bangsa Papua menuntut untuk mendapatkan tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka di antara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia,” bunyi pernyataan dalam manifesto politik yang ditandatangani puluhan orang tersebut (PDF).
Nyanyian religi ciptaan Kijne “Hai tanahku Papua” dijadikan lagu kebangsaan. Selain itu Komite Nasional menyatakan, tanah yang mereka merdekakan bernama Papua Barat. Sedangkan bangsa yang menghuninya ialah bangsa Papua. Selain itu bendera nasional mereka ialah bintang kejora atau George Junus Aditjondro menyebutnya dalam bahasa Biak, sampari.
"Hai tanah ku Papua. Kau tanah lahirku. Ku kasih akan dikau sehingga ajalku," begitu bunyi puisi yang dibuat Kijne dan diterbitkan dalam buklet Seruling Emas (PDF).
Sukarno meradang. Pada 19 Desember 1961 dia mengeluarkan maklumat Trikora yang diiringi serangan terhadap Belanda dan pejuang kemerdekaan Papua Barat. Maire Leadbeater menulis pada 1 Januari 1963 Sukarno menetapkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dikendalikan Soeharto.
Padahal Perdana Menteri Selandia Baru Keith Holyoake sempat mengirimkan pesan kepada Sukarno pada 21 Desember 1961. Holyoake meminta Sukarno tak melancarkan perang. Sebab pendekatan perdamaian lebih penting untuk diperhitungkan sebagai solusi, demikian catat Maire Leadbeater dalam See No Evil: New Zealand’s Betrayal of The People of West Papua (2018: 82).
Melalui politik diplomasi, pemerintah Indonesia mengganjal laju dekolonialisasi Papua Barat. Strategi itu dilakukan melalui New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Perjanjian itu dibuat tanpa melibatkan orang asli Papua. Terlebih tak ada pembicaraan terkait nasib dan masa depan orang-orang Papua kecuali eksploitasi sumber daya alamnya. Hal itu diungkapkan Socratez Sofyan Yoman dalam Pemusnahan Etnis Melanesia di Papua Barat: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (hlm. 117). Buku terbitan Galang Press tahun 2007 ini dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia.
Hasilnya, Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) mengambil alih Papua Barat pada 1 Oktober 1962. Namun pasukan PBB dari Pakistan tak mampu memediasi ketegangan antara Indonesia, Belanda, dan Papua Barat. Mereka juga gagal menjamin rasa aman dan kemerdekaan menyampaikan pendapat sesuai Pasal 22 New York Agreement.
Berdasarkan buku Yorris Raweyai Mengapa Papua Ingin Merdeka (2002), militer Indonesia mengintimidasi dan menghasut bangsa Papua untuk merusak pos UNTEA. Selain itu militer Indonesia juga melarang pengibaran bendera bintang kejora dan menyanyikan lagu "Hai Tanahku Papua". Mereka berulang kali melakukan tindakan penangkapan. Namun mereka mendukung orang-orang yang berunjuk rasa dengan tuntutan, percepatan perebutan Indonesia atas Papua Barat.
“Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan membangun Papua Barat sejak 1 Mei 1963. Indonesia telah melaksanakan berbagai kemajuan secara memuaskan setelah Papua Barat lepas dari jajahan Belanda,” kata Soeharto dalam pidatonya di depan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Jumat 16 Agustus 1968. Saat itu ia sudah menjadi presiden ke-2 RI.
Semua itu terjadi hingga Pepera dilakukan. Pemerintah Indonesia membuka Kodam XVII Cenderawasih pada 1965. Mereka menggalakkan Operasi Sadar. Beberapa kepala suku, orang-orang yang menolak aneksasi Indonesia, dan mereka yang terhubung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) ditangkap dan dibunuh.
Pepera dilakukan dengan mengangkangi praktik yang diterima secara internasional yakni "one man, one vote" dan melakukan pemungutan suara melalui utusan atau perwakilan. Tak heran hingga kini Pepera dianggap manipulatif dan penuh intimidasi.
Pemberontakan OPM: "One People, One Soul"
Sejak 26 Juli 1965, gencarnya serangan militer Indonesia disambut oleh pemberontakan OPM yang dikomandoi para tokoh Pegunungan Arfak dan Biak. Pemimpinnya ialah tokoh karismatik Johan Ariks yang menggandeng bekas anggota Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) untuk mempertebal kekuatan tempur.
Pemberontakan itu mereka luncurkan di Kebar, Manokwari. Ferry Awom, Lodwick dan Barren Mandatjan terlibat sebagai pimpinan. Pemberontakan itu bertujuan mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, sebagaimana dikisahkan George Junus Aditjondro dalam Cahaya bintang kejora: Papua Barat dalam kajian sejarah, budaya, ekonomi, dan HAM (2000).
Pada 1 Juli 1971 Seth Jafet Rumkorem memproklamasikan pemerintahan Papua Barat. Orang Suku Biak itu adalah mantan anggota TNI-AD Kodam Diponegoro. Gerakan ini dijuluki OPM Markas Victoria (Mavik). Kekuatan militernya dari Tentara Pembebasan Nasional (TPN)—kini TPN Papua Barat (TPNPB). Penyebab pergolakan itu adalah pelanggaran HAM menjelang Pepera 1969 oleh aparat Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh studi Ngatiyem bertajuk Organisasi Papua Merdeka 1964-1998 (PDF) dan pernyataan Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom (PDF).
Jacob Prai sebelumnya adalah sekutu bagi Rumkorem, namun berpisah sejak meletus friksi pada 13 Maret 1976. Jacob mendirikan garis struktural baru OPM pada 26 Desember 1976. OPM ini dijuluki sebagai Pembela Keadilan (Pemka). Sayap militer dari kelompok itu ialah Pasukan Pembebasan Nasional (Pepenal), sebagaimana dituturkan disertasi Otto Ondawame West Papuan Nationalism and the Organisasi Papua Merdeka (OPM) or Free Papua Movement (2000).
“OPM lahir sebagai respons tidak hanya terhadap ketidakadilan sistem sosial-politik yang diciptakan oleh kekuatan kolonial Indonesia, tetapi juga terhadap kebijakan penolakan yang dilakukan oleh komunitas internasional pada 1960-an,” tulis Otto.
Otto menuturkan, OPM kerap dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar yang mengganggu stabilitas Indonesia. Mereka dianggap terpecah-pecah dan tak memiliki arahan yang jelas. Selain itu bangsa Papua dilabeli primitif, malas, dan inferior.
Yorris Raweyai mencatat ada sekitar 14 pemberontakan OPM sepanjang 1965 hingga 1995, di antaranya yang terjadi di Pos Makbon, Irai, Erambo, Sausapor, Manokwari, Ubrub, Enarotali, Jayawijaya, hingga Timika. Salah satunya penembakan pesawat yang membawa Sarwo Edhie pada 27 April 1969.
Tak ada satu pun yang berdiri pada 1 Desember. Jauh-jauh hari Polri telah membangun narasi bahwa hari peringatan kemerdekaan Papua Barat adalah HUT OPM.
Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mencoba menyatukan beragam sayap militer pada 1 Juli 2019. Dia dan para pimpinan Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Parlemen Nasional West Papua (PNWP), dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) mendeklarasikan West Papua Army yang terdiri dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) dan TPNPB.
Indonesia telah gagal mengelola Papua Barat dengan memakai cara-cara sentralistik. Hal itu diakui pemerintah Indonesia melalui penjelasan umum UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, sebagaimana ditulis Frans Pekey dalam Papua Mencari Jalan Perdamaian: Telaah Konflik dan Resolusi di Bumi Cenderawasih (2018).
Kegagalan itu tampak pada fakta bahwa Indonesia tak mampu membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua dan Komisi Hukum Ad Hoc. Selain itu berbagai konflik terus terjadi di Papua dan Indonesia masih menggunakan pendekatan militeristik. Kebijakan lain yang tak diterapkan: pelurusan sejarah bangsa Papua.
Kijne jauh-jauh hari telah menanamkan nasionalisme yang kuat. Murid-muridnya tergabung dalam berbagai upaya untuk kemerdekaan Papua Barat. Ia menggabungkan kepercayaan lokal dan kekristenan yang dikemas dalam injil, pendidikan, dan peradaban (PDF).
"Anak-anak Papua rajin bekerja dan mereka bisa bekerja untuk tanah dan bangsanya sendiri," kata Kijne.
Kijne juga membangun nilai-nilai pendidikan demokratis melalui cerita pendek "Kota Emas" (PDF). "Mengapa engkau kemari seorang diri? Mengapa tidak kau panggil sahabatmu dahulu? Ia harus menyertai engkau, bukan? Berduka bersama-sama, bersuka bersama-sama," tulis Kijne dalam cerita pendeknya.
Editor: Windu Jusuf