Menuju konten utama

Eksekutif Barat Mendamba Pekerjaan di Cina

Beberapa eksekutif perusahaan global memutuskan untuk pindah ke perusahaan Cina dalam beberapa tahun terakhir. Pesatnya laju ekonomi Cina yang berbanding lurus dengan melesatnya performa perusahaan Cina mampu menarik mereka untuk berkiprah di negeri Tirai Bambu ini. Apa saja faktor yang memengaruhi fenomena ini?

Eksekutif Barat Mendamba Pekerjaan di Cina
Hugo Barra, mantan Vice President Google bidang Manajemen Produk ini memutuskan untuk bergabung dengan raksasa smartphone Cina, Xiaomi. [Foto/androidheadlines.com]

tirto.id - Hugo Barra telah membulatkan tekadnya dan mengambil satu langkah drastis. Mantan Vice President Google bidang Manajemen Produk ini memutuskan untuk bergabung dengan raksasa smartphone Cina, Xiaomi, pada Agustus 2013 lalu. Langkah Barra cukup mengejutkan, karena ia digadang-gadang sebagai salah satu eksekutif andalan dari perusahaan mesin pencari internet terbesar dunia tersebut.

“Bagi saya, saat ini merupakan kesempatan sekali dalam seumur hidup, [bekerja di Xiaomi] adalah pekerjaan impian. Saya tertantang untuk membangun sebuah perusahaan global yang bisa setara dengan Google, dimulai dari tingkatan terbawah,” ujarnya kepada laman AllthingsD.

Beragam spekulasi merebak seiring pindahnya Barra ke Xiaomi, termasuk isu perselisihannya dengan pendiri Google, Sergey Brin. The Diplomat bahkan memberitakan bahwa keduanya terlibat cinta segi-empat yang menjerat Brin, Barra, istri Brin, dan selingkuhan Brin di Google—sekaligus mantan kekasih Barra. Namun, Barra membantah rumor tersebut.

Seakan menjawab rasa penasaran publik, pada Desember 2013, Barra menghadiri konferensi teknologi Le Web di Paris untuk berbagi tentang alasan utamanya pindah ke Cina. Barra mempresentasikan beberapa perkembangan positif dalam iklim investasi di negara itu.

Ia menyebutkan, Cina memiliki 600 juta pengguna internet aktif dengan 50% pertumbuhannya terjadi antara 2010-2013. Cina juga memiliki 8 juta lulusan perguruan tinggi, lebih besar dari Amerika Serikat. Selain itu, Cina memiliki laju disposable income per kapita yang sangat pesat: melonjak tiga kali lipat dalam kurun waktu 2004-2012.

Barra ingin berkata kepada publik yang menghadiri ajang itu bahwa Cina adalah raksasa ekonomi global sekaligus pasar terbesar yang sangat potensial bagi para top executive di perusahaan global.

Ambisi Besar di Teknologi

Cina memiliki ambisi yang sangat besar untuk membenahi dan memperluas skala industri teknologinya. Hal ini nampak dari para eksekutif yang masuk ke perusahaan Cina, dimana sebagian besar dari mereka berkecimpung di industri teknologi.

Google menjadi perusahaan teknologi favorit untuk "dibajak" para perusahaan Cina. Hampir bersamaan dengan pindahnya Barra ke Xiaomi, dua petinggi Google lainnya juga ikut pindah ke Cina : Andrew Ng (kepala Brain Project Google) yang pindah ke Baidu dan Jane Penner (Kepala Investor Relation Google) ke raksasa e-commerce Alibaba. Ketiga petinggi ini pindah secara bersamaan pada 2013.

Perusahaan smartphone merupakan lini industri teknologi Cina yang paling agresif merekrut para ekspatriat dari perusahaan-perusahaan raksasa global. Nama-nama seperti Xiaomi dan Huawei merupakan para "pembajak" yang paling aktif.

Huawei tercatat sukses merekrut Yang Zhe, mantan chief marketing officer Samsung untuk wilayah Cina, pada 2012. Ia menduduki posisi serupa di Huawei dan bertanggung jawab menangani ekspansi Huawei di dalam negeri. Pada Oktober 2015, giliran Apple yang menjadi korban keganasan Huawei. Perusahaan yang didirikan Steve Jobs itu harus rela kehilangan Abigail Sarah Brody –creative director Apple sekaligus perancang user interface dari iPhone keluaran pertama.

Huawei juga sukses merekrut Andy Ho dari Samsung pada Agustus 2016. Ho tercatat sebagai Vice President of Consumer Business dari Samsung untuk area Greater China. Ho sendiri telah malang-melintang selama 25 tahun di bidang penjualan dan manajemen untuk Nokia dan Samsung.

“Strategi global kami beserta pesatnya perkembangan industri Huawei akan menyediakan platform yang baik bagi para talenta manajemen terbaik di dunia,” papar Richard Yu, Chief Executive of Consumer Business Huawei kepada South China Morning Post.

Perekrutan para eksekutif dari perusahaan rival merupakan cara Huawei untuk memperkuat lini produksinya demi merambah ke pasar global. Sebagai perusahaan smartphone terbesar ketiga setelah Samsung dan Apple, Huawei bertekad untuk menggerus jarak antara mereka dengan dua kompetitor di atasnya itu.

Richard Yu mengakui, Huawei menargetkan untuk menyalip posisi Apple sebagai perusahaan smartphone terbesar kedua dunia pada 2019. Selanjutnya, mereka juga mengincar untuk menggeser Samsung sebagai perusahaan smartphone terbesar dunia pada 2021.

Huawei saat ini mulai menunjukkan taringnya. South China Morning Post mencatat, perusahaan ini berhasil meningkatkan shipments mereka sebesar 25% menjadi 60.56 juta unit dalam enam bulan pertama 2016. Huawei juga merancang versi premium dari produk mereka supaya dapat menyaingi produk-produk andalan seperti iPhone dan seri Galaxy secara “head-to-head”.

Xiaomi juga menyimpan ambisi yang tak kalah besar dibandingkan Huawei. Tech Crunch mencatat, Xiaomi yang baru didirikan pada 2010 sudah berhasil menorehkan nilai valuasi sebesar 10 miliar dolar AS pada 2013. Pada tahun yang sama, Xiaomi telah mampu menyamai market value Lenovo serta dua kali lipat lebih besar dibandingkan Blackberry, sang penguasa lama pasar smartphone dunia.

Xiaomi selalu mencitrakan dirinya sebagai “Apple versi Cina”. Bahkan, sang CEO Xiaomi, Lei Jun, kerap meniru penampilan Steve Jobs dengan memakai celana jins dan kaos hitam saat mempresentasikan produk terbarunya. Di sisi lain, Xiaomi ternyata telah berhasil menyalip penjualan Apple di Cina. Menurut perusahaan konsultan IT Canalys, Xiaomi memiliki pangsa pasar sebesar 5%, unggul tipis dari Apple yang membukukan 4,8% pada 2013.

Strategi "Pukulan Ganda"

Industri-industri besar Cina mulai beranjak untuk meluaskan ekspansinya ke tingkatan global. Untuk itu, mereka terlebih dahulu mengonsolidasikan diri untuk memperkuat basis pasarnya di dalam negeri. Apabila basis pasar dalam negeri sudah solid, perusahaan-perusahaan Cina akan mulai menyasar skala yang lebih luas. Strategi ini disebut sebagai “strategi pukulan ganda” oleh CEO Lenovo, Yang Yuanqing.

Hal ini juga turut diamini oleh pendiri Xiaomi, Lei Jun. Ia menyatakan bahwa perekrutan Hugo Barra sebagai kepala pengembangan bisnis internasional adalah bentuk keseriusan Xiaomi dalam berekspansi.

“Barra akan bertanggung jawab terhadap ekspansi bisnis global Xiaomi,” papar Lei Jun dalam akun Weibo-nya.

Beberapa perusahaan Cina yang telah berhasil mengamankan pasar dalam negerinya kini telah mulai melancarkan pukulan di tingkat global.

Venture Beat mencatat, Baidu, mesin pencari serupa Google buatan Cina, telah merambah ke Thailand, Brazil, dan Mesir. Sementara itu, Xiaomi dan Alibaba juga telah berancang-ancang untuk melakukan hal yang sama. Alibaba bahkan telah resmi masuk ke bursa saham paling prestisius di dunia, New York Stock Exchange, melalui mekanisme initial public offering (IPO) sejak 2014 lalu.

Guyuran Uang yang Makin Menggoda

Cina saat ini mulai menggantungkan perekonomiannya kepada para perusahaan-perusahaan besarnya. Riset yang dilaksanakan oleh Royal Economic Society (RES) dan National Institute of Economic and Social Research (NIESR) menyebutkan, para perusahaan besar adalah penggerak sebenarnya dari peningkatan PDB Cina sebesar 250% dalam kurun waktu 2001 – 2010.

Dalam kurun waktu yang sama, output yang dihasilkan oleh perusahaan yang terdaftar secara publik di Cina tumbuh sebesar delapan kali lipat dan menyumbang 43 persen dari PDB Cina sampai 2010. Market capitalization dari perusahaan-perusahaan tersebut tercatat setara dengan 81 persen dari total PDB.

Di sisi lain, terintegrasinya perusahaan-perusahaan Cina dengan pasar global membuat kebutuhan akan para ekspatriat berpengalaman akan meningkat. Pengalaman dan kemampuan mereka yang telah lama bergelut dengan pasar global sangat diperlukan mengingat perusahaan-perusahaan besar Cina umumnya masih dijalankan secara tradisional dengan struktur yang ketat dan unsur feodalisme yang masih kental. Faktor ini tentu saja akan menghambat kinerja perusahaan di ranah global yang membutuhkan kreativitas tinggi dan ruang pengambilan keputusan yang lebih luas.

Salah satu faktor penarik para ekspatriat untuk bekerja di Cina adalah insentif keuangan. NIESR mencatat, total gaji dan kompensasi untuk tingkatan top executive di Cina pada 2010 sudah menyentuh angka 129.399 dolar AS. Angka ini memang relatif kecil jika dibandingkan jumlah yang diperoleh di AS atau Eropa. Namun, angka ini menunjukkan peningkatan yang pesat yaitu dua kali lipat dalam kurun waktu 2005 hingga 2010.

“Meskipun memiliki latar belakang politik berbeda, skema insentif yang digunakan oleh perusahaan Cina sebenarnya meniru perusahaan-perusahaan di Barat,” pungkas Alex Bryson dari NIESR.

Baca juga artikel terkait EKSPATRIAT atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti