tirto.id - Resmi sudah: selama empat tahun ke depan Rahman Widodo tak bisa mengikuti kompetisi resmi cabang olahraga binaraga di segala tingkat.
Ketua Dewan Disiplin Anti-Doping Cahyo Adi didampingi Sesmenpora Gatot S Dewa Broto, Ketua LADI Zaini Khadafi Saragih dan perwakilan KONI Pusat pada Kamis (4/5/2017) di Kemenpora, Jakarta, mengumumkan bahwa atlet asal DI Yogyakarta itu terbukti menggunakan doping saat mengikuti ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016 di Jawa Barat.
Cahyo Adi menjelaskan bahwa alasan Rahman dijatuhi sanksi maksimal karena ia menggunakan steroid. Sanksi yang diberikan kepada Rahman Widodo ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan sanksi yang diberikan kepada empat atlet lainnya. Satu di antaranya diputus bebas yaitu Awang Latiful Habir yang merupakan atlet binaraga asal Kalimantan Timur.
Tiga atlet lainnya yakni Safrin Sihombing yang merupakan atlet menembak asal Riau dan dua atlet Peparnas yaitu Cucu Kurniawan yang merupakan atlet atletik asal Jawa Barat serta Adyos Astan, hanya mendapatkan sanksi tidak boleh beraktivitas di cabang olahraga tersebut selama enam bulan, demikian laporan Antara.
Sementara itu pada gelaran Olimpiade London pada musim panas tahun 2012 silam, juara dunia lompat tinggi asal Yunani Dimitris Chondrokoukis dikeluarkan setelah terbukti menggunakan obat terlarang steroid.
Daftar pelanggaran akibat doping steroid merentang panjang. Salah satunya kasus pelari asal Kanada Ben Johnson di Olimpiade Seoul 1988. Kejatuhan Johnson masih menjadi skandal doping terbesar dalam sejarah Olimpiade. Setelah dilarang tampil selama dua tahun, Johnson kembali bertanding tetapi kembali dihukum seumur hidup setelah ditemukan terlalu banyak steroid di aliran darahnya.
Kasus tersebut membuka kembali isu seputar penggunaan steroid di kalangan atlet. Binaraga memang jadi salah satu cabang olahraga dengan pengguna steroid terbanyak. Berbeda dengan atlet cabang lain yang memakainya demi daya tahan, atlet binaraga memakainya demi otot luaran yang menjadi modal utama berlaga.
Jenis steroid yang kerap dipakai para atlet adalah steroid anabolik. Secara sederhana, sebagaimana penjelasan National Health Service (NHS) Inggris, steroid anabolik adalah resep obat-obatan yang kadang-kadang diambil tanpa saran medis untuk meningkatkan massa otot dan meningkatkan kinerja atletik.
Terlepas dari penilaian bahwa pemakaian steroid anabolik otomatis mencederai sportivitas, jika tak dikontrol atau dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, si pelaku bisa kecanduan steroid dan akan mendapat efek yang buruk bagi diri dan kariernya sendiri di masa depan.
Pendek kata, steroid anabolik adalah jalan pintas bagi atlet untuk meraih performa tinggi, yang bagi atlet natural bisa dicapai dalam jangka waktu yang jauh lebih lama. Atlet normal bisa meraih sumber tenaganya dari protein yang berasal dari makanan. Steroid anabolik berlaku seperti injeksi protein ekstra ke dalam tubuh sehingga memacu pembentukan massa otot dalam waktu singkat.
Steroid anabolik biasanya dimasukkan ke tubuh lewat suntikan, tetapi beberapa jenis lainnya bisa lewat pil untuk ditelan atau berbentuk krim untuk dioles ke kulit. NHS mencatat bahwa sebagian besar orang paham efek yang timbul dari pemakaian steroid, namun menyepelekannya. Para pelaku kerap mengonsumsinya dalam satu periode di mana ia paling aktif berkompetisi, kemudian libur sejenak sebelum mengulanginya jelang turnamen berikutnya.
Pada 2009 silam Scientific American pernah melakukan wawancara tentang penggunaan steroid anabolik di kalangan atlet dengan profesor kesehatan dan olahraga The College of New Jersey, Jay Hoffman. Saat itu, seorang atlet baseball kenamaan bernama Alex Rodriguez mengejutkan publik dengan pengakuannya sebagai pemakai steroid.
Hoffman, sebagai mantan atlet American Football di era 1980-an yang juga pernah memakai steroid, mengatakan bahwa obat yang juga disebut androgen itu dimasukkan ke tubuh melalui suntikan ke pantat. Dari pengalamannya, Hoffman merasa bahwa dulu ia lebih mudah sembuh dari cedera ketimbang atlet yang tidak menggunakan steroid. Dengan demikian, ia mampu berlatih lebih keras ketimbang kawan-kawannya.
Pemakaian zat yang menjadi bahan utama steroid pada atlet jelang masa modern terjadi pertama kali pada perenang asal Amsterdam, Belanda, di era 1860-an. Steroid yang berisi zat yang mampu memacu testosteron, dan telah diperbaharui sedemikian rupa hingga kini, pertama kali dilakukan pada 1930-an. Lalu pada 1933 istilah “doping” mulai populer di kalangan atlet, demikian dalam catatan Vice.
Di arena olahraga resmi, steroid diperkenalkan pada era 1940-an dan 1950-an, mulai dari Eropa dan menyebar hingga ke tempat lain. Di Rusia, pemakaian steroid dan zat untuk doping lainnya tergolong populer terutama di kalangan atlet atletik. Pada era 1950-an atlet dari Negeri Beruang Merah itu mulai mendominasi cabang angkat besi tingkat dunia.
Akibat melanggar sportivitas dan ditambah kasus meninggalnya atlet sejak era 1960-an, steroid anabolik kemudian dilarang penggunaannya oleh banyak lembaga. World Anti-Doping Agency (WADA) telah memasukkan anabolik sebagai salah satu doping sejak 2006. Lembaga lain yang telah mengikutinya, termasuk ATP (Asosiasi Tenis Profesional), Komite Olimpiade Internasional (IOC), Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA), Federasi Sepakbola Internasional (FIFA), dan lain sebagainya.
Jay Hoffman menjelaskan bahwa efek samping penggunaan steroid anabolik tergantung berapa banyak yang diinjeksikan ke tubuh, berapa lama pemakaiannya, dan bagaimana tubuh sang atlet merespon steroid yang masuk ke tubuhnya. Salah satu yang paling umum adalah pegal-pegal di bagian punggung dan tulang belakang.
Efek samping lain yang juga serupa dengan yang dipaparkan NHS dalam website resminya, menyasar bagian reproduksi si atlet pria. Pemakaian steroid membuat ukuran testis menyusut, demikian juga kelenjar prostatnya yang berisiko menimbulkan penyakit kanker prostat. Jumlah sperma si atlet jadi berkurang sehingga ada risiko mengalami infertilitas alias tak subur. Efek samping lain meliputi kebotakan, impotensi, dan pembesaran pada bagian dada dan puting.
Sementara itu efek yang terjadi pada atlet perempuan, menurut catatan The American College of Obstetricians and Gynecologists, yakni tumbuh jerawat, hirsutisme atau tumbuh rambut di bagian tubuh yang tak lazim, suara makin berat atau menyerupai suara pria, mengalami klitoromegali alias pembesaran klitoris, penyusutan payudara, resiko infertilitas, menstruasi tak teratur, dan gampang depresi serta mood yang naik-turun.
Departemen Kesehatan New York, AS, membuat daftar risiko yang bahkan lebih panjang lagi. Steroid memicu tekanan darah meninggi dan menyebabkan pemakai steroid anabolik rentan terkena serangan jantung, stroke, pembuluh darah tersumbat, dan kolesterol. Pada organ hati, muncul resiko tumor dan hepatitis. Pada tulang, muncul resiko perlambatan pertumbuhan terutama bagi remaja. Pada kulit, selain kebotakan, muncul resiko pembengkakan berisi air, stretch mark, hingga ruam.
Terkadang, atlet yang menggunakan steroid anabolik kerap berbagi jarum suntik atau peralatan lain yang mereka gunakan untuk memasukkan obat tersebut. Kebiasaan berbagi jarum suntik akan menjadikan seseorang punya risiko tinggi terhadap penularan virus HIV yang menjadi pangkal penyakit AIDS.
Binaragawan paling populer di Indonesia, Ade Rai, pernah mengeluarkan unek-uneknya bahwa sejak pertengahan 2000-an, ia menjumpai banyak atlet binaraga yang tak ubahnya seorang peracik obat. Aturan kompetisi yang tak tegas, termasuk dalam tes narkoba, membuat atlet binaraga Indonesia yang natural atau bebas dari konsumsi zat terlarang semakin sedikit. Ade bahkan mengatakan bahwa mereka yang bersih ini sudah jadi minoritas.
Perbandingan antara keduanya jauh sekali, kata Ade. Jika para atlet yang menggunakan obat dalam setahun bisa membentuk tubuh yang besar, sementara yang natural baru bisa mencapai hasil yang serupa dalam jangka waktu lima tahun."Saat kompetisi mereka tentu saja akan menang. Kalau tanding, atlet yang natural pasti kalah terus pikirannya kalau tidak pakai obat juga, ya tidak tanding," imbuhnya kepada Antara.
Ade paham tentang bahaya yang mengancam bagi para atlet yang mengonsumsi steroid atau obat-obatan hormon. Ia mengatakan sudah banyak atlet binaraga yang sakit atau bahkan meninggal karena dampak obat-obatan tersebut. Di sisi lain, penggunaan obat tentu melanggar sportivitas, prinsip paling utama yang mesti dipegang para atlet.
"Kalau bicara olahraga kan ajang sportivitas, itu yang sekarang tidak ada. Ini jelas menjadi tidak adil," pungkasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf