tirto.id - Selepas memperoleh kekuasaan, Josep Stalin memulai revolusi yang ia sebut “Pembersihan Besar-Besaran” pada 1936-1938. Orang-orang yang tak sejalan dengan Stalin dileyapkan dari bumi Uni Soviet. Paling tidak, 750 ribu orang tewas dari aksi bersih-bersih itu.
Stalin tak hanya melenyapkan manusia dalam arti fisik, tapi juga dokumentasinya. Dalam sebuah foto yang beredar pada 1934, misalnya, terbingkai beberapa pejabat Soviet, seperti Avel Enukidze, Akhun Babayev, Ortaqlar Blan Birlikda, Zalaridan Avezov, Tursun Kodzhayev, dan Perdana Menteri Vyacheslay Molotov. Kala Pembersihan dimulai, Avel Enukidze, si anggota badan pemerintah tertinggi Partai Komunis itu, dilenyapkan dari bingkai foto. Alasannya, Enukidze dianggap sebagai musuh negara.
Enukidze tak sendirian. Lev Kamenev, politikus Uni Soviet, pun dihapus dari bingkai fotonya bersama Stalin yang dipotret jauh sebelum revolusi dimulai. Alasannya sama, Kamenev dianggap menghianati Soviet.
Melalui revisionisme fotografis, Stalin mengubah sejarah Soviet.
“Pemanipulasi fotografi di Soviet menghabiskan waktu berjam-jam, misalnya, untuk merapikan cacat kulit yang tidak sempurna, membantu kamera memalsukan kenyataan," tulis David King dalam buku The Commissar Vanishes: The Falsification of Photographs and Art di Rusia Stalin.
“Pada Pembersihan Besar-Besaran, yang berkecamuk pada akhir 1930-an, muncul bentuk pemalsuan fotografi baru. Pemberantasan fisik lawan-lawan politik Stalin di tangan para polisi rahasia diikuti oleh penghapusan mereka dari segala bentuk dokumentasi bergambar,” lanjut King.
Di belahan bumi lain, manipulasi fotografi pun umum dilakukan. Salah satunya ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Foto-foto luar angkasa yang dihasilkan teleskop Hubble contohnya.
Teleskop Hubble jelas bukan kamera seperti DSLR atau kamera saku. Untuk menghasilkan foto antariksa, Hubble menangkap spektrum elektromagnetik yang berbeda-beda yang dipancarkan benda-benda angkasa, memanfaatkan sensor CCD alias charge-couple device.
Foto Galaksi NGC 3982, sebuah galaksi yang berjarak 68 juta tahun cahaya dari bumi yang dipublikasikan NASA, merupakan salah satu foto yang dihasilkan oleh Hubble.
Namun, proses menghasilkan foto galaksi tersebut tidak sama seperti menghasilkan foto biasa melalui kamera ponsel ataupun DSLR. Hubble hanya menangkap 7 spektrum grayscale, yang beberapa di antaranya bahkan tidak bisa dilihat langsung mata manusia (rentang spektrum elektromagnetik yang mampu dilihat mata manusia sendiri berada di kisaran 390 hingga 750 nanometer).
Ilmuwan NASA melakukan proses pasca-produksi selama 10 jam yang bertujuan untuk melakukan pengukuran, tata-letak, pewarnaan, dan proses lainnya hingga membuat foto tersebut jadi. “Menciptakan foto [luar angkasa] dari grayscale adalah bagian dari seni dan sains,” ungkap NASA.
Proses pasca-produksi NASA itu dibantu aplikasi khusus: Photoshop.
Photoshop: Manipulasi Sejak dalam Pikiran
Manipulasi visual tak hanya dilakukan negara ataupun institusi khusus. Masyarakat pun umum melakukannya. Di Indonesia, Evi Apita Maya, calon anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat diprotes lantaran diduga menggunakan foto hasil olahan digital untuk digunakan dalam proses pemilihan.
Saksi Farouk Muhammad memprotes penggunakan foto yang dinilai tidak natural dan tidak merepresentasikan wajah asli Evi itu. “Semestinya berdasarkan peraturan, bakal calon harus menggunakan foto terbaru, maksimal foto enam bulan sebelum pendaftaran di KPU,” katanya.
Evi, dalam pesta demokrasi lalu, menempati posisi pertama di daerah pemilihannya dengan perolehan 283.932 suara. Dan perolehan ini dinilai terjadi lantaran banyak warga yang “kesengsem” atas kecantikannya.
Di tengah masyarakat, proses olah digital konten visual ini sering disebut: photoshopping. Proses oleh digital gambar yang menggunakan, sama seperti NASA, Photoshop. Kini, aplikasi ini telah digunakan lebih dari 12 juta orang—belum memperhitungkan pengguna Photoshop versi bajakan.
Photoshop merupakan aplikasi manipulasi visual, yang dikembangkan oleh Thomas dan John Knoll pada 1987. Kala itu, John, si adik, yang sedang bekerja bagi Industrial Light and Magic, punya masalah. Ia frustrasi karena kesulitan menampilkan grafis di komputer Macintosh miliknya. Thomas, si kakak, yang punya kemampuan pemrograman mencoba menyelesaikan masalah tersebut.
“Adikku tidak akan mau menerima jawaban tidak. Karena saya tidak menyukai menulis di kertas, saya mencoba menyelesaikan masalah adik saya itu dengan menulis program komputer,” kata Thomas Knoll pada laman resmi almamaternya.
Selepas bekerja selama 80 jam, dan diselingi pengerjaan tesis PhD, Thomas akhirnya menyelesaikan masalah adiknya itu. Terciptalah sebuah program komputer bernama Display, program yang membuat layar komputer hitam putih bisa menampilkan materi grafis. Inilah cikal bakal Photoshop, yang pada 1988 dilisensikan pada Adobe senilai $250 ribu, dan sepenuhnya dijual pada 1995 senilai $34,5 juta.
Dalam sejarahnya, John mempraktikkan Photoshop pada sebuah foto berjudul “Jennifer in Paradise.” Itu ialah foto sang kekasih, yang tengah menghadap pantai menggunakan bikini. Melalui Photoshop, John menghilangkan tali kutang perempuan yang kemudian menjadi istrinya itu.
“Itu adalah foto yang baik untuk digunakan dalam demo Photoshop," kenang John. “Menyenangkan melihat dan ada banyak hal yang bisa kamu lakukan dengan gambar itu secara teknis."
Tahun berlalu, Photoshop identik dengan aplikasi yang dapat mengubah citra menjadi lebih baik. Tak jarang, berlebihan.
Di dunia pemotretan, misalnya, selepas dipotret, foto-foto model dimanipulasi sedemikian rupa menggunakan Photoshop agar lebih indah. Dilansir DW, Thomas Knieper, akademisi yang fokus pada industri media, menyebut bahwa “Dunia fashion kini merupakan dunia yang memiliki problematika etik besar.” Alasannya, foto model dimanipulasi untuk “merentangkan kaki bintang-bintang, mengecilkan pinggang mereka dan menghilangkan kerutan dan cacat kulit mereka. Ini dilakukan agar orang-orang semakin mengaguminya dan mencoba meniru mereka.”
Manipulasi citra yang berlebihan ini membuat banyak orang mengalami depresi, karena tidak dapat meniru kecantikan model yang digembar-gemborkan media. Perlawanan pun kemudian muncul. Ialah “un-photoshopped” alias ajakan untuk mempopulerkan foto pesohor tanpa otak-atik apapun.
Editor: Maulida Sri Handayani