tirto.id - Surat imbauan perayaan Natal 2018 dan tahun baru 2019 yang ditandatangani Wali Kota Malang Sutiaji beredar di media sosial dan bikin ramai. Surat tersebut dinilai diskriminatif.
Surat ini ditujukan kepada lurah, camat, pengusaha retail, minimarket, hotel, restoran, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Ketika surat tersebut beredar di Twitter, beberapa warganet mempertanyakan maksud dari poin nomor dua surat tersebut. Isinya: "bagi warga yang mengadakan pesta perayaan Natal dan tahun baru tidak dilakukan secara demonstratif yang mengganggu perasaan umat lain dan mengganggu ketertiban umum serta menyampaikan pemberitahuan kepada pihak terkait sesuai ketentuan yang berlaku."
Akun Twitter bernama @belatibiru mengunggah foto surat edaran tersebut dan mengeluh, "kapan umat Nasrani merayakan Natal secara vulgar demonstratif sehingga mengganggu ketertiban umum dan menyinggung umat lain? Yang benar saja."
Warganet menimpali kicauan tersebut dengan keluhan senada.
"Poin nomor dua ini lucu... Ya elah gini amat jadi minoritas, oh Malang ku, please jangan nyusul Jogja," kicau akun bernama @Druginesia.
Menurut BPS Kota Malang (PDF) mayoritas penduduk Kota Malang pada 2015 menganut agama Islam. Angkanya mencapai 709.938 orang dari total 818.595. Penganut Protestan 52.050 orang dan Katolik 41.779 orang. Sisanya Hindu (7.473 orang), Buddha (7.156 orang) dan lainnya (199 orang).
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Malang Nur Widianto membenarkan surat tersebut, tapi ia menolak poin nomor dua dalam surat itu disebut menghalang-halangi atau meredam perayaan Natal di Kota Malang.
"Diksi 'demonstratif' dalam poin tersebut tidak dalam konteks melarang merayakan, namun lebih dilekatkan pada klausul poin empat yang [isinya] mengimbau para pelaku usaha tidak memaksakan karyawannya yang berbeda keyakinan untuk menggunakan atribut-atribut Natal," katanya kepada reporter Tirto.
Poin nomor empat surat tertulis: "para pengusaha retail, minimarket dan PHRI [perhimpunan hotel dan restoran Indonesia] untuk tidak memaksa karyawannya yang muslim mengenakan atribut Natal".
Hal senada juga diutarakan Wali Kota Malang Sutiaji.
"Coba klausulnya dipahami semua. Bahkan yang tersinggung mestinya umat Islam karena saya mengimbau menghormati [perayaan agama] orang lain," katanya kepada reporter Tirto sesaat setelah menghadiri acara Penganugerahan Sekolah Unggul dan Transparan Tata Kelola BOS di Hotel Aria Gajayana Malang, Kamis (20/12) siang.
Sutiaji menjelaskan yang dimaksud "demonstratif" dan uraian pada poin kedua adalah untuk menyokong uraian nomor empat.
Pada malam Tahun Baru, Sutiaji juga ingin suasana Kota Malang tetap kondusif dan tidak mengganggu ketertiban umum yang menurutnya disinggung dalam poin nomor dua pada surat.
"Tahun baru masehi yang satu kesatuan dengan Natal, saya minta itu juga jangan hura-hura," tambahnya.
Multitafsir
Nur Widianto dan Sutiaji boleh saja berdalih ini itu, tapi bagi Wakil Sekretaris Jenderal Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) Billy Setiadi, itu tidak cukup. Ini karena yang mereka katakan di atas tak tertera pada surat edaran.
Karena tak ada penjelasan sama sekali, kata "demonstratif" dalam poin dua surat edaran itu jadi multitafsir.
"Demonstratif itu apa? Apakah Natal yang bersifat demonstratif [perayaan] mengganggu ketertiban umum? Toh, selama ini berjalan baik-baik saja tanpa ada yang meresahkan masyarakat," ujar Billy kepada reporter Tirto, Kamis (20/12) siang.
Billy juga khawatir surat edaran tersebut bisa berpotensi memicu kelompok intoleran bertindak reaktif.
"Karena multitafsir itu tadi," tambahnya.
Penulis: Tony Firman
Editor: Rio Apinino