Menuju konten utama
Periksa Fakta

Duduk Perkara Hilangnya 107.807 Suara Prabowo-Sandi di Situng KPU

Hilangnya suara itu justru terjadi setelah KPU mengkoreksi kesalahan input.

Duduk Perkara Hilangnya 107.807 Suara Prabowo-Sandi di Situng KPU
Header Periksa Fakta. tirto.id/Quita

tirto.id - Sosok bernama Soegianto Soelistiono menyibak temuan “janggal” di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menulis temuannya di akun Facebook pribadinya pada 6 Mei 2019 pukul 9:47 AM.

Menurutnya, suara paslon Prabowo-Sandiaga sempat berkurang sebanyak 107.807. Hal itu terjadi pada pada 5 Mei 2019 sekitar jam delapan malam, tepatnya pukul 20:20:02 hingga 20:30:04 waktu server, seperti terpacak dalam bukti lampirannya.

Benarkah klaim Soegianto itu? Bagaimana duduk perkaranya?

Fact Check Berkurangnya Suara Prabowo di Situng KPU

fact-check klaim Soegianto atas 'berkurangnya' 107.807 suara Prabowo di Situng KPU. screenshot/facebook/Soegianto Soelistiono

FAKTA

Data yang Dicatat Soegianto Benar

Alfian Pamungkas Sakawiguna dari IDCloudHost, pemilik laman realcount.id, mengatakan bahwa fungsi situs hitung KPU bukanlah situs untuk menyiasati suara, baik mengurangi atau menambahkan, melainkan agar publik dapat mencocokkan data di setiap TPS.

Menurut Alfian, “berkurangnya” jumlah suara nasional seperti klaim Soegianto kemungkinan terjadi setelah ada koreksi atas kesalahan input data. “Ketika dilakukan perbaikan, maka nilai akan berkurang [atau bertambah]," katanya.

Kita dapat melakukan silang-cek dengan data pembanding lain. Laman Situng KPU sendiri bersifat terbuka dan dapat di-crawling secara otomatis. Salah satu yang melakukannya adalah realcount.id. Laman ini punya fitur data log. Alfian juga memberi kami data log mereka dalam format csv, periode 21 April 2019 (pukul 17:30:32) hingga 9 Mei 2019 (pukul 10:00:00).

Sayangnya, data log realcount.id untuk hasil Situng KPU hanya punya satu timestamp untuk tanggal 5 Mei 2019 (lihat pada sheet 2 data log realcount.id dari lampiran yang kami sertakan, dengan highlight warna kuning). Karenanya, kami kesusahan untuk menguji apakah data log Soegianto pada tanggal sama, terutama pada pukul 20:20:02-20:30:04, memang sama persis dengan data log Situng KPU.

Pemeriksaan fakta tidak berhenti, kami mencari pembanding lain, yakni update suara Situng KPU dari twitter Indonesia Election Result Update @ieru_2019. Kami menggunakannya karena timestamp data yang ditampilkan akun Twitter @ieru_2019 sama persis dengan setiap update terbaru dari Situng KPU.

Catatan akun Twitter @ieru_2019 pukul 20:15:03 menunjukkan perolehan suara nasional Prabowo-Sandi sebesar 45.231.166. Jumlah itu berubah pada 20:30:04; total perolehan suara nasional paslon tersebut menjadi 45.123.359 atau berkurang 107.807 suara (lihat dalam gambar di bawah).

Artinya, data klaim Soegianto bukanlah data palsu. Namun, kami masih harus mencari tahu lebih lanjut mengapa pengurangan ini bisa terjadi.

Fact Check Berkurangnya Suara Prabowo di Situng KPU

Data twitter @ieru_2019 pada 5 Mei 2019 pukul 20:15 -20:30. screenshot/twitter/@ieru_2019

KPU: Suara Berkurang setelah Ada Koreksi atas Kesalahan Input Data

Pemeriksaan fakta berlanjut ke Komisioner KPU Ilham Saputra. Pada 11 Mei 2019, Ilham memberikan pesan terusan jawaban (dalam format teks forward WhatsApp). Didin, staf Ilham, turut memberikan beberapa bantuan informasi lanjutan, sembari mengirim laporan data excel. Bukan data log yang diberikan, tapi penjelasan untuk timestamp Situng KPU pada 5 Mei 2019 pukul 20:15-20:30.

Menurut KPU, “berkurangnya” 107.807 suara paslon 02 pada 5 Mei 2019 antara pukul 20:15 hingga 20:30 adalah akibat dari koreksi data input C1 tiga Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Banten dan Nusa Tenggara Barat.

Pada saat koreksi dilakukan, angka suara 01 ataupun 02 di TPS yang hendak dikoreksi akan sama-sama “berkurang”. Sebab, input data akan diganti.

Kami sempat melakukan cek-ricek dengan tiga TPS yang KPU sebutkan melakukan kesalahan input dan hendak dikoreksi. Sebagai pembanding, kami menggunakan laman bantukpu.id.

Di TPS 31 Kel. Pangarengan, Kec. Rajeg, Kab Tangerang, Banten, kasusnya adalah kesalahan input data untuk paslon 02. Suara yang semestinya 111, awalnya terinput 111.160. Suara 01 sejumlah 49 tidak mengalami kesalahan input.

Di TPS 02 Kel. Montong Terep, Kec. Praya, Kab Lombok Tengah, NTB, kasusnya adalah kesalahan input data penjumlahan suara sah 01+02. Suara 01 adalah 49 dan suara 02 adalah 126. Semestinya, jumlahnya adalah 175, tetapi tertulis di dalam Situng: 173.

Di TPS 42 Kel. Mangkung, Kec. Praya Barat, Kab Lombok Tengah, NTB, kasusnya adalah kesalahan input data untuk paslon 02. Perolehan suara 02 yang semestinya 137, awalnya terinput 173 pada Situng KPU. Suara 01 sebesar 35 tidak mengalami kesalahan input.

Karena koreksi-koreksi di tiga TPS tersebut, suara paslon 02 berkurang sebanyak 111.160. Namun, pada saat yang bersamaan, suara 02 bertambah 3.652 dari update suara di TPS lain, sehingga totalnya berkurang sebanyak 107.807.

Soal Soegianto Soelistiono

Sosok Soegianto sendiri menjadi kontroversi di media sosial dan berita online. Dia menuntut KPU menyetop informasi update penghitungan suara C1 via Situng. Alasannya, dia juga menemukan dalam Situng terdapat 57.794 kesalahan input.

Banyak berita soal Soegianto. RMOL Jatim (4/5/2019), menulis bahwa akun Facebook Soegianto Soelistiono “pakar IT dari UNAIR” diblokir karena posting kesalahan input data Situng KPU.

Berita yang muncul umumnya dibingkai dengan klaim “kecurigaan” Koordinator Relawan IT Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Mustofa Nahrawardaya bahwa Facebook Soegianto diblokir, sementara WhatsAppnya diambil-alih. Akun Facebook Soegianto memang ada yang sempat tidak aktif dan ada akunnya yang baru.

Soegianto, pada 8 Mei 2019, mengatakan akun Facebook-nya benar diblokir sehingga ia membuat akun baru. Namun, nomor WhatsApp-nya tidak diambil-alih. Soegianto mematikan nomor itu sementara karena ada “teror”. Namun, dia enggan menjelaskan lebih jauh. “Ada yang saya anggap mengganggu dan [lantas] saya matikan [telepon dan WhatsApp] agar saya tidak di-intercept,” jawabnya.

Selain soal akun Facebook dan WhatsApp, ada rupa-rupa julukan disematkan pada sosok Soegianto Soelistiono. Pada satu unggahan, ia disebut "pakar IT dari Unair", di unggahan lain ia disebut "profesor Unair".

Soegianto memang dosen di Universitas Airlangga (Unair) dan mengajar di Departemen Fisika, tetapi ia bukanlah profesor. Hal itu dikonfirmasi oleh Prof. Dr. Yasin, M.Si sebagai Kepala Departemen Fisika Unair pada 6 Mei 2019. Terlepas dari kontroversinya, berbagai karya akademis Soegianto memang dapat ditemukan dalam pencarian di Google Scholar.

Bekerja Mandiri, Bukan Bagian BPN dan PKS

Berbekal Linux 1 Core dan bahasa pemrograman PHP, Soegianto mengaku bekerja sendiri untuk monitoring Situng KPU, termasuk soal script atau source code program untuk crawling data laman pemilu2019.kpu.go.id.

“Tidak ada di github, cuma memang saya [pernah] share script-nya," kata Soegianto.

Dalam repository terbuka seperti di github.com, berbagai file berupa source code dapat ditemukan karena ia menjadi penyimpanan repository source code secara gratis. Dalam konteks “pemilu 2019”, berbagai source code dapat ditemukan dalam github.com. Ada source code untuk crawling data KPU. Ada pula source code untuk instrumen koreksi data penjumlahan suara secara otomatis.

Berbagai berita juga cenderung membingkai Soegianto dengan klaim ini-itu, termasuk yang dilontarkan Koordinator Relawan IT BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Mustofa Nahrawardaya. Soegianto sendiri mengatakan dirinya bukan bagian dari BPN ataupun PKS—merujuk pada kehadiran dirinya di DPP PKS, 8 Mei 2019.

“Saya tidak peduli dengan [kepentingan] Prabowo, dan saya tidak berkeinginan mendapatkan sesuatu dari Prabowo. Saya tidak ingin bersentuhan dengan Prabowo atau Sandiaga,” terang Soegianto. “Terserah BPN atau PKS akan pakai atau tidak itu. Sudah urusan mereka. Tugas saya [hanya] memberikan informasi."

Mengapa Soegianto menyelisik perhitungan KPU? “Saya lakukan karena Islam dihinakan rezim. [Saat aksi] 211 dan 411 [berlangsung], saya selalu meneteskan air mata jika ingat itu,” jawabnya.

Ia tidak menjelaskan lebih jauh apa keterkaitan antara "rezim yang menghina Islam" dengan pemilu. Namun, dia kemudian menjelaskan hal lain. “Saya hanya menganggap Situng ini aneh. Jadi tergelitik melakukan analisa. Awalnya saya hanya mengamati pie diagram-nya. Tapi setelah dianalisa kok tetap saja. Jadinya bongkar semua konten Situng deh,” terangnya.

KESIMPULAN

Dari penelusuran fakta ini, kami menyimpulkan beberapa hal.

Data log Soegianto hasil crawling data Situng KPU tidak salah. Namun, ada hal yang harus digarisbawahi: narasi yang membingkai fakta tersebut membuat informasinya menjadi tidak tepat.

KPU mengklarifikasi—dan menunjukkan datanya—bahwa berkurangnya 107.807 suara untuk Prabowo-Sandi pada data log 5 Mei 2019 pukul 20:30 disebabkan adanya koreksi untuk kesalahan-kesalahan input data yang dicatatkan pada pukul 20:15.

Pada data log pukul 20.15, ada kesalahan input data di tiga TPS yang membuat suara paslon 02 bertambah 111.160 dari yang seharusnya. Di saat yang hampir bersamaan, suara 02 bertambah 3.652 dari update suara di TPS lain. Ketika data-data itu terkoreksi, seperti tercatat dalam data log pukul 20.30, penjumlahan suara Prabowo-Sandi yang keliru tadi "menghilang" sebanyak 107.807 (dari penjumlahan -111.160 dengan 3.652).

Pendeknya, "berkurangnya suara" bukan berarti suara Prabowo-Sandi sengaja dikurangi oleh pihak tertentu atau oleh KPU. Suara itu berkurang justru karena KPU mengkoreksi angka yang sebelumnya keliru.

Disinformasi di atas juga ditambah dengan profil tidak tepat tentang Soegianto. Ia disebut pakar IT dan/atau profesor Unair. Penelusuran kami mendapati Soegianto memang mengampu beberapa mata kuliah terkait komputasi di Departemen Fisika Unair, tetapi ia bukan profesor, apalagi profesor teknologi informasi.

Narasi dalam pelbagai kabar viral itu mengandung kesalahan logikal yang mendasarkan pada otoritas yang keliru (terkait profil Soegianto). Jikapun Soegianto memang profesor bidang TI, apa yang ia katakan tidak otomatis benar. Klaim-klaimnya tetap harus diperiksa.

Pemeriksaan ini menjadi sangat relevan di tengah bombardir delegitimasi pemilu. Mengkritik penyelenggaraan pemilu maupun rezim yang berkuasa adalah hal yang galib dalam negara demokrasi. Namun, kritik yang dibangun dengan fondasi dan pilar disinformasi bukanlah kritik yang absah.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Politik
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Maulida Sri Handayani