Menuju konten utama
Wacana Reshuffle Kabinet

Drajad Wibowo: PDIP Juga Sering Tak Sejalan dengan Presiden

Terkait wacana reshuffle, fungsionaris PDI Perjuangan menyoroti fraksi PAN di DPR yang kerap bersikap berbeda dengan pemerintah, padahal partai ini bergabung dalam koalisi pemerintah.

Drajad Wibowo: PDIP Juga Sering Tak Sejalan dengan Presiden
12 menteri dan satu kepala badan hasil perombakan Kabinet Kerja Jilid II mengucapkan sumpah dan janji jabatan yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/7). Antara Foto/Widodo S. Jusuf

tirto.id - Wacana reshuffle (perombakan) kabinet kembali memanas. Hal ini ditandai oleh manuver-manuver yang dimainkan sejumlah partai politik koalisi pemerintah dalam beberapa hari terakhir. PDI Perjuangan dan Nasdem misalnya, terang-terangan meminta meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN). Alasannya, PAN sebagai partai pendukung pemerintah kerap menunjukkan sikap berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gungun Heryanto mengingatkan Jokowi tidak membiarkan partai-partai bermanuver kelewat panjang mengenai reshuffle. Menurutnya, Jokowi perlu menegaskan apakah reshuffle benar akan dilakukan atau tidak. “Kalau terlalu lama akan menimbulkan bubble politik yang tidak berdampak baik terhadap harmonisasi di kabinet,” kata Gungun kepada Tirto, Sabtu (16/7).

Tidak saja merusak harmonisasi di kabinet, Gungun mengatakan manuver-manuver yang dilancarkan partai politik juga bisa mendegradasi kinerja para menteri. “Orang [menteri] kerja mulai tidak enak. Jangan kemudian wacana dan opini publik liar,” ujarnya.

Jokowi selama periode kerjanya sudah dua kali melakukan reshuffle pejabat menteri atau setingkat menteri di kabinet. Reshuffle pertama dilakukan pada Agustus 2015, yang kedua terjadi pada bulan Juli 2016. Dari dua kebijakan tersebut, Gungun mengindikasikan motif berbeda yang dilakukan Jokowi dalam menerapkan reshuffle.

Pada reshuflle tahap pertama, menurut Gungun, Jokowi cenderung ingin mengkonsolidasi kekuatan partai-partai pendukung utama pemerintah. Tak heran jika reshuffle cenderung menyasar menteri-menteri dari kalangan profesional. Kalaupun ada menteri dari partai yang diganti, hal itu tidak menimbulkan resistensi terlalu besar dari internal partai.

Pada reshuffle kedua, Gungun melanjutkan, dilakukan Jokowi untuk mengakomodasi kekuatan politik baru ke dalam kabinet. Melalui reshuffle kali ini Jokowi ingin mendapatkan dukungan dominan di parlemen. “Reshuffle kedua lebih ke akomodasi kekuatan baru seperti PAN dan Golkar,” kata Gungun.

Gungun mengingatkan Jokowi agar lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan reshuffle ketiga. Kebijakan reshuffle harus didasarkan pada pertimbangan kinerja menteri. Jokowi, menurutnya, menyelesaikan persoalan loyalitas partai pendukung pemerintah dengan mengefektifkan komunikasi politik. Sebab secara matematis saat ini pemerintah sebenarnya telah memiliki dukungan parlemen di atas 50 persen.

“Jikapun ada persoalan loyalitas, itu cukup diefektifkan komunikasi politiknya saja. Daripada mengganti orang,” kata Gungun.

Loyalitas memang menjadi manuver pokok yang cukup kencang dimainkan partai-partai politik pemerintah. Pada Kamis (13/7) lalu, Sekretaris Jendral DPP PDIP Hasto Kristiyanto terang-terangan siap mendukung presiden menggusur partai yang tidak bersikap loyal.

“Ketika partai menyatakan dukungan tapi di tingkat implementasi justru setengah-setengah, presiden punya kewenangan untuk melakukan evaluasi,” kata Hasto kepada wartawan saat dimintai pendapat mengenai sikap Partai Amanat Nasional (PAN) yang kerap berseberangan dengan kebijakan politik pemerintah.

Sehari kemudian, kolega Hasto di PDIP yang menjabat sebagai menteri dalam negeri juga menyampaikan suara nyaris senada. Ia menyindir partai politik pendukung pemerintah yang tidak konsistem mendukung pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). “Partai-partai yang mendukung pemerintah tentunya harus konsekuen dan konsisten untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil,” kata Tjaho Kumolo, seperti dilansir Antara.

Tjahjo memang tidak spesifik menyebut PAN sebagai partai koalisi yang tidak konsisten mendukung pemerintah dalam RUU Pemilu. Namun di antara Golkar, PDIP, Nasdem, Hanura, dan PPP, PAN memang menjadi satu-satunya partai yang menolak angka presidential threshold usulan pemerintah (20 persen kursi di DPR atau meraih 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014).

Mantan sekretaris jendral DPP PDIP ini berpandangan etika politik berkoalisi semakin tidak jelas dan terjebak kepentingan jangka pendek. Menurutnya partai koalisi mudah meninggalkan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan yang krusial di DPR. Padahal, kata dia, dalam berkoalisi dengan pemerintah harusnya semua keputusan politik bisa dilaksanakan, diamankan, diperjuangkan bersama dan beriringan. “Jadi tidak ditinggal lari sendiri di tengah jalan. Tidak elok berkoalisi tapi menikam dari belakang,” ujar dia.

Manuver-manuver yang digencarkan PDIP mendapat dukungan dari Partai Nasdem. Taufiqulhadi, anggota Dewan Kehormatan Partai Nasdem terang-terangan meminta PAN hengkang dari kabinet. Menurutnya PAN hanya ingin menuntut hak tapi tidak ingin mensukseskan agenda pemerintah.

“Karena itu, kalau memang tidak nyaman di dalam koalisi, karena ada banyak permintaan, hanya untuk mendapatkan hak saja tapi tidak mau kewajiban lebih baik mengundurkan diri saja,” kata Taufiqulhadi di kompleks DPR, Jumat (14/7) seperti dilansir dari Antara.

Menurut Taufiqulhadi, partai pendukung pemerintah saat in memang tidak semuanya mengusung Jokowi sebagai presiden di Pemilu 2014, misalnya PPP dan PAN. Namun, menurut Taufiqul, perbedaan politik saat itu mestinya sudah selesai ketika mereka menyatakan diri bergabung dengan pemerintah.

“Koalisi itu yang kita ketahui tidak semuanya berasal dari pendukung awal tapi pendatang belakangan. Itu tidak ada masalah. Tapi ketika bergabung, sudah selesai semuanya. Kita bersama-sama mensukseskan pemerintahan sekarang,” kata Taufiqulhadi.

Respons PAN

Dibombardir sedemikian rupa oleh PDIP dan Nasdem, PAN tidak tinggal diam. Mantan Wakil Ketua Umum DPP PAN Drajad Wibowo mengatakan bukan hanya PAN partai koalisi yang pernah berseberangan dengan pemerintah. Menurut Drajad, Fraksi PDI Perjuangan di parlemen juga kerap menunjukkan sikap serupa: bermain di dua kaki.

“Harus diakui bahwa PDIP sendiri beberapa kali tidak sejalan dengan presiden, bahkan berseberangan,” kata mantan Wakil Ketua Umum PAN Drajad Wibowo saat dihubungi Tirto, Ahad (16/7).

Drajad membeberkan bagaimana kebandelan PDI di parlemen terhadap Menteri BUMN Rini Soemano.

“Jika sepenuhnya mendukung Presiden, PDIP seharusnya mendukung Rini menjalankan perintah Presiden. Dalam banyak hal, PDIP justru di barisan depan mengganggu, atau minimal ikut mengganggu Rini. Mulai dari penolakan Rini hadir di Komisi 6, kritik keras terhadap PMN bagi BUMN hingga kasus Pelindo 2 / Jakarta International Container Terminal (JICT) dan proyek Semen Indonesia di Rembang. PDIP selalu menggoyang Rini, sementara di seberangnya, Presiden Jokowi terlihat mengandalkan Rini,” ujar Drajad.

Drajad mengakui PAN kerap berbeda sikap dengan pemerintah. Misalnya saja terkait Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau keterlibatan Amien Rais dalam sejumlah aksi unjuk rasa bertajuk Aksi Bela Islam di Jakarta. “Jadi gampangnya, PDIP, PAN, dan parpol lain di dalam kabinet sebenarnya sama-sama bandel terhadap Presiden. Tapi memang harus diakui bahwa PAN jauh lebih bandel dibanding PDIP,” ujar Drajad.

Sikap PAN yang bandel bukan tanpa alasan. Djarad menjelaskan salah satu alasan mengapa PAN berseberangan dengan kebijakan pemerintah adalah demi menjaga konstituen. "Parpol di manapun harus memperhatikan aspirasi anggota dan pemilihnya, jika tidak mau ditinggal dalam pemilu berikutnya," kata Drajad.

Selain itu, Drajad juga mengklaim PAN kerap tidak dilibatkan dalam pembicaraan-pembicaraan yang menyangkut kebijakan strategis pemerintah. Sayang, ia enggan menyebut kebijakan apa saja yang dimaksud. "Setahu saya memang jarang ada rapat konsolidasi sebelum sebuah kebijakan krusial dikeluarkan. Sebaiknya saya tidak spesifik ya," ujar Drajad.

Wacana reshuffle jilid tiga sebenarnya sudah pernah disampaikan Jokowi pada akhir April (22/4) lalu dalam Kongres Ekonomi Umat yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saat itu Jokowi mengancam akan mencopot, mengganti, atau menggeser menteri-menteri yang tidak bisa bekerja sesuai target. Setelah redup sejenak, wacana reshuffle kembali menyeruak setelah ketidakkompakan partai koalisi pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu maupun menyikapi Perppu Ormas.

Kamis (13/7) lalu, Jokowi memastikan tidak akan melakukan reshuffle pekan ini. "Enggak ada reshuffle hari ini enggak ada, minggu ini juga enggak ada," katanya. Namun, Jokowi juga tidak menjawab tegas saat ditanya wartawan apakah reshuffle akan dilakukan pada tahun ini tidak.

"[Kalau tahun ini] belum tahu," ujarnya.

Baca juga artikel terkait RESHUFFLE KABINET atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Maulida Sri Handayani