tirto.id - Pada penghujung kuartal III ini, para pelaku pasar global terlihat mencermati arah kebijakan bank sentral dunia yang banyak berfokus pada pengurangan stimulus ataupun pengetatan kebijakan di AS, Eropa, hingga Australia. Hal ini diakibatkan faktor pemulihan ekonomi yang juga tercermin dari kenaikan inflasi. Namun, melonjaknya kembali kasus harian COVID-19 mengakibatkan kembalinya pembatasan aktivitas dan membuat para bank sentral mengambil sikap yang lebih berhati-hatisebelum terburu-buru mengetatkan kebijakan.
Dari tanah air, dengan tingkat vaksinasi pertama yang telah mencapai lebih dari 30% populasi, jumlah kasus positif COVID-19 pun berangsur-angsur turun paska lonjakan di bulan Juli lalu. Walaupun masih mengalami kontraksi di angka 43,7, angka Indikator aktivitas ekonomi atau PMI Manufacturing Index menunjukkan perbaikan daripada bulan Juli yang hanya sebesar 40,1. Selain itu, inflasi bulan Agustus dilaporkan hanya sebesar 0,03 persen month-on-month, namun meningkat secara tahunan di 1,59 persen jika dibandingkan bulan Juli yang sebesar 1,52 persen.
PPKM di kuartal III ini dikhawatirkan dapat menggerus jalur pemulihan ekonomi yang terbentuk di periode sebelumnya. Pemerintah terus berupaya memberikan stimulus dan dukungan pada perekonomian. Hingga 20 Agustus 2021, realisasi stimulus program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah mencapai Rp326,74 trilyun atau sekitar 43 persen dari total dana Rp744,77 trilyun. Kementerian Keuangan mengemukakan akan melanjutkan stimulus di 2022 dengan mengalokasikan anggaran Rp321,2 trilyun untuk program PEN pada tahun depan.
Pada Agustus, Bank Indonesia melalui SKB III sepakat untuk memperpanjang kebijakan burden sharing dengan Pemerintah. Melalui skema ini, Bank Indonesia akan membeli SBN Pemerintah sebanyak Rp215 Triliun di 2021, dan Rp224 Triliun di 2022. Dana yang terhimpun dari SBN yang dibeli oleh Bank Indonesia akan digunakan untuk penanganan kesehatan termasuk program vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait pandemi, serta pendanaan untuk berbagai program perlindungan bagi masyarakat atau usaha kecil yang terdampak oleh pandemi.
Selain itu, untuk mendukung pendalaman pasar keuangan, pemerintah menurunkan beban pajak penghasilan atas obligasi yang semula 15% menjadi 10%. Kebijakan baru ini berlaku efektif mulai 30 Agustus 2021. Melalui keringanan beban pajak penghasilan ini, pemerintah ingin mengurangi beban investor, dan menyamakan beban pajak antara investor dalam negeri dan luar negeri, yang telah diumumkan sebelumnya turun menjadi 10%. Hal ini tentunya akan mendorong minat investor terhadap obligasi, terutama di era suku bunga rendah seperti saat ini.
Tak hanya itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit, dari yang semula akan berakhir di 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023. Langkah ini diambil oleh OJK untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas perbankan. Hal ini akan memberikan waktu bagi para pelaku usaha untuk mengatur likuiditasnya dalam melakukan ekspansi di tengah pemulihan ekonomi. Perbankan pun akan memiliki waktu untuk menyiapkan strategi keuangan dan pencadangan yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, OJK pun mendorong perbankan untuk tetap mengutamakan manajemen risiko dalam perpanjangan restrukturisasi ini.
Rendahnya inflasi, suku bunga dan stimulus yang masif akan menciptakan kondisi reflasi. Reflasi (reflation) adalah suatu kondisi yang terjadi untuk menstimulasi ekonomi, dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar, menekan deflasi, memangkas pajak, dan sejumlah kebijakan akomodatif yang biasanya terjadi paska resesi atau kontraksi pada ekonomi. Masa reflasi ditandai dengan kenaikan saham dan rendahnya imbal hasil obligasi.
Secara historis, bulan Agustus seringkali identik dengan koreksi di pasar saham. Namun, kali ini di bulan Agustus IHSG tercatat menguat 1.32%. Suksesnya IPO saham Bukalapak, pelonggaran PPKM di tengah menurunnya jumlah kasus harian COVID-19 serta ekspektasi tapering yang lebih bersahabat turut menjadi sentimen positif bagi pasar saham. Investor asing mencatatkan pembelian bersih di kisaran Rp4 trilyun di bulan Agustus.
Sementara itu, pasar obligasi juga menguat terutama dengan dukungan stimulus dari Pemerintah di pasar obligasi. Menutup bulan Agustus, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami penurunan ke level 6,07%.Dengan inflasi Indonesia hanya berada di 1,59 persen, maka real yield atau selisih antara imbal hasil dan inflasi, berada di kisaran 4,58 persen merupakan level imbal hasil yang cukup menarik dibandingkan dengan real yield yang ditawarkan oleh negara berkembang lainnya. Sehingga, dengan real yield yang menarik, suplai obligasi yang terbatas, dan era suku bunga rendah, tentunya ini menjadi daya tarik utama pasar obligasi domestik.
Tidak hanya pasar saham dan obligasi yang menguat, Rupiah pun turut menguat 1.07 persen di bulan Agustus dan ditutup di kisaran 14,200. Tapering yang diperkirakan lebih mild mendorong penguatan mata uang Rupiah. Cadangan devisa bulan Agustus meningkat drastis ke US$ 144.8 milyar, dibandingkan bulan Juli yang sebesar US$ 137.3 milyar. Kenaikan cadangan devisa ini diakibatkan adanya tambahan alokasi umum Special Drawing Rights (SDR) yang dikucurkan oleh International Monetary Fund (IMF) setara dengan US$ 6.31 milyar. Kenaikan cadangan devisa ini tentunya akan memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah.
Meskipun demikian, di tengah optimisme pasar, investor pun perlu mewaspadai koreksi yang terjadi di pasar saat sentimen negatif kembali bermunculan di pasar. Ada dua strategi yang dapat diterapkan saat berinvestasi adalah dengan melakukan diversifikasi dan dollar cost averaging. Diversifikasi memungkinkan kita untuk membagi alokasi portfolio investasi berdasarkan profil risiko atau risk appetite ke beberapa jenis aset seperti deposito, obligasi, atau reksa dana saham. Sementara, dollar cost averaging atau akumulasi bertahap saat terjadi koreksi akan membantu menurunkan rata-rata harga beli dari investasi kita. Kedua strategi ini dapat membantu kita, sebagai investor, untuk meminimalisir risiko kerugian yang muncul akibat sentimen negatif tersebut.
Membuat keputusan investasi di tengah pandemi tentunya tidak mudah, apalagi jika mulai berinvestasi dengan cara tradisional, dimana kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Namun dengan kemajuan teknologi, tentunya hal ini semakin dipermudah. Mengawali investasi pun bisa dilakukan sambil rebahan dengan adanya pembelian investasi secara online. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.