tirto.id - Sejak dilantik sebagai Presiden AS pada Januari 2017, Donald Trump kerap melontarkan kebijakan ekonomi yang kontroversial. Ia bisa seketika mengeluarkan kebijakan yang membuat negara terdampak ataupun pelaku pasar terkaget-kaget. Trump disebut sebagai "risiko" baru yang menambah segala ketidakpastian di pasar.
Laporan Risiko Global yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) pada Januari 2018 menunjukkan banyak kalangan yang menilai kondisi politik dan konfrontasi ekonomi antara negara-negara besar berisiko meningkat tahun ini.
Dalam laporan itu, Trump dinilai sebagai sumber dari banyak kecemasan yang terjadi akhir-akhir ini, setelah ia banyak mengubah kebijakan luar negeri AS dalam satu tahun pertamanya menjabat sebagai Presiden AS.
Ketidakpastian dari Trump sesungguhnya sudah terlihat sejak ia melontarkan berbagai janji politik, bahwa kepentingan AS akan selalu menjadi hal yang utama atau America First. Janji itu direalisasikan begitu ia menduduki posisi orang nomor satu di Negara Adikuasa tersebut. Contoh dari America First Policies misalnya adalah mundur dari Kemitraan Trans Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP).
Trump juga berupaya mendorong para investor asing masuk ke AS, seperti Foxconn, Toyota, dan Mazda. Kemudian, mempromosikan barang produksi AS ke Arab Saudi. Lalu, AS juga mengeluarkan kebijakan terkait hukum dagang AS, di antaranya dengan membatasi korporasi asing dalam mengakuisi perusahaan AS sebanyak empat kali.
Selain itu, Trump juga memberlakukan tarif terhadap barang impor guna mengurangi defisit perdagangan AS saat ini. Kebijakan inilah yang tampaknya paling banyak mendapatkan sorotan dunia internasional.
Memukul Pasar Saham
Beragam kebijakan Trump itu tidak selamanya berdampak positif ke pasar saham. Sudah beberapa kali, kebijakan Trump membuat pasar modal dunia bergejolak, baik pasar modal AS itu sendiri maupun pasar modal negara-negara lainnya.
Direktur Utama Bank UBS Swiss Axel Weber menjelaskan tidak semua ancaman geopolitik berimbas terhadap pasar keuangan. “Tapi saya setuju ada potensinya [imbas terhadap pasar keuangan], di mana sekarang sudah terjadi, dan terkadang terus berlanjut,” katanya dikutip dari Reuters.
Lantas seperti apa dampak dari keputusan Trump terhadap pasar modal dunia?
Contoh terbaru dari kebijakan Trump yang membuat merah pasar modal adalah ketika menandatangani memorandum yang isinya AS akan memberlakukan tarif sebesar 25 persen terhadap produk-produk asal Cina yang mencapai $60 miliar.
Memorandum presiden yang ditandatangani pada Kamis (22/3) itu akan diberlakukan pada 60 hari kemudian, atau setelah daftar rincian produk Cina yang akan dikenakan tarif impor sudah dipublikasikan.
“Tarif ini akan membuat kita menjadi negara yang jauh lebih kuat, lebih kaya, dan menolong defisit perdagangan AS terhadap Cina yang sudah mencapai $375 miliar,” kata Trump dikutip dari Financial Times.
Kebijakan Trump itu langsung direspons negatif karena dikhawatirkan memicu perang dagang antara AS dan Cina. Imbasnya, tiga indeks saham AS pada 22 Maret 201 kompak memerah. Indeks Dow Jones Industrial Average turun 2,93 persen ke level 23.957,. Lalu indeks S&P 500 turun 2,52 persen ke level 2.643,. Adapun, Nasdaq Composite turun 2,43 persen menjadi 7.166.
Pada saat bersamaan, tingkat volatilitas indeks saham juga ikut meningkat. Menurut CBOE Volatility Index, volatilitas S&P 500 dalam jangka pendek naik 5,38 poin atau berada di level 23.24, dan menjadi tertinggi sejak 13 Februari 2018.
Indeks saham global juga ikut memerah sehari setelah keputusan Trump itu. Misalnya, indeks Nikkei 500 (Jepang) turun 3,93 persen menjadi 2.087. Shanghai SE Composite (China) turun 3,39 persen menjadin 3.152,.
Kemudian, Hang Seng Index (Hongkong) tergerus 2,45 persen menjadi 30.309. Indeks Kospi (Korea Selatan) turun 3,18 persen menjadi 2.416. Niffty 50 (India) turun 1,15 persen menjadi 9.998.
Rontoknya indeks saham akibat keputusan Trump bukan kali ini saja. Sekitar tiga pekan yang lalu, Trump mengumumkan tarif impor sebesar 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium.
Pengumuman itu juga direspons negatif oleh pasar. Indeks Dow Jones Industrial Average turun 1,68 persen menjadi 24.608, pada 1 Maret 2018. Lalu, indeks S&P 500 turun 1,33 persen menjadi 2.677, dan dan Nasdaq Composite turun 1,27 persen menjadi 7.180,.
Pada saat bersamaan, indeks saham global juga tergerus. Misalnya, indeks Euronext 100 turun 1 persen menjadi 1.018,. Kemudian, Nikkei 225 turun 1,5 persen menjadi 21.724, dan indeks Nifty 50 turun 0,32 persenn menjadi 10.458,.
Tarif impor yang diberlakukan Trump terlalu tinggi. Alhasil, tarif impor AS itu memberikan kesan bahwa tujuan AS sebenarnya bukan melindungi produksi dalam negeri, melainkan untuk memicu perang dagang.
“Jadi, bukan dari sisi kebijakannya, tetapi tarif yang dipatok AS itu terlalu tinggi. Inilah yang sebenarnya memberikan kejutan bagi pasar keuangan,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas kepada Tirto.
Imbas ke Indonesia
Serupa dengan pasar modal global, efek Trump juga menjadi sentimen negatif terhadap pasar modal Indonesia. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 22 Maret 2018 tercatat menurun 0,94 persen menjadi 6.254 dari 6.132,.
Indeks IHSG juga tergerus, sehari setelah AS mengumumkan kebijakan tarif terhadap baja dan aluminium pada 1 Maret 2018. IHSG tercatat menurun 0,36 persen menjadi 6.582 pada 2 Maret 2018, dari sebelumnya 6.606,.
“Ini dampaknya enggak kecil. Gara-gara kebijakan Trump, sentimen negatif malah menjadi tereskalasi. Ini bisa buruk bagi pasar keuangan Indonesia, maupun sektor riilnya,” kata David Sumual, Kepala Ekonom BCA kepada Tirto.
“Akibat kebijakan Trump yang susah ditebak ini, akhirnya membuat ketidakpastian makin tinggi. Investor pasar keuangan maupun sektor riil mungkin akan mengambil posisi wait and see dalam jangka pendek ini,” tutup David.
Direktur Bahana Investment Management Budi Hikmat mengakui kebijakan Trump menjadi sentimen eksternal yang cukup diperhatikan oleh para pelaku pasar modal Indonesia karena dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Kendati demikian, iaoptimistis pasar modal Indonesia tetap positif, dan mampu menghadapi dinamika global yang ada saat ini. Pasalnya, sentimen dari dalam negeri saat ini juga cukup positif.
Sentimen positif itu antara lain dari belanja konsumsi masyarakat yang meningkat seiring dengan gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kemudian, kehadiran bisnis digital juga menaikkan geliat ekonomi UKM, bank dan telekomunikasi.
“Kebijakan AS belakangan ini memang menjadi sumber volatile. Namun, saya optimistis pasar modal Indonesia akan tetap positif dalam menghadapi dinamika global,” jelas Budi.
Kalau sudah begitu, perang dagang dikhawatirkan akan semakin membesar, dan berdampak buruk terhadap negara-negara lainnya, tidak terkecuali Indonesia. Tak hanya pasar keuangan, sektor riil juga bisa terganggu.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra