tirto.id - 2 November 2016, sepekan sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat, harga saham Freeport-McMoran Inc ditutup hanya $10.62. Pada 8 November, ketika pemilihan presiden digelar dan Donald Trump keluar sebagai pemenang, saham Freeport ditutup $12,09. Ia tumbuh 13,84 persen selama sepekan itu.
Sejak Trump terpilih hingga hari ini, saham Freeport terus menanjak. Pada perdagangan 15 November, ia ditutup $13,99. Terakhir kali saham Freeport menyentuh angka tersebut adalah pada 29 April lalu. Itupun hanya sehari, keesokannya kembali merosot.
Kenaikan saham Freeport pascakemenangan Trump ini bukan karena ia punya saham di Freeport. Trump memang punya saham di perusahaan yang juga beroperasi di Papua itu. Namun, nilainya sangat kecil, hanya $1.000-$15.000. Melihat nilai saham sekecil itu, Trump tentu bukanlah pengambil keputusan.
Melonjaknya saham Freeport dikarenakan janji-janji Trump di masa kampanye. Ia pernah berjanji akan membangun tembok di sepanjang perbatasan AS dan Meksiko. Trump juga menyatakan rencana pembangunannya dalam lima tahun setidaknya dia kali lipat dari yang disebutkan Hillary, $275 miliar, untuk membangun jalan, jembatan, dan bandara.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran itu tentu akan meningkatkan permintaan untuk tembaga dan komoditas tambang lainnya. Selain Freeport, saham United State Steel Corp juga melonjak pascakemenangan Trump.
Sepanjang November 2015 hingga Februari tahun ini, harga saham US Steel Corp tak pernah melebihi $10. Sepekan sebelum pemilihan presiden, saham perusahaan tambang besi dan baja ini ditutup pada angka $17,82. Sejak hasil pemilihan presiden diumumkan, ia terus terbang tinggi. Hingga perdagangan Selasa, 15 November 2016, saham US Steel Corp menyentuh angka $28,54.
Perusahaan tambang lain yang sahamnya juga melonjak adalah Southern Copper Corporation, produsen tembaga. Saham Catterpillar Inc, produsen peralatan konstruksi dan pertambangan juga ikut terbang tinggi, merespons terpilihnya Trump sebagai Presiden AS.
Kabar Buruk Bagi Energi Terbarukan
Ketidakpercayaan Donald Trump pada pemanasan global dan perubahan iklim juga ikut menjadi faktor pendorong naiknya saham perusahaan tambang, terutama produsen batu bara. Sebaliknya, saham perusahaan-perusahaan yang menggunakan atau memproduksi energi terbarukan malah anjlok.
Sehari setelah Trump dinyatakan menang, 9 November 2016, saham Glencore Plc—salah satu produsen batu bara top di dunia—melonjak lebih dari 7 persen. Tetapi coba lihat saham Vestas Wind Systems, perusahaan pembuat turbin angin terbesar di dunia. Sahamnya anjlok hingga 13 persen.
Produsen mobil listrik dan baterai penyimpan tenaga surya, Tesla Motor Inc pun ikut terkena imbas. Sehari setelah pemilihan, saham perusahaan milik Elon Musk itu turun 3,4 persen. Pada perdagangan 9 November itu, saham Tesla ditutup di angka $190,06. Sahamnya terus turun, kemarin (15/11), saham Tesla ditutup pada $183,77.
Selama masa kampanye, Trump sempat memaparkan rencana kebijakan utamanya dalam hal energi. Ia mengatakan akan membatalkan peraturan-peraturan tentang lingkungan yang menurutnya membunuh kesempatan kerja hanya dalam 100 hari setelah dilantik. Dia juga akan membatalkan Paris Agreement, kesepakatan terkait perubahan iklim di Paris.
Aturan emisi di masa pemerintahan Obama telah dirancang untuk mencegah pembangkit listrik tenaga batu bara. Lalu Trump, presiden yang baru terpilih mengatakan ia akan menghidupkan kembali industri batubara dan memutar kembali regulasi.
Jika Trump benar-benar menjalankan janji-janji masa kampanyenya, maka kebijakan energi di Amerika Serikat akan kembali ke delapan tahun silam. Ketika pengeboran minyak dan pertambangan batu bara tak memiliki hambatan yang berarti.
Pada tahun 2011, Amerika Serikat tercatat di urutan ke dua dalam daftar negara dengan penghasil gas emisi karbon terbesar di dunia. Jika Trump menjalankan janjinya, maka negara itu akan terus memperparah pemanasan global. Dan itu tak hanya kabar buruk bagi Amerika, tetapi juga dunia.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti