tirto.id - Suatu hari di pengujung 2011, Prijatno membat keputusan yang mengejutkan. Ia menyatakan mundur sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Surat pengunduran dirinya disampaikan kepada Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, pada 23 Desember 2011.
Saat menceritakan alasan mundurnya sebagai orang nomor dua di DKI kepada wartawan, Prijatno sempat menitikkan air mata. Ia mengaku sudah dua tahun dirinya menahan diri. Sempat dia berpikir untuk hengkang dari jabatan pendamping Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, namun keputusan itu batal lantaran ada pihak yang belum bisa menerima.
“Tapi satu kelompok lagi bilang: Jangan! Prijanto tidak boleh mundur karena sedikit banyak saya masih bermanfaat. Saya nggak ngerti bermanfaat atau tidak, saya kerjalah sebagai Wagub,” kata Prijanto, pada hari Natal 2011 silam.
Banyak spekulasi yang muncul terkait kemunduran Prijanto. Ada dugaan keretakan hubungan antara Fauzi ‘Foke’ Bowo dengan Prijanto yang menjadi alasan kemunduran Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012 tersebut. Namun, Prijanto sendiri enggan berkomentar. Ia memilih bersuara dalam bukunya yang berjudul Kenapa Saya Mundur pada April 2012.
“Saya telepon, [Fauzi] tidak pernah membalas. Saya SMS tidak pernah direspons, pengaturan tugas tidak jelas. Semua itu saya rasakan,” keluh Prijanto dalam bab ‘Peristiwa Demi Peristiwa’. “Harus saya maknai, Gubernur sudah tidak menghargai saya dan tidak suka atas bantuan saya.”
Dalam bukunya, Prijanto juga menceritakan tentang adanya rapat dengan DPR RI yang dibatalkan ketika Foke mengetahui bahwa yang menerima perwakilan tersebut bukanlah Gubernur DKI Jakarta. Kegelisahan ini bertambah ketika acara Coffee Morning di Balaikota tahun 2008. Kala itu, Prijanto sama sekali tidak diberi kesempatan bicara walau ia sudah menyiapkan paparan terkait topik pada hari itu.
Foke kemudian cenderung dikatakan sebagai one man show. Popularitas dan kinerjanya berpusat pada dirinya sendiri. Setelah Prijanto mundur, Foke tidak tampak gelisah. Selama 10 bulan terakhir kepemimpinannya, ia sanggup bertahan tanpa sosok Wakil Gubernur. Pada 2012, ia malah kembali mencalonkan diri bersama dengan Nachrowi Ramli untuk bersaing dengan Joko Widodo dan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama.
Istilah one man show tidak hanya mencuat pada zaman Foke. Pada 2016, Anies Baswedan, rival Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017, menyebut gaya kepemimpinan Ahok sebagai one man show karena warga Jakarta tidak paham mesti melapor ke mana lagi selain Ahok. “Di sini bedanya one man show dan team work. Mengandalkan pimpinan di puncak,” katanya kala itu.
Namun, hingga saat ini hubungan Ahok-Djarot terlihat cukup baik. Di pelbagai kesempatan, salah satunya pada acara penutupan kampanye putaran pertama di Hotel Pullman Jakarta, Ahok sempat mengaku bahwa ia memilih Djarot secara pribadi. “Saya katakan [kepada Megawati Soekarnoputri]: Jika bukan Djarot [wakil gubernur], saya tidak mau jadi Gubernur. Saya tunjuk sendiri kok beliau [Djarot].”
Kendati demikian kegiatan Djarot tidak diminati oleh media jika dibandingkan Ahok. Tidak hanya itu, seringkali hanya Ahok yang memaparkan program-program. Porsi pemberitaan selalu cenderung ke arah Ahok. Saat Kartu Jakarta Lansia (KJL) keluar dari pasangan nomor urut 2 pun, Ahok yang lebih dulu membuka omongan, begitu juga dengan pencanangan pasukan merah di Jakarta.
Juru bicara tim Ahok-Djarot, Raja Juli Antoni mengakui bahwa Ahok jauh lebih terkenal dan populer daripada Djarot. Namun, a mengaku maklum karena jabatan yang diemban keduanya memang berbeda. Ia mengaku tidak merasa khawatir akan adanya perbedaan popularitas antara keduanya.
“Enggak ada rasa sirik sama sekali (dari Djarot pada Ahok). Karena memang Ahok sudah populer,” katanya pada Tirto, pada Senin (20/32017).
Meski demikian, Raja Juli menegaskan ada beberapa arahan untuk memaksimalkan peran Djarot di kampanye putaran kedua Pilkada DKI Jakarta ini. Melihat kepopuleran Ahok di kampanye pertama, terlebih karena petahana non-aktif tersebut sedang terkena kasus penodaan agama, maka Djarot sedang berusaha untuk mengoptimalkan kerjanya, termasuk salah satunya kunjungan Djarot ke Masjid At-Tin, saat peringatan Supersemar.
“Memang ada dorongan untuk memaksimalkan peran pak Djarot agar peran beliau bisa dimaksimalkan pada putaran kedua, misalnya dia ke Masjid At-Tin,” katanya lagi. “Ada kesadaran saja. Ada porsi yang mungkin lebih banyak bisa dikerjakan oleh pak Djarot.”
Meski begitu, Raja Juli menampik anggapan bahwa kampanye senyap yang dilakukan Ahok semata-mata untuk menaikan peran Djarot di mata publik. Ia mengklaim pada dasarnya, Ahok-Djarot memang melakukan pembagian tugas dan apa yang dilakukan Ahok-Djarot hanya merupakan bagian dari rencana tersebut.
“Ini bukan dalam konteks begitu [menaikan peran Djarot]. Ini sama-sama bekerja, tapi caranya berbeda. Ada lah itungannya,” katanya tanpa merinci lebih jauh bagaimana pembagian tugas Ahok-Djarot.
Kerja Keras Djarot di Putaran Kedua
Belakangan ini, Ahok memang lebih memilih melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui media sosial atau acapkali dikatakan sebagai kampanye senyap. Akun resmi Instagram Ahok santer mengabarkan tentang kegiatan Ahok yang tidak diliput oleh para wartawan. Ahok juga lebih memilih mengadakan Ahok Show yang diadakan secara langsung di akun Facebook, Instagram, dan Periscope miliknya.
Di sisi lain, Djarot masih tetap melakukan blusukan. Hampir setiap hari Djarot melakukan pertemuan dengan warga, dari pedagang warteg, hingga ibu rumah tangga. Agenda keseharian Djarot pun dibagikan kepada umum, sedangkan Ahok lebih memilih tidak membagikan agenda sama sekali.
Djarot juga kedapatan merespons soal pasukan merah dan program Kartu Jakarta Lansia (KJL) di saat Ahok seringkali tidak dapat ditemui wartawan. Usaha ini cukup berhasil. Terbukti pemberitaan Djarot di media mengalami peningkatan dibanding sebelumnya.
Dari data yang tercatat, pemberitaan Djarot di media daring dari kurun waktu minggu pertama kampanye kedua (13-19 Maret 2017) mencapai 63 pemberitaan. Sedangkan Ahok menuai pemberitaan sebanyak 68 pada periode yang sama. Beberapa berita tersebut juga tentunya bercampur dengan berita seputar pengadilan Ahok.
Jumlah tersebut meningkat sekitar 25,75 persen dibandingkan saat minggu pertama kampanye putaran pertama (31 Oktober – 6 November 2016). Saat itu, Ahok menuai 66 pemberitaan meskipun kala itu terdakwa kasus penodaan agama tersebut belum menghadapi persidangan. Sementara pemberitaan soal Djarot hanya mendapat porsi sorotan sekitar 49 pemberitaan pada kurun waktu tersebut.
Djarot mengakui bahwa dirinya termasuk salah satu pihak yang menyarankan Ahok untuk melakukan kampanye senyap. Kampanye menurut Djarot tidak melulu soal blusukan, ia pun turut membuat akun instagram untuk menunjang suara di putaran kedua. Djarot juga ternyata ingin mendongkrak tingkat popularitasnya untuk menambah jumlah tuaian suara.
“Kalian, kan, tidak mungkin mengikuti agenda saya terus, sekarang Pak Ahok tidak di-publish. Kenapa? Karena dia sudah terkenal. Yang belum terkenal, kan, Djarot. Nah, biar saya terkenal untuk menambah suaranya Pak Ahok," pungkas Djarot ketika blusukan Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (17/3/2017).
Usaha Djarot mendongkrak popularitas dan mendekatkan diri pada pemilih rupanya cukup sukses, meski dalam bentuk tren yang negatif. Setelah pada tahun lalu sempat ditolak warga Sawah Besar dan Kembangan Selatan, kini pada acara haul Soeharto di Masjid At-Tin.
Djarot yang datang sebagai tamu undangan malah harus menghadapi kemarahan warga pada Ahok yang dituduh menista agama. Ia pun harus rela diusir dan dituduh sebagai pendukung penista agama dan hal ini menyebabkan kemarahan warga sekitar. Djarot pun hanya bisa menebar senyum sambil mentautkan tangan dan menerima makian dari orang di sekelilingnya.
Situasi berlanjut ketika Djarot melakukan blusukan ke daerah Kramat Lontar, Senen, Jakarta Pusat pada Senin (20/3/2017) untuk menghadiri pengajian warga. Sebelumnya, tuan rumah Majelis Ta’lim Annisa sempat didatangi oleh 50 anggota FPI pada pukul 12 malam. Mereka minta agar acara pengajian tidak diteruskan bila memang menghadirkan Djarot di sana. Mereka pun mengancam pembubaran.
Kenyataan di lapangan, Djarot memang tidak dihadang, tetapi mendapat penolakan dari warga setempat. Beberapa ibu membawa spanduk yang berisikan tentang penolakan kedatangan Djarot. Mereka bahkan menyebut Djarot melakukan kampanye hitam dan menolak untuk didatangi oleh penista agama.
“Coba deh kitab kamu punya agama dihina, dinistakan kamu mau? Pasti kita enggak mau. Kalau kalian mau silakan, kalau saya gak mau Alquran, kitab saya, Allah saya dihina. Itu saja dan saya menolak," kata salah satu warga yang menolak terhadap awak media.
Menanggapi banyaknya tindakan buruk rupanya tidak menyurutkan niat Djarot. Ketika dikonfirmasi terkait pengusirannya dari Masjid At-Tin, Djarot bukan menolak tunduk, tetapi memandangnya secara positif. “Apa yang saya terima itu kecil, enggak ada apa-apanya dibandingkan yang dicontohkan oleh Rasul. Beliau dihina, bahkan dilempari kotoran, dicaci maki, bahkan mau dibunuh, enggak apa-apa,” katanya pada 12 Maret lalu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz