tirto.id -
"Mereka ini korban. Kan ada penyebabnya. Harusnya negara tidak boleh kalah dengan mereka yang melakukan tindakan di luar koridor hukum karenanya kepolisian harus menindak tegas. Kalau itu dilakukan oleh ormasnya. Maka harus ditindak ormasnya. Kalau ada oknum maka oknumnya itu punya ormas dan ormas itu harus bertanggung jawab," ungkap Djarot.
Maraknya aksi persekusi usai Pilkada DKI Jakarta menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Terakhir, seorang bocah berinisial PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur, mendapat intimidasi dari beberapa orang yang mengaku berasal dari satu ormas Front Pembela Islam (FPI).
Sebab, kata Djarot, perbedaan pendapat tidak seharusnya disikapi dengan pencarian alamat atau identitas lengkap dan melakukan tindakan intimidasi terhadap yang bersangkutan.
Djarot juga menjelaskan bahwa Pemprov DKI siap menerima aduan dan memberikan perlindungan bahkan untuk kasus yang terjadi di luar Jakarta seperti yang dialami dr. Fiera.
"Yang dokter itu kami sudah bilang. Saya dapat informasi mereka mau ketemu saya. Saya persilakan ya. Saya ajak ngobrol sini. Kita akan undang ke sini kalau memang lebih nyaman di sini melapor aja ke kita. Kita tampung dulu di Jakarta. Nanti bisa kita tugaskan di Puskesmas. Kami sudah bilang ke PKD dan Pada prinsipnya bisa kita proses," tuturnya.
Jika diperlukan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan membuat safe house (tempat perlindungan) bagi para korban persekusi. "Safe house yang paling baik di mana? Di kantor pemerintah, atau kantor kepolisian, atau di kantor TNI. Kan enggak mungkin mereka serbu," katanya.
Ia menambahkan, safe house sebenarnya sudah dibahas oleh Pemprov sejak gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih aktif di Balai Kota. Namun, waktu itu peruntukannya dikhususkan untuk para korba Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Itu sudah dibicarakan lama safe house. Kalau perlu safe house juga bisa menggunakan kantor kami.Tapi lebih penting lagi kita bisa bantu, misalya, bangun di asrama TNI. Atau asrama polisi. Mereka mana berani ke sana. Termasuk masalah KDRT. Kita sudah bicara lama kepada Pak Ahok," ungkapnya.
Sementara itu, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia, mengatakan tindakan persekusi merupakan efek dari berlakunya pasal 156a KUHP tentang penistaan agama.
Lantaran itulah, kata dia, maraknya persekusi harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk meninjau kembali pasal karet tersebut.
"Karena ini pasal karet. Tidak ada batasan-batasannya, ini kan berkaitan dengan penafsiran yang berbeda. dan pasal 156 a ini memberikan definisi yang tidak jelas terkait penafsiran dari konteks penodaan agama," ungkapnya saat dihubungi Tirto.
Pada tahun 2010, kata dia, Kontras dan YLBHI sebenarnya pernah melakukan uji materiil untuk pembatalan 156 a. Namun, kata dia, hal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan belum ada aturan hukum lain yang mengatur tentang penodaan agama.
"Sehingga tidak boleh ada kekosongan hukum dan pasal itu harus tetap ada," ungkapnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri