Menuju konten utama

Djakarta Warehouse Project yang Menembus Batas

Djakarta Warehouse Project (DWP), festival musik elektronik terbesar di Indonesia, mencuri perhatian pecinta musik elektronik mancanegara.

Djakarta Warehouse Project yang Menembus Batas
Kemeriahan Djakarta Warehouse project 2015. Doc. DWP

tirto.id - Pada 9-10 Desember lalu, ribuan muda-mudi berkumpul menantikan para disc jockey (DJ) kenamaan dunia di festival Djakarta Warehouse Project (DWP). Mereka menghabiskan malam akhir pekan 9-10 Desember di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan menikmati pertunjukan electronic dance music (EDM) alias musik dugem yang kian populer.

Panggung DWP di hari pertama digoyang oleh Destructo, Jason Ross, KSHMR, Martin Garrix, Rudimental, Snakehips, Yves V, Alan Walker, dan Zeed. Pada hari terakhir, nama-nama seperti Blasterjaxx, Carl Cox, Dipha Barus, Duke Dumont, Lost Frequencies, DJ Snake, dan Hardwell bergantian menggoyang ribuan penggemar musik elektronik dalam negeri hingga turis mancanegara.

DWP disebut-sebut mengalahkan festival serupa yang diadakan di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ajang ini juga dinobatkan sebagai “The Best Dance Music Festival of 2015” serta sukses menjadi salah satu festival musik dengan penonton terbanyak di dunia.

Sang promotor, Ismaya Live, menargetkan jumlah penonton menembus 80 ribu orang, jauh lebih besar dari tahun lalu yang hanya 75 ribu orang. Jumlah penonton DWP rata-rata naik sekitar 5 ribu orang per tahun. Peningkatan pengunjung ini berlawanan dengan anggapan negatif pada musik elektronik di Indonesia.

INFOGRAFIK DWP

Tabu yang Menembus Batas

EDM identik dengan keriuhan orang-orang yang bergoyang mengikuti ramuan musik oleh para DJ. Tempo EDM yang paling lambat berkisar 60-90 beats per minute (bpm), dibandingkan dengan genre speedcore yang bisa melampaui 240 bpm. Hentakan musik semacam ini tentu membuat orang tak segan untuk meliukkan tubuhnya.

Masyarakat Indonesia masih melihat musik elektronik sebagai negatif karena lama dilekati kesan sebagai kehidupan dunia malam yang hedonis, pesta pora obat-obatan terlarang, dan minuman beralkohol. EDM yang mulai muncul pada 1970an memang khusus diproduksi dan diputar di klub malam atau tempat yang digunakan untuk berdansa. Tentu kala itu penggemarnya hanyalah para penikmat klub malam.

Seiring berjalannya waktu, EDM bisa melepaskan diri dari segmentasi dan stereotipe yang tak enak. Kini, tak jarang radio-radio di Indonesia memutar musik bergenre EDM. Televisi nasional seperti Net TV sempat menayangkan program pencarian bakat DJ dalam acara yang bertajuk The Re-Mix. Berbagai festival EDM di kota-kota Indonesia diikuti banyak peserta.

Belum lama ini lagu dolanan “Ora Minggir Tabrak” dihadirkan kembali dalam balutan hip-hop bercampur EDM oleh Libertaria dan Kill the DJ sebagai soundtrack film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 yang sukses di layar lebar.

“Melalui film AADC2 dan soundtrack-nya tampak EDM tumbuh berkembang melewati batas keistimewaan kota Yogyakarta,” kata Citra Aryandari, seorang musikolog kepada Tirto.

Pendobrakan budaya lewat EDM ternyata tak hanya terjadi di Yogyakarta, juga di wilayah Indonesia lainnya memiliki musik elektronik yang dibaurkan dengan khasanah budaya lokal. Di Makassar, dan daerah lainnya sudah dikembangkan EDM yang berpadu dengan musik setempat.

Selain di Indonesia, mengawinkan unsur lokal dengan EDM juga terjadi di dunia. Ibiza, sebuah kota di kepulauan Balearic, Spanyol, mengeksplorasi teks lokal yang kemudian berkembang menjadi Balearic Beat, sebuah beat yang sangat terkenal dalam genre EDM. Balearic beat menjadi contoh betapa EDM dapat meleburkan gaya lokal untuk memenuhi permintaan pasar dan menjadikannya subgenre yang dikenal luas.

EDM sebagai sebuah musik telah mendobrak nada, hierarki sosial, dan belenggu moral. EDM juga menghapus sekat-sekat antar negara. DWP misalnya, festival, ini diperkirakan menyedot kunjungan 20 ribu wisatawan asing yang datang ke Jakarta. Angka itu boleh saja dianggap berlebihan. Namun mendatangkan seperempatnya saja dari angka tersebut untuk peristiwa yang hanya berlangsung dua malam tetaplah hal yang mencengangkan.

Baca juga artikel terkait MUSIK ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Musik
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra