tirto.id - Kehidupan maestro Djaduk Ferianto dicurahkan untuk berkesenian, khususnya musik dan teater. Seniman bernama lengkap Gregorius Djaduk Ferianto ini lahir di Yogyakarta pada 19 Juli 1964 dari pasangan maestro tari Bagong Kussudiardja dan Soetiana. Besar di lingkungan seni, jalan hidup Djaduk pun tidak jauh-jauh dari apa yang juga dilakoni ayah dan kakaknya.
Ayah Djaduk Ferianto, Bagong Kussudiardja, adalah seniman tari legendaris Indonesia yang juga piawai melukis serta bermain seni peran. Sedangkan sang kakak, Butet Kertaradjasa, selama ini dikenal sebagai sosok seniman peran ternama tanah air yang kondang lewat aksi monolognya dan kerap muncul di layar kaca.
Sejak kecil, Djaduk menyukai pertunjukan dan cerita pewayangan, bahkan pernah bercita-cita dan sempat belajar menjadi dalang wayang kulit. Ia kemudian mengalihkan fokusnya ke ranah musik. Seperti diberitakan majalah Tempo (1994), Djaduk mendirikan Rheze pada 1978 yang kemudian meraih juara I kompetisi musik humor tingkat nasional. Berikutnya, ia menggawangi komunitas lain bernama kelompok musik kreatif Wathathitha.
Bersama Butet Kertaradjasa dan rekan sesama seniman, Purwanto, Djaduk Ferianto membentuk kelompok kesenian Kua Etnika pada 1995 yang mengembangkan musik etnik kontemporer. Ciri khas dari kelompok musik ini adalah penggalian terhadap musik etnik nusantara yang dipadu menggunakan pendekatan modern.
Raudal Tanjung Banua dan Iman Budhi Santosa dalam Musik Puisi; Dari Istilah ke Aksi (2005) menuliskan Djaduk Ferianto yang memahami musik dengan baik dan jago dalam mengolah campuran berbagai unsur etnik dengan dunia pop membuat Kua Etnika tampil dengan fenomena tersendiri.
Dalam buku Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda (2016) suntingan Bart Barendregt dan Els Bogaerts disebutkan Djaduk melalui Kua Etnika adalah campuran antara instrumen musik tradisional (termasuk gamelan Bali dan Jawa), instrumen Barat dan terkadang benda-benda non-musikal. Djaduk termasuk salah satu komposer otodidak yang memiliki kedekatan spontan terhadap berbagai genre musik tradisional Indonesia dan Barat. Kua Etnika bahkan merangkum karakter main-main maupun serius dalam musik Djaduk.
"Sebagai pemusik otodidak yang basah dengan tradisi musik etnik, Djaduk mendasari penciptaannya dengan disiplin ngeng, yakni suatu naluri musikal (kepekaan pada bunyi, nada dan irama yang secara asasi dimiliki setiap orang," demikian yang tertulis dalam buku itu.
Ngeng bisa juga dimaknai sebagai "suatu kondisi mood" sebagai prasyarat bermusik. Potensi sense of ngeng inilah yang barangkali menjadi faktor dalam olah musik Djaduk sehingga bisa menciptakan musik-musik segar. Bedanya, Djaduk tak hanya berpatok atau merasa mapan dalam satu kelompok musik atau satu genre saja.
Maka, pada 2002, Djaduk membentuk satu kelompok lagi bernama Sinten Remen untuk mewadahi pengembangan musik dangdut/keroncong kontemporer, yang dirasa kurang pas jika digawangi Kua Etnika.
Djaduk juga menekuni dunia seni peran. Bersama Butet, ia bergabung dengan Teater Gandrik yang berdiri sejak 1983 dan dirintis oleh beberapa seniman peran Yogyakarta termasuk Heru Kesawa Murti, Jujuk Prabowo, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto, dan lainnya. Ia pernah pula turut ambil bagian dalam beberapa film layar lebar seperti Petualangan Sherina (2000), Koper (2006), Jagad X Code (2009), dan Cewek Saweran (2011).
Djaduk bersama beberapa seniman lainnya di Yogyakarta juga menggagas festival musik Ngayogjazz sebagai upaya untuk memasyarakatkan jazz. Uniknya, even tahunan ini bukan digelar di gedung mewah, melainkan di pedesaan.
Seperti kebanyakan seniman asal Yogyakarta lainnya, Djaduk tetap mempertahankan “kelokalannya” kendati ia memperoleh banyak job di Jakarta atau daerah-daerah lain, bahkan sering diundang tampil ke luar negeri. Djaduk, juga Butet, tetap bertahan sebagai “orang lokal” dan tidak menetap di Jakarta.
Menularkan Semangat ke Generasi Muda
Wafatnya Djaduk tak pelak meninggalkan duka mendalam bagi banyak kalangan, termasuk mantan manajer band ska asal Yogyakarta Shaggydog yang akrab disapa Metzdub. Ia pernah mendapat pesan dari Djaduk agar tidak membawa Shaggydog menetap di Jakarta apabila sudah mendapat kontrak rekaman. Jika pindah ke Jakarta, menurut Djaduk, Shaggydog akan kehilangan jati diri, bahkan terancam bubar. Untuk itu, Djaduk memberi nasihat agar band yang dimotori oleh Heru dan kawan-kawan ini tetap berkarya di Yogyakarta.
Metzdub mengikuti saran itu. Dan benar saja, Shaggydog mampu membuktikan bahwa mereka bisa selevel dan sejajar dengan band-band nasional lainnya. "Karena Shaggydog mampu mempertahankan kelokalitasannya dan itu menjadi karakter yang kuat dari mereka," kata Metzdub.
Atas dasar ini pula yang barangkali membuat Djaduk tetap mempertahankan “kelokalannya” meskipun ia memperoleh banyak job di Jakarta atau daerah-daerah lain, bahkan sering diundang tampil ke luar negeri. Djaduk, juga Butet, tetap bertahan sebagai “seniman lokal”, tidak menetap di Jakarta.
Studio Kua Etnika milik Djaduk yang terletak di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo di Desa Kembaran, Kasihan, Bantul, juga sering dipakai musisi asal Yogyakarta lainnya membuat rekaman album di sana. Beberapa di antaranya adalah Sisir Tanah, Melancholic, Tashoora, dan masih banyak lainnya. Salah satu personel dari band terakhir itu adalah putri sulung Djaduk bernama Gusti Arirang, yang juga bertindak sebagai salah satu penulis lagu di band Tashoora.
Pada 13 November 2019, tepat hari ini setahun lalu, Djaduk mengembuskan nafas terakhir akibat serangan jantung. Beberapa jam sebelum meninggal, Djaduk sempat memimpin rapat persiapan pagelaran musik Ngayogjazz 2019.
Editor: Ivan Aulia Ahsan