tirto.id - Pengadilan Negeri Depok akan menggusur paksa warga Kukusan, Beji, Jawa Barat yang terkena dampak proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) seksi II oleh PN Depok pada Selasa (11/12/2018) besok.
Koordinator Warga Kukusan, Syamsudin mengaku bahwa warga sudah siap dalam melakukan aksi. "Saya sudah pasang badan saja untuk besok," ungkap pria yang kerap disapa Udin ini kepada reporter Tirto, Senin (10/12).
Udin mengatakan, aksi yang akan dilakukan warga sekitar itu tidak berarti melawan pemerintah. Menurut dia, aksi besok juga tidak akan berlangsung agresif, tetapi akan berjalan damai.
"Saya dan warga bukan mau melawan pemerintah. Kami tidak punya senjata. Hanya saja kalau penggusuran ini tetap dipaksakan akan menjadi catatan buruk bagi sejarah," ujar pria yang sudah sejak kecil tinggal di daerah Kukusan, Beji, Depok ini.
Menurut dia, warga sangat menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mau berlaku adil dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut. "Problemnya kalau mau mereka gusur, mereka melawan hukum," tambahnya.
Dinilai Bertentangan dengan Hukum
Yang membikin Udin terheran-heran, PN Depok selaku pembuat pertimbangan hukum tersebut malah yang justru mendobrak hukum yang dibuatnya sendiri.
Sebab, berdasarkan Pertimbangan Hukum atau Konsideran dalam Penetapan Konsinyasi No.08/CONS/2017/PN.Dpk pada halaman 13 alinea terakhir, menyebutkan: Menimbang bahwa penetapan penawaran yang dilanjutkan dengan penitipan (Cogsinatie) bukan merupakan putusan Hakim atau Pengadilan yang menyelesaikan sengketa perdata, oleh karena itu tidak memberikan hak kepada pemohon untuk memaksa atau melakukan perbuatan-perbuatan lainnya berdasarkan isi penetapan ini.
"Anehnya pengadilan menerima permohonan eksekusi itu," ujarnya.
Di sisi lain, kata Udin, warga Kukusan juga sedang dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan belum ada kekuatan hukum tetap atau inkracht dalam banding itu.
"Proses hukum gugatan warga No. Reg 45/PDT.D/2018/PN.DPK masih belum inkracht," ujarnya.
Selain itu, Udin juga menyatakan Surat Pelepasan Hubungan Hukum yang menjadi dasar eksekusi paksa pada Selasa besok, cacat hukum. Sebab, belum ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan belum terjadinya akad jual beli antara pemilik dengan panitia pembebasan.
Konsinyasi Tak Sesuai Harapan
Yang lebih menyakitkan lagi bagi dirinya dan warga terdampak, konsinyasi yang ditetapkan belum sesuai dengan harapan. Udin dan warga Kukusan lainnya diberikan konsinyasi dengan perhitungan yang dilakukan pada tahun 2015 namun diaplikasikan pada 2017.
"Jadi, sekarang ini 2018. Kita dipaksa menerima angka 2015. Sementara estimasi kenaikan properti di Depok 30 persen. Kalau kita terima sekarang, artinya kita inflasi 60 persen," kata dia mengeluhkan.
Bahkan untuk menetapkan angka konsiyasi, Udin mengaku tidak pernah diajak bermusyawarah sebelumnya oleh pemerintah dan pihak terkait. "Dulu itu (2012) warga dapat undangan musyawarah di Kecamatan Beji. Sampai di sana, warga baru tahu kalau dikotak-kotakin. Dibagi per zona. Warga bingung jadinya," paparnya.
"Enggak ada sosialisasi masalah zona. Berkenaan dengan itu, ternyata zona menentukan nasib warga terkait harga. Ada perbedaan harga dan jomplang antara zona satu dan lainnya," lanjutnya.
Melihat adanya kejanggalan itu, Udin pun mengaku mencari kejelasan soal bagaimana penghitungan dan kriteria penetapan zona. Namun, lanjut Udin, ia dan warga lainnya sempat diundang lagi untuk bermusyarawah oleh pemerintah setempat.
"Tapi begitu warga datang, langsung dikasih harga, 'Tuh final' Lha warga bingung. Belum penyisihan sudah final. Mereka tentuin seenaknya," ujarnya.
Sementara itu, seorang warga lainnya yang tak mau disebut namanya, tak mempermasalahkan apabila mau digusur. Namun, dia berharap ada kejelasan dengan prosedur yang baik.
"Dari 2007, rencana ini muncul. Kami sebetulnya tidak menolak. Tapi kami sebagai warga hanya minta diselesaikan secara bermartabat," ujarnya pada reporter Tirto di tempat yang sama.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Alexander Haryanto