tirto.id - “Semua berawal dari cyberwar 2007. Pelakunya peretas Rusia,” terang Daniel Schaer kepada Tirto Juni lalu. “Kami mendirikan e-embassy di Luxemburg, untuk jaga-jaga,” terang Daniel Schaer di sebuah restoran di Tallinn, Estonia, Juni lalu.
Schaer anggota panitia khusus di korps diplomatik Estonia. Ia bertugas mengampanyekan masuknya Estonia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pada 2016, ia diangkat sebagai Dubes Estonia untuk Bosnia dan Herzegovina.
Schaer mengisahkan bagaimana perang siber membuat negerinya jadi yang paling siap menghadapi serangan-serangan internet, sampai-sampai dipercaya NATO sebagai teladan keamanan digital di Eropa. Predikat itu jelas tak datang dalam waktu semalam.
Pada April 2007, serangan peretas Rusia meluluhlantakkan bank, kantor pemerintah, dan semua layanan publik di Estonia yang terkoneksi dengan internet. Peristiwa ini terjadi menyusul pemindahan patung Serdadu Perunggu Tallinn dari kompleks pemakanan prajurit Soviet ke markas militer setempat. Etnis Rusia di Tallinn, yang menganggap Serdadu Perunggu sebagai simbol kehormatan mereka, turun ke jalan dan rusuh.
Rentetan peristiwa itu membuat hubungan Moskow dan Tallinn anjlok ke titik terendah sejak berakhirnya Perang Dingin pada 1991, kendati Kremlin tak pernah terbukti mendalangi peretasan massal. Saat itu, setelah hampir 17 tahun merdeka, Estonia kembali dihantui momok yang pernah mendudukinya selama 250 tahun: Rusia.
Selamat karena Jejaring Diaspora
Estonia punya jurus kunci bertahan dalam situasi serba terdesak: diaspora.
Sebuah cuplikan acara televisi menampilkan Lennart Meri tengah mengadakan konferensi pers di toilet bandara pada 1994. Presiden Pertama Estonia sejak restorasi kemerdekaan itu tengah menunjukkan menunjukkan kepada pers dunia betapa buruknya kualitas toilet bandara Tallinn.
“Para diplomat Jepang bilang, mereka kagum dengan cepatnya pembangunan Estonia. Tapi mereka heran kenapa kualitas toilet bandara kita masih seperti zaman Soviet,” ujar Meri.
Konferensi pers Meri diputar berulang kali di sebuah panel di Museum Nasional Estonia. Pesannya jelas: pendudukan Rusia identik dengan keterbelakangan, dan kapitalisme Barat adalah kemajuan yang harus direngkuh.
Trauma pendudukan dan bergulirnya wacana “akhir sejarah” seiring runtuhnya rezim-rezim Stalinis di Eropa Timur membuat Estonia—dan negeri-negeri bekas Soviet lainnya—mengambil langkah bergabung ke Barat. Koneksi dengan dunia luar cepat-cepat dibangun. Bahkan Rusia sempat berkiblat ke Barat, tepatnya pada masa pemerintahan Boris Yeltsin, presiden pertama Federasi Rusia kesayangan Clinton.
Pada 2004, Estonia bergabung ke Uni Eropa. Empat tahun kemudian, mereka resmi masuk NATO.
Koneksi ke dunia luar juga digenjot melalui bisnis. Belakangan, Tallinn mempromosikan E-Residency, sebuah program yang memungkinkan orang dari seluruh dunia membuka perusahaan dan layanan bank di Estonia hanya dalam hitungan menit. Tanpa harus datang ke Estonia dan memiliki rekanan lokal di sana, orang yang berminat mengikuti E-Residency cukup datang ke tempat-tempat yang sudah ditentukan, menyerahkan dokumen, dan menunggu proses otentifikasi dari Tallinn selama 30 hari kerja. Di Asia Tenggara, layanan E-Residency bisa diakses dari Singapura.
Memanfaatkan koneksi dengan dunia luar sebaik-baiknya nampaknya sudah jadi modus bertahan hidup Estonia. Bahkan dalam episode sejarahnya yang terburuk, negeri itu bertahan hidup berkat jejaring diaspora.
Ketika kemerdekaan Estonia direstorasi pada 1991, orang-orang dari jejaring diaspora yang tersebar di banyak negara dipanggil untuk bergabung ke pemerintahan atau menjadi utusan di negeri lain.
Namun, jauh sebelum 1991, sejumlah warga diaspora telah berusaha mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Oslo, Norwegia. Oleh negara-negara Blok Barat, pemerintahan eksil ini adalah satu-satunya representasi politik Estonia yang dianggap sah.
Jejaring eksil Estonia telah terbangun lama dan berkembang pesat, setidaknya sejak 1970an, ketika Soviet mulai memperbolehkan secara terbatas perjalanan ke Finlandia, yang dapat ditempuh dengan kapal feri sekitar 3,5 jam dari Tallinn. Mantan Presiden Lennart Meri adalah salah satu yang diuntungkan oleh kebijakan Moskow. Ia berkeliling mengkampanyekan nasib negerinya di Skandinavia dan memanfaatkan momentum Glasnost dan Perestroika untuk mendorong demokratisasi di Uni Soviet.
Tokoh terkemuka lainnya adalah mantan Presiden Toomas Hendrik Ilves. Lahir dan besar di AS, Ilves bekerja sebagai jurnalis di Radio Free Europe di Munich, Jerman. Ketika Soviet runtuh, ia diangkat sebagai Duta Besar Estonia untuk AS, Kanada, dan Meksiko pada 1993.
Masuknya Estonia ke NATO pun tak lepas dari peran diaspora.
Perintah Umum No. 1, doktrin pertahanan semesta negeri Baltik itu, memerintahkan angkatan bersenjata—tanpa diperintah—untuk secara aktif melawan agresor. Detail komandonya: lawan terus sampai ada instruksi setop dari presiden.
Doktrin tersebut dirumuskan oleh Jenderal Aleksandr Einseln, yang lagi-lagi besar di diaspora. Einseln, satu-satunya warga Estonia yang jadi jenderal kenamaan di negeri Paman Sam, meninggal dunia pada 2017 dan dimakamkan di Arlington National Cemetery, sebuah kompleks pemakaman tokoh-tokoh militer AS.
Lahir pada 1931, Einseln dan keluarga mengungsi ke Jerman pada 1944, kemudian ke AS lima tahun kemudian. Setelah aktif sebagai pasukan penerjun payung di Perang Korea dan sebagai pasukan khusus di Perang Vietnam, karier militer Einseln menanjak hingga menduduki Deputi Inspektur Jenderal Komando Pasifik AS. Pada 1993, Meri meminta Einseln untuk mengisi posisi Panglima Eesti Kaitsevägi (Pasukan Pertahanan Estonia).
Berkat Einseln pula tercipta hubungan antara Tallinn dan NATO. “Einseln mengirim para perwira muda untuk belajar di kampus-kampus militer di Barat, dan dengan demikian mempersiapkan kami untuk bergabung ke NATO, ujar Riho Terras, Panglima Eesti Kaitsevägi saat ini. Sebelum pulang ke Estonia, Einseln sendiri pernah mengepalai Divisi Perencanaan dan Kebijakan pada Joint Chief of Staff NATO.
Dan tentu saja, calon agresor yang dibayangkan Einseln saat menulis doktrin tersebut adalah Rusia.
“Dia memerintahkan setiap perwira untuk memulai perlawanan langsung jika tentara Rusia menyeberang ke perbatasan Estonia. Tak satu pun para panglima penerusnya berani merevisi doktrin ini,” ujar Riho Uhtegi, Komandan Kaitseliit, pasukan paramiliter Estonia, sebagaimana dikutip Molly K. McKew dalam laporannya di Politicoyang bertajuk 'They Will Die in Tallinn': Estonia Girds for War With Russia".
Doktrin pertahanan semesta serupa tak hanya berlaku di Estonia. Di dua negeri Baltik lainnya, Lithuania dan Latvia, anak-anak muda di bawah 18 tahun yang mendaftar sebagai relawan, diorganisir masing-masing dalam Asosiasi Penembak (Lithuania) dan Garda Pemuda (Latvia). Di Estonia, para relawan bergabung dengan Kaitseliit, yang telah berdiri sejak era pendudukan. Atlanticmelaporkan bahwa jumlah relawan di tiga organisasi ini meningkat pasca-agresi Rusia ke beberapa negara tetangga.
2008: Annus Horibilis
Tahun 2008, persis setahun pasca-perang siber, adalah titimangsa yang menegangkan bagi masyarakat Baltik dan negeri-negeri pecahan Soviet lainnya. Herman Simm, seorang mantan pejabat tinggi Kementerian Pertahanan Estonia, terungkap sebagai agen Moskow. Skandal ini menggemparkan NATO, mengingat Simm adalah orang yang pernah dipercaya memegang berbagai informasi rahasia organisasi kerjasama Atlantik itu.
Identitas Simm terkuak pada September, hanya lima bulan setelah serangan Rusia ke Georgia.
“Ketika pesawat NATO melintas di langit, kami terharu dan menangis,” kenang Katrin Saks, mantan anggota Riigikogu (parlemen Estonia) yang mewakili partai-partai sosialis di Parlemen Eropa.
Tapi kegembiraan itu rupanya hanya berlangsung empat tahun. “Setelah Georgia, semuanya berubah,” ujar Kristin menggambarkan reaksi orang-orang di sekitarnya pasca-serbuan Rusia ke Georgia.
Relasi Soviet dan negeri-negeri pecahannya tak pernah lepas dari pantauan masyarakat Baltik. Termasuk invasi Moskow ke Georgia, yang dilatarbelakangi oleh semakin dekatnya negeri itu ke NATO dan kepentingan Moskow mempertahankan hegemoninya di Laut Hitam.
Ossetia Selatan dan Abhazkia, dua wilayah Georgia di tepi Laut Hitam, telah lama bergolak dan masing-masing dikuasai oleh kelompok-kelompok separatis pro-Moskow. Mayoritas penduduk di dua wilayah tersebut juga etnis Rusia.
Contoh lain adalah pencaplokan Semenanjung Krimea di Ukraina, yang terjadi setelah tergulingnya Presiden Viktor Yanukovich yang dekat dengan Moskow pada 2014. Sama halnya dengan Georgia, Putin memanfaatkan sentimen etnis Rusia di selatam Ukraina.
Peristiwa ini pula yang menyebabkan pemerintah Estonia mendirikan benteng digital bernama e-Embassy di Luksemburg agar layanan pemerintah yang berbasis digital tidak terganggu jika terjadi serbuan fisik atau peretasan.
Persiapan ekstra yang dilakukan Tallinn terdengar paranoid. Di sisi lain, langkah ini masuk akal mengingat ribuan gerak ekonomi perusahaan rintisan yang belakangan jadi jualan Estonia di Eropa bergantung pada internet.
Risiko lain yang dihadapi Tallinn: sebagian aktivitas penyelenggaraan negara berlangsung secara digital. Sebanyak 30 persen penduduk Estonia, misalnya, mencoblos via internet pada pemilu 2015 dan 95 persen populasi melaporkan pajak secara online.
Jika Estonia berhasil mendayagunakan warganya yang tersebar secara global, Rusia justru menempatkan diasporanya sendiri sebagai komoditas politik.
Pada 2014, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa Moskow bertanggung jawab melindungi etnis Rusia yang khususnya tersebar di negeri-negeri bekas Uni Soviet. “Kami sedang mengusahakan agar rekan-rekan setanah air Rusia, di mana pun mereka berada, dijamin hak dan kemerdekaannya ... dan berkesempatan untuk melestarikan budaya dan tradisi tanah air historis mereka,” kata Anatoly Makarov, sang pejabat Kemenlu Moskow, sebagaimana diterjemahkan oleh Paul Goble, pengajar pada Institute of World Politics.
Di Estonia, ketimpangan ekonomi antara minoritas Rusia dan warga Estonia dipelintir oleh Moskow sebagai diskriminasi etnis. Kampanye militer Beruang Merah berikut propagandanya yang seringkali mengatasnamakan minoritas etnis Rusia di negara lain ini, rupanya sejalan dengan upaya Putin mengolah sentimen nasionalis Rusia untuk mempertahankan kekuasaannya.
Putin selalu berhasil menutupi problem ekonomi Rusia dengan petualangan militernya di negeri-negeri tetangga. Setelah invasi Georgia dan aneksasi Semenanjung Krimea, popularitas Putin dikabarkan melonjak drastis hingga ke angka 88%. Mengelola konflik dengan memulai perang di luar negeri untuk meredam gejolak politik domestik ini, catat sejarawan Sheila Fitzpatrick, telah bertahan sejak era Romanov. Sering berhasil, namun jika gagal malah mengompori pemberontakan.
Lagi-lagi, popularitas Putin harus dibayar dengan sanksi ekonomi dari negara-negara Barat pasca-pencaplokan Krimea, yang justru membuat ekonomi Rusia makin buruk.
Serdadu Perunggu Tallinn, patung setinggi 3 meter yang akrab dipanggil Aljoscha itu, berdiri di depan taman makam pahlawan Tallinn yang menampung jenazah para prajurit Soviet era Perang Dunia II. Bagi etnis Rusia di Estonia yang berjumlah 320 ribu jiwa, Aljoscha adalah simbol kemenangan Soviet yang berhasil meremukkan balatentara Hitler dalam perang yang disebut Stalin sebagai “Perang Patriotik”.
Namun, bagi masyarakat Estonia, Aljoscha adalah simbol penindasan, perkosaan, dan 50 tahun aneksasi.
Editor: Nuran Wibisono