tirto.id - Gangguan keamanan di Jawa Barat pada awal hingga pertengahan tahun 1950-an membuat beberapa serikat buruh dan organisasi masyarakat (ormas) jengah. Mereka mendesak Gubernur Jawa Barat dan Dewan Menteri di Jakarta membubarkan DPRDS (Dewan Perwakilan Daerah Sementara). Sikap ini diambil lantaran usulan nota tentang pemulihan keamanan di Jawa Barat tak segera ditindaklanjuti DPRDS.
Usulan nota pemulihan keamanan diusulkan oleh tiga anggota DPRDS Jawa Barat, yaitu Soemarsono (Postel/SOBSI), Hadiprawiro (PKI), dan Ir. Tan Hwan Tiang (Golongan Minoriteit) di sidang DPRDS Jawa Barat pada 18 September 1954.
Namun, usaha ketiga orang ini ternyata dianggap angin lalu. Konsepsi mereka ditolak oleh anggota DPRDS lainnya untuk menjadi agenda sidang terkait pemulihan keamanan di Jawa Barat.
Menurut penjelasan Soemarsono dalam surat protes terbuka yang ditujukan kepada wakil ketua DPRDS Jawa Barat dan anggota-anggota DPRDS yang meninggalkan sidang sebelum pleno III ditutup, usulan nota keamanan itu sebenarnya sudah disepakati pada sidang DPRDS sebelumnya pada Senin, 13 September 1954. Pembahasan mengenai pemulihan keamanan akan dibicarakan melalui prosedur pembicaraan melalui Panitia Keamanan Rakyat (PKR), yang memang diserahi tugas untuk mengatasi persoalan keamanan.
Dalam rapat PKR, telah diputuskan bahwa semua anggota PKR diberi kesempatan untuk mempelajari lagi isi nota keamanan yang diusulkan Soemarsono dkk. Dalam rapat PKR selanjutnya, 17 September 1954 telah disepakati usulan nota itu akan dibicarakan dalam sidang DPRDS sehari kemudian.
Sidang pleno DPRDS 18 September 1954 dipimpin wakil ketua DPRDS, Kamadjaja (Masyumi), dan dihadiri 35 anggota. Pada saat dibicarakan mengenai usulan itu, beberapa anggota malah meninggalkan ruang sidang. Jumlah hadirin memang masih 30 orang, tetapi kekurangan satu orang untuk mencapai kuorum.
Kejadian ini menimbulkan kekecewaan bagi kubu Soemarsono dkk. “Sangat mengherankan karena saudara wakil ketua tidak menghiraukan interupsi saya, ia telah menutup sidang dengan menjatuhkan palunya terburu-buru sehingga menimbulkan protes dari saya waktu itu juga,” ungkap Soemarsono dalam surat protes terbuka yang ditulisnya.
Soemarsono merasa heran mengapa sidang itu buru-buru ditutup. Sedangkan menurutnya putusan seksi gabungan mengenai acara pemulihan keamanan belum dilaporkan dalam sidang. “Lonceng jam baru menunjukkan kira-kira jam 10.30 sedangkan resminya sidang diadakan sampai jam 13.00, saya tidak dapat memahami tindakan aneh dan tidak bijaksana itu,” keluh Soemarsono.
Ia mempertanyakan apakah tindakan itu sudah direncanakan dengan maksud supaya konsepsi pemulihan keamanan dari kubunya itu tidak dibicarakan dalam sidang. Akibat tidak dibahasnya agenda itu, pembicaraan mengenai agenda pemulihan keamanan ditunda hingga tiga bulan ke depan. “Saya yakin rakyat dan alat-alat negara yang menderita akibat kekejaman gerombolan-gerombolan pengacau akan berdiri dibelakang protes saya ini!.” tegasnya.
Nota tersebut sedianya telah diusulkan sejak tanggal 7 Desember 1951. Terdapat empat poin penjelasan dalam nota yang diajukan tiga orang anggota DPRDS tersebut. Poin pertama hingga ketiga berisi latar belakang pengajuan nota itu. Pada poin keempat disebutkan secara rinci saran untuk pemulihan keamanan di Jawa Barat. “Oleh karena itu kami mengajukan kepada saudara-saudara saran-saran guna memulihkan keamanan di daerah Jawa Barat ini sebagai berikut.”
Saran-saran yang masuk dalam usulan tersebut antara lain, pertama, mengerahkan alat-alat negara bersenjata untuk melumpuhkan dan membersihkan gerombolan pengacau secara besar-besaran; kedua, memindahkan orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung membantu secara moril/materil kepada pihak pengacau dari daerah yang sedang/akan dibersihkan ke daerah lain, di mana mereka akan terus selalu diawasi dan diberi pendidikan; ketiga, di daerah yang sedang/akan dibersihkan hanya akan ditempati orang-orang pegawai pemerintah yang keyakinan politik dan perbuatannya bulat menjunjung tinggi dan membela Negara Republik Indonesia dengan aktif.
Selanjutnya pada poin ketiga, hak dan kewajiban setiap warga negara turut serta membela/memelihara keamanan negara disalurkan dan dipimpin oleh tentara, polisi, dan pamong praja dan memberikan kedudukan kepada organisasi-organisasi pertahanan di desa-desa yang ada, kelima, mengadakan koordinasi yang tepat antara operasi-operasi militer yang harus bersifat ofensif dengan pekerjaan di lapangan sosial, penerangan pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan lain-lain pekerjaan kemasyarakatan baik yang dilakukan oleh partai-partai dan organisasi-organisasi massa.
Fakta bahwa DPRDS tak merespons nota usulan pemulihan keamanan sontak menuai kecaman dari beberapa organisasi masyarakat dan buruh. Mereka bahkan menuntut DPRDS segera dibubarkan karena dianggap tak lagi berpihak pada rakyat yang telah banyak menderita akibat gangguan keamanan akibat aksi DI/TII dan beberapa gerombolan pengacau di wilayah Jawa Barat.
'Dukungan Moril' untuk DI/TII
Melalui resolusi yang dibuat, mereka mendesak pemerintah segera membubarkan DPRDS karena dianggap abai terhadap penderitaan rakyat akibat situasi keamanan yang tak menentu di Jawa Barat. Menariknya, mereka menuntut pembubaran itu secara konstitusional, yakni melalui Pemilu.
Berdasarkan surat yang dikirim SOBSI Jawa Barat kepada Gubernur Jawa Barat tertanggal 21 September 1954 (surat no.1429/4/Um/54), mereka menuntut secepatnya DPRDS Jawa Barat dibubarkan atau diganti dengan DPRDS yang baru melalui pemilihan umum. Melalui surat yang ditandatangani S. Mardiono (Sekretaris Umum I SOBSI Jawa Barat), mereka juga menegaskan dukungan terhadap usulan nota keamanan yang diusulkan Soemarsono dkk.
Serikat Buruh (SB) Tekstil Jawa Barat segera merespons surat SOBSI Jawa Barat tersebut. Kebetulan, pada 25-26 September 1954, mereka melaksanakan konferensi di Bandung. Dalam konferensi yang dihadiri semua cabang SB Tekstil se-Jawa Barat itu, mereka turut mengeluarkan resolusi tentang demokratisasi DPRDS Jawa Barat. Melalui resolusi itu, mereka berpendapat DPRDS yang dibentuk atas dasar P.P. 39/1950 dianggap tidak dapat mewakili para buruh dan tidak mencerminkan dari aliran politik yang beragam, sebagaimana dibuktikan oleh komposisi anggotanya yang didominasi satu partai saja, yakni Masyumi. Menurut mereka, hal itu tidak lepas dari keberadaan DPRDS yang tidak dipilih rakyat secara langsung melalui pemilu.
Dalam resolusi yang sama, mereka bahkan menuduh DPRDS Jawa Barat memberi dukungan moril terhadap DI/TII karena masalah keamanan yang disusun bersama oleh anggota DPRDS (Soemarsono dkk) diabaikan dan tidak dimasukkan dalam agenda sidang.
“DPRDS Jawa Barat tidak mau membicarakan masalah keamanan, terbukti gerombolan DI/TII dan lain sebagainya terus menerus melakukan penggarongan, pembakaran dan pembunuhan terhadap rakyat/kaum buruh, karenanya tidak sedikit kaum buruh/rakyat yang menjadi korban keganasan mereka,” tulis Husen, atas nama Konferensi SB Tekstil Jawa Barat, 26 September 1954.
Atas kejadian-kejadian yang diuraikan tersebut, SB Tekstil Jawa Barat mendesak kepada pemerintah untuk segera menyusun undang-undang pemilihan umum untuk pembentukan DPRDS yang demokratis. Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah supaya pemilihan DPRDS pengganti segera dilaksanakan sebelum pemilihan umum untuk Konstituante dan DPR digelar.
Dukungan untuk pemulihan keamanan di Jawa Barat juga muncul dari BTI (Barisan Tani Indonesia) Jawa Barat. Mereka mendorong pemerintah pusat, terutama alat-alat negara di Jawa Barat baik sipil maupun militer, untuk segera memulihkan keamanan sesuai konsepsi usulan nota ketiga anggota DPRDS Jawa Barat (Soemarsono dkk).
“Sesuai dengan keputusan Kongres pertama BTI Jawa Barat supaya DPRDS Provinsi Jawa Barat/DPRDS Kabupaten/kota besar segera diganti melalui UUD yang demokratis dan pemilihan umum serta supaya dilaksanakannya sebelum pemilihan umum untuk konstituante,” tulis BTI Jawa Barat dalam suratnya kepada Gubernur Jawa Barat, 8 Oktober 1954 (Nomor Surat 35/SU/A/54).
SOBSI Cabang Bandung pada 9 Oktober 1954 memperkuat dukungan terhadap usulan nota pemulihan keamanan Somarsono dkk. dengan mencantumkan data yang dikutip dari Antara (6 Oktober 1954) terkait angka-angka korban gejolak politik di Jawa Barat. Sejak 1950 hingga Agustus 1954, tercatat 5397 orang terbunuh, 1446 orang diculik, 2423 orang dianiaya (Surat No. 2319/I/3-4/54).
“SOBSI Cabang Bandung dengan 37.000 anggotanya akan berdiri di belakang usulan konsepsi tentang pemulihan keamanan yang disusun Soemarsono dkk, kedua kami memperkuat surat SOBSI Jawa Barat tanggal 21 September 1954 (No. 1429/4/Um/54) mengenai pembubaran/penggantian DPRDS Jawa Barat dan Pemulihan Keamanan, ketiga kami meminta kepada bapak Gubernur Jawa Barat supaya benar-benar memperhatikan surat desakan semacam ini,” tulis SOBSI Cabang Bandung, 9 Oktober 1954.
Tuntutan mengenai pembubaran DPRDS ini terekam dalam arsip Resolusi dari Beberapa Sarekat Buruh dan Ormas tentang Penggantian DPRDS melalui Pemilu (ANRI, Inventaris Arsip Sekretarian Negara Kabinet Perdana Menteri 1950-1959, nomor arsip 1074). Sarekat buruh dan ormas yang terlibat, antara lain Dewan Pimpinan Daerah BTI (Barisan Tani Indonesia) Jawa Barat, Dewan Daerah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) Jawa Barat, SOBSI Cabang Bandung, Sarekat Buruh Tekstil Jawa Barat, Partai Rakyat Nasional Cabang Bogor, Serikat Buruh Percetakan (SBP), dan Dewan Pimpinan Cabang Pemuda Rakyat Cirebon Barat.
Editor: Windu Jusuf