tirto.id - Mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju mengakui menerima suap dari berbagai pihak terkait dengan pengurusan perkara di KPK, kecuali dari Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin dan kader partai Golkar Aliza Gunado.
"Terkait dengan Saudara Azis Syamsudin dan Aliza Gunado, saya tidak menerima uang dari yang bersangkutan," kata Robin usai pembacaan dakwaan oleh Jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/9/2021) dilansir dari Antara.
Sidang pada hari ini baru mendengarkan pembacaan dakwaan dari Jaksa KPK, dan Robin sudah membantah menerima uang dari Azis Syamsuddin.
Dalam perkara tersebut Robin dan rekannya yang berprofesi sebagai advokat, Maskur Husain, didakwa menerima seluruhnya Rp11,025 miliar dan 36.000 dolar AS (sekitar Rp513 juta) sehingga totalnya sebesar Rp11,5 miliar terkait dengan pengurusan lima perkara di KPK.
Robin mengklaim dirinya menyesal dan lelah membohongi banyak pihak yang terlibat perkara di KPK.
"Saya sudah khilaf menipu dan membohongi banyak pihak dalam perkara yang saya lakukan ini. Saya dan beberapa pihak yang bernama Saudara M. Syahrial, saya tipu yang bersangkutan dengan menerima Rp1,695 miliar, dari Ajay Muhammad Priatna sebesar Rp507 juta, dari Usman Effendi Rp525 juta, dan dari Rita Widyasari," kata Robin.
Ketua majelis hakim Djumyanto lantas memotong pertanyaan Robin dengan mengatakan, "Sudah itu sudah masuk pokok perkara, intinya Saudara mengajukan eksepsi atau tidak? Karena ini berkaitan dengan proses persidangan selanjutnya."
"Saya tidak mengajukan eksepsi yang mulia," jawab Robin.
Sementara itu, Maskur Husain juga mengatakan bahwa pihaknya tidak mengajukan eksepsi (nota keberatan).
"Setelah saya mendengar dan menyimak dakwaan, karena apa yang dibacakan berkaitan langsung dengan profesi sebagai seorang advokat yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan praktik peradilan dan saya paham betul dengan apa yang saya lakukan maka saya tidak akan mengajukan eksepsi," kata Maskur.
Robin dan Maskur didakwa menerima dari M. Syahrial sejumlah Rp1,695 miliar, Azis Syamsudin dan Aliza Gunado sejumlah Rp3.099.887.000 dan 36.000 dolar AS, Ajay Muhammad Priatna sejumlah Rp507,39 juta, Usman Effendi sejumlah Rp525 juta, dan Rita Widyasari sejumlah Rp5.197.800.000.
M. Syahrial adalah Wali Kota Tanjungbalai nonaktif; Azis Syamsudin adalah Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar; Aliza Gunado adalah kader Golkar yang pernah menjabat sebagai mantan Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG); Ajay Muhammad Priatna adalah Wali Kota Cimahi nonaktif; Usman Effendi adalah Direktur PT Tenjo Jaya yang juga narapidana kasus korupsi hak penggunaan lahan di Kecamatan Tenjojaya, Sukabumi, Jawa Barat; dan Rita Wisyasari adalah mantan Bupati Kutai Kartanegara.
Atas perbuatannya, Robin dan Maskur didakwa berdasarkan Pasal 12 Huruf a atau Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pengakuan Robin yang tak menerima suap dari Azis semakin membuat KPK sulit untuk bisa menjeratnya. Padahal nama Azis sudah jelas disebutkan dalam dakwaan yang disusun KPK.
Nama Azis Syamsuddin tak sekali ini saja disebut-sebut dalam perkara korupsi.
Pada 2013 lalu, saat jadi Wakil Ketua Komisi III DPR, ia sempat diperiksa KPK dalam kasus korupsi simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) yang menjerat Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo.
Nama Azis disebut dalam persidangan oleh Ketua Panitia Pengadaan Proyek Simulator SIM Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan. Ia mengaku pernah diperintah atasannya, Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo, untuk memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR, yang salah satunya tidak lain Aziz.
Azis juga pernah disebut dalam kasus mega korupsi KTP-elektronik yang menjerat kolega di Partai Golkar Setya Novanto. Azis saat itu juga sempat mangkir dalam panggilan pemeriksaan KPK.
Peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman kepada reporter Tirto, Rabu (19/5/2021) mengatakan selama ini Azis "sering lepas dari banyak perkara hukum yang pernah dituduhkan." Ia bak belut yang licin sulit ditangkap.