tirto.id - Pada Januari 2013, pelukis asal Jerman Georg Baselitz membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia mengatakan perempuan tidak pernah melukis dengan baik. “Wanita tidak melukis dengan sangat baik. Itu fakta. Tentu saja ada pengecualian. (Seperti) Agnes Martin atau dari masa lalu, Paula Modersohn-Becker,” kata Baselitz kepada Spiegel Online.
Benarkah demikian? Jurnalis Cath Pound pernah menuliskan persoalan ini di BBC Culture. Dalam tulisannya, Pound menceritakan sejarah singkat seniman perempuan Louise Elisabeth Vigée Le Brun (1755-1842) yang memiliki peran penting di eranya.
Le Brun adalah seniman paling sukses, mahal dan pelukis protret terkenal dari abad ke-18. Ia mendirikan studio potret saat usianya masih remaja. Pada usia 23, ia melukis banyak protret dari Marie Antoinette, istri Raja Louis XVII, serta tokoh-tokoh lainnya.
Le Brun memiliki bakat yang kuat. Seorang kurator asal Paris, Joseph Baillio mengatakan: "(Le Brun) menangkap kemiripan yang tidak bisa dilakukan orang lain," dikutip dari BBC Culture.
Mencuatnya reputasi Le Brun membuat banyak seniman laki-laki merasa iri dan cemburu. Menurut Baillio, kecemburuan itu disebabkan karena Le Brun mendapatkan uang yang lebih banyak daripada seniman laki-laki pada umumnya.
"Itu menyakitkan, melihat seorang perempuan mendapat lebih banyak uang daripada mereka," kata Baillio.
Begitu juga ketika Le Brun memamerkan karyanya berjudul "Comte de Calonne" pada 1785. Ia diterpa fitnah yang menuduh karyanya sebenarnya dilukis oleh seniman laki-laki.
Selain Le Brun, ada juga nama seniman perempuan lain yang bahkan lebih tua, namanya Clara Peeters (1607-1621). Ia terhitung generasi pelukis perempuan paling awal yang berani menjadikan kegiatan melukis sebagai pekerjaan utama pada abad-abad awal modern di Eropa.
Peeters adalah contoh langka seniman perempuan yang sukses di abad ke-17. Ia inovator yang baik dalam bentuk dan isi. Pada saat kebanyakan perempuan tidak diberi akses ke pelatihan seni formal dan pembatasan materi pembelajaran, Peeters mendorong batas-batas dari beberapa genre.
"Dia tidak mendapat ruang besar, jadi dia memutuskan untuk fokus pada yang kecil dan melakukannya dengan sangat baik," kata kurator Alejandro Vergara.
Peeters juga memilih gaya realisme baru. Ia banyak menggunakan makanan sebagai objek lukisan-lukisannya. Kepiawiannya dalam melukis mampu membuat karya-karyanya menjadi elegan, menarik dan tampak hidup.
Namun sayang hidup Peeters tidak terekam dengan baik. Sejumlah pengamat terpaksa harus menerka kepribadiannya melalui berbagai miniatur potret diri yang ia lukis.
Meski demikian, 15 karya-karyanya telah berhasil dipamerkan di museum seni nasional Spanyol, Museo del Prado. Pameran tunggal bertajuk The Art of Clara Peeters ini berlangsung pada 26 Oktober 2016 lalu, yang sekaligus merupakan pameran pertama dari pelukis perempuan.
Masih ada seniman perempuan yang lebih dulu ketimbang Peeters dan Le Brun, di antaranya yang tak kalah terkenal adalah Artemisia Gentileschi (1593-1656). Ia adalah pelukis Barok asal Italia yang dianggap paling sukses di generasinya setelah maestro Caravaggio. Saat pelukis perempuan tak mendapat tempat di komunitas seni, dia menjadi perempuan pertama yang menjadi anggota Accademia di Arte del Disegno di Florence.
Karya-karyanya banyak menggambarkan perempuan kuat, korban mitos dan banyak mengadopsikisah-kisah Alkitab, seperti bunuh diri dan kisah prajurit. Karyanya yang paling terkenal adalah "Judith Slaying Holofernes" (1614-1620).
Dalam lukisan itu, Artemisia mengambil sebuah episode "Kitab Yudit" dalam Perjanjian Lama yang menceritakan pembunuhan Jenderal Holofernes oleh dua orang perempuan. Keduanya memenggal kepalasang jenderal yang tertidur dalam keadaan teler.
Jadi sebenarnya cukup banyak seniman rupa perempuan dalam sejarah seni dunia. Mengapa mereka tidak begitu dikenal.
Pelukis dan aktris perempuan, Jemima Kirke pernah melontarkan kalimat yang cukup terkenal: “Dunia seni, di mana perempuan?” katanya dikutip Huffington Post.
Dalam konteks itu, Kirke ingin mengatakan bahwa laki-laki telah lama mendominasi peran perempuan dalam dunia seni rupa selama berabad-abad.
Apa yang diucapkan Kirke juga diamini seniman Annie Kevans. Ia mengatakan, selama ratusan tahun laki-laki telah mendominasi perempuan dalam berkesenian.
"Selama ratusan tahun ada kontrol yang sangat kuat atas kanon dan tidak ingin perempuan ditulis di dalamnya," kata Kevans dikutip dari The Guardian.
Dari pembacaannya terhadap sejarah seni itulah Kevans akhirnya melukis potret seniman perempuan seperti Angelica Kauffman, Dorothea Tanning dan Giulia Lama, dalam beberapa proyeknya. Hal itu dilakukan untuk membuat arsip budaya kolektif, sekaligus mengingatkan kembali peran perempuan dalam dunia seni.
Kevans juga selalu merasa khawatir jika suatu saat namanya dihapus dalam dunia seni rupa kontemporer: "Sebagai seniman kontemporer, masih ada kekhawatiran. Saya pikir, 'bagaimana jika (penghapusan sejarah) terjadi padaku?'"
Selain itu, Kevans juga menyalahkan para akademisi – terutama laki-laki – yang menyusun sejarah seni dan segala hal yang dianggap sebagai kanon artistik.
"Belum cukup penelitian seniman perempuan yang menghubungkan pekerjaan mereka (karya) dengan baik. Jadi, ketika sejarawan melihat sebuah lukisan yang luar biasa, mereka cenderung menghubungkannya dengan seorang (pelukis) pria yang terkenal," katanya.
Menurutnya, para kritikus juga banyak mengabaikan seniman perempuan, yang juga merendahkan dan tidak percaya pada karya yang dihasilkan seniman perempuan. Ada pula anggapan bahwa seniman perempuan menjadi populer setelah mendompleng nama suaminya yang juga berprofesi sebagai seniman.
"Karena banyak perempuan menikah dengan artis lain, orang menganggap mereka dibantu oleh suami mereka. Tapi, sebenarnya, wanita-wanita itu telah menjadi seniman sebelum mereka menikah," kata Kevans.
Dalam satu kasus, popularitas pelukis perempuan asal Meksiko, Frida Kahlo (1907-1954) masih saja dikait-kaitakan dengan nama besar pelukis sekaligus mantan suaminya, Diego Rivera. Padahal, Kahlo sendiri pribadi seni yang mandiri, yang punya bakat dan kekuatan yang solid, sekaligus memiliki gaya yang juga khas.
Untuk menggambarkan kepiawaiannya melukis, Diego Rivera bahkan mengatakan: "Frida adalah satu-satunya contoh dalam sejarah seni, seorang seniman yang merobek dada dan hati untuk mengungkapkan kebenaran biologis perasaannya." katanya dikutip dari Amybrown.
Keresahan Kevans juga dirasakan oleh kelompok feminis East London Fawcett (ELF). Mereka melakukan survei terhadap data UK Feminista pada 2010. Data itu menunjukkan, hampir 83 persen para seniman di Tate Modern adalah laki-laki, begitu juga di Saatchi Gallery yang hampir diisi oleh 70 persen laki-laki.
Sementara di London timur, dari 43 pekerjaan umum di bidang seni, 14 persen diciptakan oleh perempuan. Di Westminster dan Kota London, dari 386 pekerjaan umum seni, proporsi yang diciptakan oleh perempuan hanya 8 persen.
Menurut ELF, angka-angka ini mencerminkan marjinalisasi perempuan dalam sejarah seni dan sering diperkirakan bahwa hanya sekitar 5 persen karya perempuan yang ditampilkan dalam koleksi permanen utama di seluruh dunia.
National Gallery di London, misalnya, menurut informasi yang dibuat aktivis perempuan Tim Symonds pada awal 2011, sangat sedikit memberi tempat pada perempuan. Dari 2300 karya di National Gallery of London, hanya 11 karya perempuan yang masuk di dalam koleksi.
Melihat fakta inilah, ucapan pelukis dan aktris perempuan, Jemima Kirke terlihat begitu †nyata, seperti dalam kalimatnya: “Dunia seni, di mana perempuan?”
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Zen RS