Menuju konten utama

Di Balik Perseteruan PBNU dan Sri Mulyani soal Kredit Rp1,5 Trilun

PBNU menagih janji pemerintah untuk menyalurkan kredit berbunga rendah senilai Rp1,5 triliun pada 2017 silam. Hal ini menurut mereka untuk mengatasi ketimpangan ekonomi.

Di Balik Perseteruan PBNU dan Sri Mulyani soal Kredit Rp1,5 Trilun
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan pidato kebudayaan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta, Selasa (22/10/2019) malam. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj berseteru dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ini terkait janji pemberian kredit murah senilai Rp1,5 triliun yang diteken lewat memorandum of understanding (MoU) pada 2017 lalu.

Said menagih janji ini dalam sebuah pidato di kampus Unusia Jakarta, 15 Desember 2019, atau dua tahun setelah perjanjian. Pidato Said berdurasi sekitar 30 menit dalam unggahan di Youtube.

Said awalnya bicara tentang garis dakwah NU yang mengacu ke Walisongo. Dalam acuan tersebut Islam dan budaya dibuat saling berjalan beriringan, yang kini dikenal dengan istilah ‘Islam Nusantara’.

Said lantas bicara tentang tugas yang harus dijalankan NU sesuai mandat muktamar di Jombang, Jawa Timur, lima tahun silam. Salah satunya adalah berperan mengentaskan kemiskinan serta mendorong pengusaha kecil, terutama yang jadi anggota ormas Islam terbesar di Indonesia ini.

Ia lantas mengontraskan antara kemiskinan di kantong-kantong basis NU seperti di Tasikmalaya, Ciamis, Tegal, dan Bondowoso, dengan kekayaan segelintir orang.

“Ada umat yang untuk makan saja susah. Ini ada orang berfoya-foya dalam penyelundupan Harley, ada pengusaha mengelola 5 juta hektare [lahan]. Ini Pertamina punya anak perusahaan sampai 164. Ini bancakan para pimpinan dan direksi,” kata Said melempar tudingan.

Said mulai membicarakan janji Sri Mulyani setelah bicara soal kemiskinan.

“Keputusan muktamar yang 5 tahun lalu berat direalisasikan. Kurang ada afirmasi, kurang perhatian dari pemerintah,” kata dia, mengevaluasi tugas tersebut.

Salah satu bentuk kurang perhatian tersebut adalah tidak terealiasinya MoU dengan Kemenkeu.

“Pernah kita MoU dengan Sri Mulyani. Katanya akan kredit murah Rp1,5 triliun. Sampai hari ini, satu peser pun belum terlaksana,” ungkapnya.

Dalam kesempatan ini dia juga mengingatkan pemerintahan agar tak meninggalkan NU.

“Ketika pilpres, suara kita dimanfaatkan, setelah selesai kita ditinggal. Ini karena kita hanya bisa komparatif (unggul secara jumlah). Belum bisa sampai kompetitif,” kata dia.

Pernyataan soal MoU dengan Kemenkeu kemudian jadi bahan pemberitaan sejumlah media nasional pekan lalu. Kemenkeu berdalih sudah ada dana cair sebagai bentuk implementasi MoU sebesar Rp211 miliar kepada lima koperasi yang terafiliasi dengan NU.

Bicara Oligarki dan Ketimpangan

Ditarik lebih jauh, Said mengatakan ketimpangan yang terjadi saat ini bukan semata karena takdir, tapi karena “yang berkuasa di negeri ini adalah oligark-oligark.”

Siapa itu oligarik? Said mengatakan, mereka adalah “orang-orang yang punya modal, punya kapital ketika Orde Baru. Begitu masuk reformasi, modalnya untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu saja.”

Modal mereka, kata Said, “tidak sampai menyentuh [orang kecil] seperti Jumadi, Solikin, Madrais, Zulkifli, Tasingkiem.”

Sistem oligarki yang memicu ketimpangan terlihat dari penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan besar. Misalnya, PT Freeport Indonesia yang mengekspolitasi emas di Papua dan perusahaan milik pengusaha Jakarta yang mengeruk batu bara di daerah-daerah.

“Sementara sekelompok kecil menikmati kekayaan alam luar biasa, Freeport, uranium, nikel, apalagi batu bara. Rakyat miskin di tepi tambang, pinggir laut, tepi hutan. Hidup di sebelah tapi miskin,” katanya.

Penjelasannya soal oligarki dan ketimpangan, barangkali, adalah alasan kenapa Said menyinggung kembali perjanjian yang diteken dua tahun lalu.

“Kami sudah sering bicara toleransi agama. Tapi toleransi ekonomi untuk pemerataan belum terwujud. Kay la yakuna dulatan bayna al—aghaniya'I minkum, jangan sampai harta dinikmati oleh orang-orang itu saja,” sebut Said.

Bunga Terlalu Tinggi

PBNU lantas mengusulkan agar dana kredit mikro ini disalurkan seperti hibah. Sri Mulyani mengatakan ia akan mengkaji usul ini terlebih dulu dulu, apalagi dana kredit mikro ini tak seperti program keluarga harapan (PKH) yang posisinya memang bantuan sosial (bansos).

“Kami akan bicara dengan teman-teman NU. Selama ini hubungan kami baik dan akan terus dukung untuk peningkatan ekonomi,” ucap Sri Mulyani.

Meski mengaku akan mengevaluasi MoU, Sri Mulyani bersikukuh telah menyalurkan dana ke koperasi sebesar Rp211 miliar. Kelima koperasi yakni KSPPS BMT UGT Sidogiri Pasuruan Rp50 miliar; BMT Nusa Umat Sejahtera Semarang Rp100 miliar (dikelola PCNU Semarang); BMT EL Anugerah Sejahtera Langkat Rp8 miliar, BMT Nuansa Umat Jatim, Sumenep Rp50 miliar; dan BMT Umat Sejahtera Abadi, Jepara Rp3 miliar.

Kredit ini, kata Sri Mulyani, untuk masyarakat peminjam ultra mikro. Kemenkeu mengandeng PT Bahana Artha Ventura dan PT Pengadaian untuk menyalurkan kredit.

“Waktu itu PBNU minta untuk berikan secara langsung [ke] masyarakat melalui pondok pesantren meski bukan unit kegiatan ekonomi. Waktu itu kami salurkan tapi ternyata tidak bisa membantu. Pendampingan ultra mikro penting sekali. Jadi enggak bisa sendiri,” kata Sri Mulyani.

Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan salah satu kendala penerapan MoU itu adalah bunga yang tinggi.

Menurutnya siapa saja yang mendapat kucuran dana dari kredit usaha mikro (UMi) dibebankan bunga hingga 8 persen. Ini di atas bunga program kredit usaha rakyat milik bank BUMN sebesar 6 persen. Padahal, katanya, dalam kesepakatan awal bunga pembiayaan pelaku ekonomi mikro ini cukup 2 persen hingga ke peminjam.

“Pelaksanaan MoU terkait UMi ini tidak dapat dilaksanakan. Kesepakatan awal, pricing pembiayaan pelaku ekonomi mikro 2 persen di tangan end user. Yang terjadi adalah pricing yang terlalu tinggi sebesar 8 persen, bahkan lebih tinggi dari KUR yang berkisar 6 persen,” kata Helmy.

Baca juga artikel terkait PENYALURAN KREDIT atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino