tirto.id - Orlando Bloom hampir bunuh diri setelah dipecat dari pekerjaan dan dicampakkan kekasihnya. Tapi, tindakan itu tertunda setelah mendapat kakak perempuannya menelepon dan mengabarkan bahwa ayah Bloom meninggal ketika mengunjungi kerabat di Elizabethtown, Kentucky.
Dalam perjalanan udara menuju Kentucky, ia bertemu dengan Kirsten Dunst. Pramugari yang tak punya latar belakang, tapi memiliki misi membangkitkan semangat Bloom, pemuda yang baru saja dikenalnya di pesawat. Film tragikomedi yang rilis pada 2005 dan disutradari Cameron Crowe ini berjudul Elizabethtown. Menulis resensi untuk The A.V. Club, kritikus Nathan Rabin memberi istilah “Manic Pixie Dream Girl” bagi karakter Kirsten Dunst di film itu.
Tahun sebelumnya, Dunst bermain di Wimbledon. Ceritanya sebenarnya sederhana: Paul Bettany adalah petenis senior yang performanya mulai menurun dan mendekati masa pensiun. Di tengah masa suram itu, ia bertemu Kirsten Dunst, petenis muda yang tengah naik daun. Dengan Kirsten Dunst sebagai penyemangat, Bettany yang tadinya menyedihkan mulai bangkit semangatnya hingga bisa memenangkan turnamen tahun itu.
Dalam tema khas karakter protagonis yang depresi dan menyedihkan, ada satu elemen yang terus berulang: sesosok karakter yang dihadirkan untuk menyemangati orang lain. Ia tak digambarkan punya motivasi yang jelas, tak mementingkan diri sendiri, seringkali street-smart, nyentrik, tapi ingin mengubah pasangannya agar lebih riang, lebih mencintai hidup, bisa keluar dari keterbatasan-keterbatasannya, lalu menggali pelajaran hidup. Stock character seperti ini lazim dikenal sebagai manic pixie dream girl (MPDG, jika karakternya cewek) atau manic pixie dream boy (untuk cowok).
Contoh klasik lainnya adalah Zooey Deschanel di 500 Days of Summer (2009): tak terlalu jelas apa keinginannya tapi mampu membuat Joseph Gordon-Levitt mengejar cita-cita lamanya untuk menjadi arsitek. Meski, ada juga yang beranggapan bahwa 500 Days of Summer sebetulnya berusaha merekonstruksi karakter Summer. Sutradara Marc Webb ingin menekankan bahayanya mengidealkan perempuan ketimbang menempatkannya sebagai manusia yang kompleks. Bagi Tom, Summer adalah sebuah perspektif mengenai tentang perempuan. Ia tak melihat Summer sebagai perempuan yang juga punya cita-cita dan keinginan. Ujung-ujungnya, ia patah hati juga.
Contoh lebih klasik lagi adalah Leonardo DiCaprio di Titanic (1997). Jika diperas lagi ceritanya, Titanic adalah kisah pemuda miskin yang sengaja ditaruh di film cuma untuk mansplaining Kate Winslet--seorang gadis aristokrat--agar “tidak menyerah dalam hidup”.
Karakter manic pixie dream girl/boy juga sering ditemui pada kisah-kisah orang sakit kronis yang jatuh cinta. Elemen ini hadir sebagai penyemangat bagi karakter yang sakit atau karakter sakit yang menyemangati orang lain. Di film-film remaja sakit, karakter ini bisa disaksikan di A Walk to Remember. Kisahnya?Seorang gadis Kristen saleh penderita leukimia mampu mengubah cowok yang suka berkelahi dan mabuk-mabukan. Mau lagi? Tontonlah The Fault in Our Stars. Isinya tentang ketulusan absolut pemuda penderita kanker tulang yang menyemangati pemudi kanker tiroid.
Sebenarnya, elemen ini bukan hal baru di Hollywood. Motifnya klasik, turunan dari “Cinta Mengalahkan Segalanya” (alias “Love Against All Odds”). Karakter yang sakit dan kisah cinta itu biasanya mampu melunakkan orangtua yang tak merestui, perbedaan kelas sosial, agama, afiliasi ormas, pilihan capres, dan lain sebagainya.
Contohnya tak cuma A Walk to Remember atau The Fault in Our Stars. Motif itutelah dimulai sejak 1970-an lewat Love Story, sebelum akhirnya ditiru Sweet November (2001), Now is Good (2012), Midnight Sun (2018), Everything, Everything (2017), hingga Five Feet Apart (2019) yang dirilis tahun lalu.
Five Five Apart bercerita tentang dua orang berjumpa di rumah sakit, jatuh cinta, pacaran dalam tenggat waktu biologis, lalu salah satunya pergi, dan yang ditinggalkan merasa mendapat pelajaran berharga. Karakter-karakternya biasanya remaja, atau anak muda usia kepala dua yang salah satunya—atau dua-duanya—sakit.
Cerminan Kehidupan Nyata?
Di Indonesia, salah satu yang paling diingat adalah Pengantin Remaja (1971). Film ini berkisah tentang Romi (Sophan Sophiaan) dan kisah cintanya dengan Juli (Widyawati) yang tak mendapat restu orang tua. Namun, sikap kedua orang tua mereka itu berubah sejak Juli divonis penyakit kanker darah dan umurnya tinggal sebulan lagi. Dengan ancaman penyakit kronis itu, pernikahan pun dilangsungkan dan Juli meninggal tak lama kemudian.
Film besutan Wim Umboh ini dianggap sebagai jiplakan dari Love Story yang diproduksi Paramount pada 1970. Meski demikian, Wim Umboh sendiri mengaku diilhami oleh Romeo and Juliet, terlihat jelas dari nama karakter yang digunakan, yakni Romi dan Juli.
Film Indonesia lain yang dianggap memiliki karakter sejenis adalah Tak Ingin Sendiri (1985) dan Tinggal Sesaat Lagi (1986), dan Love for Sale (2018) yang mengisahkan Richard dan Arini.
Seperti yang ditulis Nathan Ruby untuk Elizabethtown, karakter-karakter ini cuma versi vulgar dari perpanjangan tangan penulis naskah/sutradara untuk menasihati karakter utama atau sebentuk fantasi mentah si pembuat film tentang kejaiban yang tiba-tiba datang di masa sulit. Setelah pesan-pesan itu tersampaikan dan si tokoh utama mengalami perubahan dalam hidup, bukankah sutradara dengan leluasa bisa mematikan karakter tanpa ambisi ini?
Belakangan, karakter MPDG banyak mendapat kritik. Zooey Deschanel bahkan menuturkan kebosanannya terhadap karakter ini. “Ketika kamu membaca naskah dan mendapati dirimu selalu berperan sebagai kekasih orang lain, padahal kamu ingin jadi pemeran utama, ini sangat menyebalkan,” ujar Deschanel. Kita bisa membayangkan frustasi yang dihadapi Deschanel mengingat berapa banyak peran MPDG lain yang ditawarkan kepadanya setelah 500 Days of Summer.
“Sebagai pelawak, saya merasa sangat frustasi untuk terus-terusan berperan sebagai karakter yang hanya menyiapkan momentum bagi orang lain,” tambahnya.
Namun, versi paling bobrok dari MPDG barangkali bisa ditemukan di Ruby Sparks (2012). Dalam film itu, Ruby Sparks adalah karakter fiksi dalam kepala Calvin Weir-Fields, penulis kaku yang tak percaya diri. Entah kenapa tiba-tiba karakter Ruby muncul di dunia nyata. Sementara itu, Calvin harus berpikir keras soal masa depan karakter perempuan yang ia ciptakan itu, sementara Ruby juga ingin menentukan nasibnya sendiri.
Ruby Sparks bisa dianggap sebagai film yang sangat seksis: nasib seorang perempuan harus ditentukan oleh seorang penulis panikan yang bahkan belum selesai dengan dirinya sendiri.
Namun, menurut Laurie Penny, karakter MPDG hadir karena demikianlah tatanan sosial mengajarkan bagaimana peran bagi laki-laki atau perempuan. Laki-laki diharapkan menjadi pahlawan dalam ceritanya, sementara perempuan diharapkan membantu laki-laki mencapai impian tersebut. Bagi Penny, MPDG bukan hanya fantasi di layar, melainkan template hidup bagi banyak perempuan muda.
Barangkali ini bisa jadi kabar baik bagi para lelaki: mereka bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka berkat banyaknya MPDG di dunia nyata. Tapi, pernahkah Anda membayangkan betapa lemahnya seseorang yang merasa harus bertemu orang yang tepat agar bisa bertransformasi jadi sosok yang lebih baik?
Editor: Windu Jusuf