Menuju konten utama

Di Balik Mundurnya Dua Staf Anies Saat Ramai Kejanggalan KUA-PPAS

Dua bawahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mundur di tengah pembahasan KUA-PPAS yang penuh kejanggalan dan tidak transparan.

Di Balik Mundurnya Dua Staf Anies Saat Ramai Kejanggalan KUA-PPAS
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan keterangan pers di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (1/10/209). Tirto.id/Riyan Setiawan.

tirto.id - Beberapa kejanggalan saat penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk RAPBD DKI Jakarta 2020 sempat menjadi sorotan publik.

Salah satunya soal pengadaan lem Aibon mencapai Rp82,8 miliar, hingga alokasi senilai Rp5 miliar untuk menyewa jasa influencer dalam kegiatan promosi pariwisata DKI. Kejanggalan-kejanggalan ini dinilai karena Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak transparan sejak awal.

Buntut persoalan ini, dua bawahan Anies memilih mundur dari jabatannya yakni Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, Sri Mahendra Satria Irawan dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) DKI Jakarta Edy Junaedi.

Saat menyampaikan keinginannya untuk mundur, Mahendra hanya menyebut karena ingin Bappeda DKI Jakarta lebih baik lagi ke depannya.

Mundurnya Sri Mahendra diduga karena munculnya beberapa anggaran yang dinilai aneh dan janggal dalam draf Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran (KUA-PPAS). Pasalnya, Bappeda DKI Jakarta memiliki peran melakukan perencanaan pembangunan daerah.

"Saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dengan harapan agar akselerasi Bappeda dapat lebih ditingkatkan," kata Mahendra di Balai Kota, Jakarta, Jumat (1/11/2019) sore.

Setelah mengumumkan hal tersebut, Gubernur Anies Baswedan langsung maju ke depan podium dan mengatakan bahwa pihaknya menerima pengunduran diri tersebut. Walaupun mengaku terkejut, ia menghormati keputusan besar itu.

"Meskipun cukup terkejut sangat, kami menerima permohonan beliau. Ini adalah sebuah sikap yang perlu dihormati, dihargai, ketika memberi kesempatan kepada yang lain ketika mementingkan organisasi di atas dirinya," kata Anies.

Tindakan dua pejabat ini untuk undur dari jabatannya di satu sisi patut diapresiasi sebagai pertanggungjawaban atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.

"Karena kesalahannya nyata dan faktual ya pejabat publik harus gitu sikapnya," ucap pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah kepada reporter Tirto, Sabtu (2/11/2019).

Namun, mereka tetap harus mengemukakan alasan mereka mundur bila tak mau dianggap lari dari tanggung jawabnya. Walaupun memang kemungkinan besar akibat mencuatnya anggaran yang dianggap ganjil pada penyusunan KUA-PPAS.

"Dengan mundur berarti dia seolah-olah lepas dari tanggung jawab itu," ujar Trubus.

Kesalahan memang tak boleh ditimpakan kepada Mahendra atau pun Edy Junaedi saja. Anies Baswedan juga harus bertanggung jawab akibat asal menandatangani tanpa memperhatikan detail seluruh anggaran yang diusulkan.

Persoalan ini pernah diungkapkan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah saat menanggapi kritik terkait usulan anggaran yang dipermasalahkan seperti renovasi rumah dinas gubernur dan kenaikan usulan anggaran untuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).

Kata Trubus, sikap main tanda tangan yang dilakukan Anies ini bukti bahwa ia sejak awal tak memahami masalah.

"Kalau gitu ya Pak Gubernur gak pahami masalah. Nah, kalau gak kuasai masalah berarti mundurnya pejabat-pejabat ini adalah bentuk kepanikan eksekutif," ucap Trubus.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan mengatakan Anies tak boleh hanya terkejut merespons mundurnya dua anak buahnya itu.

Anies juga tak boleh lepas tangan. Ia pun harus turut bertanggung jawab, paling tidak segera bertindak cepat memilih pengganti mereka, mengingat pembahasan anggaran terus berjalan.

"Anies Baswedan juga harus cepat untuk memperbaiki sistemnya dan selanjutnya memilih orang-orang yang betul punya integritas tinggi terhadap anggaran dan uang rakyat," kata Misbah kepada reporter Tirto.

Fitra melihat pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki banyak sumber daya manusia yang kemampuannya bisa diandalkan untuk mendampingi Anies dalam bekerja menyusun dan membahas anggaran bersama DPRD.

Asalkan, Anies harus benar-benar memilih orang yang memiliki kapabilitas dalam penyusunan anggaran serta terpenting adalah berintegritas tak melakukan korupsi.

"Segera dipilih dan betul-betul dipantau, diawasi. Pilihlah orang-orang yang betul memiliki komitmen, paham perencanaan anggaran, betul-betul berintegritas untuk tak korup," ucap Misbah.

Kabur Saat Pertempuran Baru Mulai

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono menyayangkan jalan yang dipilih dua bawahan Anies itu, yakni mengundurkan diri di saat 'pertempuran' pembahasan APBD DKI Jakarta baru mau dimulai. Meskipun, ia menghormati langkah yang diambil oleh Mahendra dan Edy Junaedi itu.

"Kita sayangkan di saat pertempuran pembahasan APBD mereka mengundurkan diri. Kan gitu. Kenapa tidak menyelesaikan peperangan sampai selesai, baru mundur. Itu aja yang kita sayangkan," ucap Gembong saat dihubungi, Jumat (1/11/2019).

Gembong melihat mundurnya mereka karena ada tekanan dari Anies akibat ramainya pemberitaan soal usulan anggaran yang janggal ini. Apalagi, menurutnya, perencanaan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat ini sangat lemah.

Banyaknya celah saat penyusunan anggaran ditambah serangan dari publik, kata Gembong, membuat Anies panik.

"Maka kepanikan itu yang menyebabkannya memberi tekanan kepada anak buah. Kan bisa saja itu terjadi," ucap Gembong.

Gembong pun menyarankan Anies segera mencari orang yang paham dalam melakukan penganggaran, khususnya untuk jabatan Kepala Bappeda.

"Jangan orang yang gak paham dengan persoalan, nanti pasti jadi missing link lagi," pungkas Gembong.

Baca juga artikel terkait RAPBD DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri