tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengunggah foto pertemuan antara dirinya dengan pihak perusahaan berbasis teknologi digital Traveloka di akun Instagram miliknya @smindrawati. Dari keterangan gambar yang dituliskan, Sri Mulyani menyampaikan kekagumannya terhadap kinerja Traveloka selama ini.
Sri Mulyani menuturkan, pihaknya masih harus belajar dan perlu secara aktif menggunakan teknologi guna memperbaiki kualitas belanja pemerintah. Salah satu yang disorotinya terkait belanja pemerintah yang dirasa masih cukup besar dalam hal biaya perjalanan dinas.
“Saya mengharapkan perusahaan seperti Traveloka dapat melakukan penelitian mengenai pola dan besaran perjalanan dinas pemerintah, serta memberikan masukan dan solusi bagaimana pemerintah menjadi lebih efisien dan akuntabel dalam mengelola belanja perjalanan dinas,” tulis Sri Mulyani dalam unggahan di akun Instagramnya.
Keinginan Sri Mulyani ini memunculkan reaksi keras dari Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita). Mereka khawatir pertemuan tersebut bakal memunculkan kebijakan-kebijakan yang nantinya dapat mengancam sumber pendapatan agen travel konvensional.
Ketua Umum Asita, Asnawi Bahar menilai, pertemuan itu tidak adil bagi biro perjalanan yang lain. Asnawi mengatakan bahwa biro perjalanan yang bernaung di bawah Asita pun sanggup untuk melakukan kegiatan pengaturan perjalanan sebagaimana yang dilakukan Traveloka.
“Kalau dibilang adanya inefisiensi, Menkeu harus menjelaskan lebih lanjut mengenai itu. Di bidang apa? Misalnya mengenai harga, kami sekarang sudah tidak bisa bermain harga,” kata Asnawi kepada Tirto, Rabu (23/5/2018).
Asnawi memang tidak menampik apabila sistem terdahulu memungkinkan adanya permainan harga. Namun, Asnawi menekankan, biro perjalanan yang ada saat ini sudah mulai berbenah serta ada tindakan tegas dari asosiasi apabila diketahui terjadi pelanggaran, seperti penggelembungan harga atau mark-up.
Ia mengklaim, saat ini biro perjalanan sudah cukup tertekan dengan besaran komisi untuk setiap jasa pemesanan tiket yang hanya sebesar dua persen per tiket. Ia berpendapat, pemerintah seharusnya membimbing para pengusaha biro perjalanan ini sehingga tidak ditemukan lagi adanya kecurangan dalam proses booking untuk perjalanan dinas.
“Anggota resmi kami ada sekitar 7.000 dan langganan untuk yang di daerah adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sebanyak 80 persen anggota [Asita] masih mengandalkan ticketing sebagai sumber pembiayaan rutin,” kata Asnawi.
Hal senada diungkapkan pengamat pariwisata dan pendiri Indonesia Tour Leaders Association (ITLA) Rudiana Jones. Ia mengaku cemas apabila dari pertemuan antara Sri Mulyani dan Traveloka itu kemudian muncul kesepakatan yang berpotensi merugikan industri biro perjalanan lainnya.
Rudiana tidak menampik apabila perkembangan teknologi saat ini sudah cukup mengganggu iklim usaha biro perjalanan konvensional. Namun, Rudiana menilai hal tersebut sebagai kondisi yang memang tidak bisa dihindari.
“Yang tidak masuk akal, kenapa arahnya ke satu institusi saja? [Traveloka] kan sudah ada di online dan kita tidak bisa menafikan, orang bisa membeli tiket di sana karena itu sifatnya umum. Kenapa harus seakan didukung oleh seorang menteri?” kata Rudiana kepada Tirto.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, Rudiana menyebutkan bahwa kecil kemungkinan bagi pelaku usaha biro perjalanan untuk memanipulasi harga. Pasalnya harga tiket di kwitansi sudah tidak bisa ditulis secara manual dan harga yang diberikan kepada konsumen maupun korporasi harus sesuai dengan yang dikehendaki maskapai penerbangan.
Menurut Rudiana, Traveloka merupakan perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang relatif besar. Rudiana menilai, Traveloka dapat mengancam agen-agen travel kecil.
“Kebanyakan dari kita adalah agen travel kecil, UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang mengandalkan pemesanan tiket,” kata Rudiana.
Tirto lantas menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut ihwal pertemuan yang berlangsung antara Sri Mulyani dan pihak Traveloka, pada 15 Mei 2018.
Nufransa menilai, pertemuan tersebut sifatnya biasa serta tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Ia pun meminta agar asosiasi maupun para pelaku industri biro perjalanan tidak khawatir dengan pertemuan tersebut.
“Kami sudah beberapa kali bertemu dengan perusahaan e-commerce dan start-up. Ini hal yang biasa,” kata Nufransa saat dikonfirmasi Tirto terkait kekhawatiran Asita.
Namun, Nufransa tidak menampik apabila terjadi pembicaraan untuk pengkajian aspek-aspek apa saja yang memungkinkan terjadinya efisiensi pada perjalanan dinas. Ia tidak menutup kemungkinan terjadinya tindak lanjut dari pengkajian tersebut.
Nufransa menilai, efisiensi dapat diraih dengan menggunakan pendekatan terhadap teknologi. “Dengan adanya teknologi, kan, dapat mencatat semua bentuk perjalanan dinas. Kalau secara manual, kan, masih ada yang terpisah-pisah. Namun untuk bentuknya seperti apa, caranya bagaimana akan dilihat nanti,” jelas Nufransa.
Ia memastikan bahwa segala usulan yang muncul tentu akan dibicarakan terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait, termasuk para pelaku usaha maupun asosiasi.
Dihubungi secara terpisah, Public Relations Manager Traveloka, Busyra Oryza mengungkapkan pertemuan tersebut secara keseluruhan membahas tentang perkembangan ekonomi digital dan teknologi secara umum. Busyra mengatakan, Menkeu Sri Mulyani lantas mengemukakan tantangan dalam mengelola belanja perjalanan dinas di pemerintahan.
“Beliau [Sri Mulyani] meminta Traveloka memberikan saran berdasarkan expertise Traveloka di bidang teknologi dan industri travel, bagaimana agar belanja perjalanan dinas tersebut dapat lebih efektif dan efisien,” ungkap Busyra.
Sama halnya dengan yang disampaikan Nufransa, Busyra juga menyebutkan inisiatif tersebut masih dalam tahap pembicaraan awal. Untuk merealisasikannya, Busyra menyatakan perlu adanya pengelolaan pada data belanja perjalanan dinas terlebih dahulu.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz