Menuju konten utama

Di Balik Kasus Gugatan Sewa Satelit yang Menyeret Pemerintah

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia dianggap wanprestasi kontrak sewa satelit.

Di Balik Kasus Gugatan Sewa Satelit yang Menyeret Pemerintah
International Space Station (ISS) dalam orbit. FOTO/REUTERS

tirto.id - Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyatakan siap menghadapi gugatan arbitrase internasional yang diajukan perusahaan satelit dari Inggris, Avanti Communications Group. Gugatan diajukan perusahaan itu lantaran Indonesia dianggap gagal memenuhi pembayaran kontrak perjanjian sewa satelit milik Avanti yang bernama Artemis.

Seperti dilaporkan Spacenews.com, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) baru membayar US$13,2 juta dari total kontrak US$30 juta, atau masih menyisakan pembayaran US$16,8 juta, sehingga berakhir dengan keputusan arbitrase oleh Avanti.

Gugatan perusahaan itu terhadap Indonesia sudah dimasukkan melalui Pengadilan Internasional London sejak Agustus 2017. Menurut Ryamizard, pemerintah siap menghadapi gugatan itu. Ia meminta masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan gugatan arbitrase yang diajukan Avanti.

"Sudah siap. Harus kita siap, sudah siap. Jangan kutik-kutik itu lagi ya, kami sudah siap," ujar Ryamizard di Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Jumat (4/5/2018).

Eks Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu menyebut akan berkoordinasi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menyelesaikan persoalan satelit di atas wilayah Indonesia. Ia juga berkata akan meminta bantuan dubes membantu pengadaan satelit baru.

Menurut Ryamizard, persoalan dengan Avanti Communications bukan merupakan hal besar. Ia yakin permasalahan itu dapat ditangani dengan baik. "Saya nanti bila perlu, saya suka telepon dengan duta-duta besar, tolong dibantu ada masalah-masalah dikit segala macamnya ya sudahlah jangan dibesar-besarkan," katanya.

Infografik Current issue duduk perkara satelit inggris

Duduk Perkara Kasus

Persoalan dengan Avanti muncul karena Pemerintah masih menunggak pembayaran sewa satelit yang nilainya mencapai $30 juta. Pemerintah melalui Kemenhan baru membayar uang sewa $13,2 juta.

Penyewaan dilakukan untuk menggantikan peran satelit Garuda-1 yang telah mengorbit sejak 2000 di orbit 123BT (Bujur Timur) telah melenceng dari lintasannya sejak 2015. Penempatan satelit di titik koordinat itu penting untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia.

Orbit 123BT bisa diisi satelit jenis L-band yang beroperasi di ketinggian 36 ribu kilometer. Satelit Artemis tadinya direncanakan beroperasi sampai 2020, setelahnya diganti alat baru yang dimiliki penuh pemerintah. Rencananya, Orbit 123BT akan ditempati satelit pasokan Airbus Defence and Space.

Rencana itu terancam gagal terlaksana pasca masalah dengan Avanti mencuat. Kegagalan pemerintah membayar sisa biaya sewa satelit disebabkan pencairan dana yang tidak bisa dilakukan Kementerian Keuangan. Anggaran tidak dicairkan lantaran belum ada kesamaan rencana strategis ihwal penyewaan satelit antara TNI dan Kemenhan.

Setelah menggugat pemerintah Indoenesia, Avanti menghentikan operasional satelit miliknya sejak November 2017. Orbit 123BT pun saat ini tidak diisi satelit apapun.

Tirto telah melakukan konfirmasi ihwal terhambatnya pencairan anggaran sewa satelit ke Kemenkeu. Namun, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti enggan mengeluarkan pernyataan.

"Belum ada komentar dulu, masih di luar negeri," ujar Nufransa.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris meminta kementerian dan lembaga yang bertanggungjawab atas penyewaan satelit melakukan koordinasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Menurutnya, persoalan dengan Avanti mengusik kewibawaan negara, sebab kasus ini sudah dibawa ke pengadilan internasional.

"Kami sudah pernah mengadakan rapat dengan kementerian terkait khusus membahas masalah ini. Kami meminta agar antarkementerian bisa segera berkoordinasi untuk menyelesaikan permasalahan, karena menyangkut nama baik Indonesia," ujar Charles.

Baca juga artikel terkait SATELIT MILITER atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya