tirto.id - Liga Premier Inggris dikenal sebagai liga dengan sirkulasi uang yang menggiurkan. Entah dari hak siar, komersil, iklan, sampai sponsor. Tahun ini saja, misalnya, cuan yang dikeluarkan untuk proses transfer pemain di seluruh klub mencapai £1,41 miliar.
Tapi, di balik gemerlap tersebut, ada kondisi yang cukup memprihantikan: para pekerja tingkat bawah di klub Liga Inggris—petugas kebersihan, penjaga keamanan, serta staf yang lainnya—tidak digaji secara layak sehingga menyulitkan mereka menutupi biaya hidup.
Sebagaimana diwartakan BBC, laporan Living Wage Foundation, LSM yang berfokus pada isu upah pekerja di Inggris, menyebut bahwa hanya ada empat klub, dari total 20, di Liga Inggris yang membayar pekerja kebersihan dan sebagainya secara proporsional.
Empat klub itu yakni Everton, Liverpool, Chelsea, dan West Ham United. Sisanya, terang Living Wage, dikabarkan “membayar dengan sukarela”.
“Aku kesulitan menyediakan makanan di rumah untuk keluargaku. Dan aku harus sering makan dengan harga murah,” kata petugas kebersihan yang sehari-hari bekerja di Stadion Old Trafford, markas Manchester United.
“Dengan mempertimbangkan jumlah uang [yang ada] dalam sepakbola, akan sangat bagus bila klub membayar semua staf mereka dengan upah yang adil dan layak.”
Masalah Laten
Tinggal di Inggris bukan perkara yang mudah. Salah satu indikatornya: biaya hidup yang mahal. Di Inggris, status kota mahal dipegang oleh London. Statistik mencatat, empat dari sepuluh orang-orang London tidak mampu memenuhi standar hidup yang layak. Selain itu, penelitian dari Loughborough University menyebut sekitar 3,5 juta orang warga London memiliki pendapatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup.
Sistem pengupahan di Inggris mengenal "upah hidup" (living wage)yang dibayar secara sukarela oleh perusahaan kepada para pekerja alih daya (outsourcing). Perhitungannya didasarkan pada kebutuhan sehari-hari para pekerja dan keluarganya. Tarif normalnya, £9 per jam. Angka berbeda dijumpai di London: £10,55 per jam.
Meski begitu, tidak semua pihak menerapkan aturan itu, terutama klub-klub di Liga Inggris. Ini menjadi ironi mengingat klub-klub Liga Inggris dikenal jor-joran dalam membelanjakan uang—imbas dari pendapatan yang besar pula. Data Statista, misalnya, memperlihatkan rata-rata pengeluaran tahunan gaji Manchester United mencapai £6,53 juta pada musim 2018-2019—atau paling besar ketimbang klub lainnya.
Namun, untuk urusan membayar staf sehari-harinya, Manchester United, terang Citizens UK, lembaga amal asal Inggris, hanya mampu mematok kurang dari £9 per jam. Hal yang sama juga dilakukan Arsenal maupun Newcastle United.
Kritik seketika bermunculan. Anggota Partai Buruh, Frank Field, mendorong klub-klub Liga Inggris lainnya untuk meniru langkah empat klub yang sudah menerapkan pembayaran upah hidup layak. Jika semua klub Liga Inggris berhasil menerapkannya, kebijakan tersebut diharapkan bisa menjadi contoh untuk industri bisnis yang lain seperti perbankan.
“Jika empat dari mereka [klub-klub] Liga Inggris bisa melakukannya, mengapa yang lain tidak bisa melakukannya juga?”, ungkapnya kepada The Guardian. “Apa yang kami coba lakukan adalah menunjukkan bahwa industri yang berkinerja baik dapat dan harus membayar upah hidup untuk semua orang yang bekerja di dalamnya, sekalipun jika mereka berada dalam kesulitan.
Wali Kota London Sadiq Khan juga mengungkapkan hal serupa. Ia bahkan mengimbau klub-klub di London, seperti Arsenal, Tottenham Hotspur, West Ham United, hingga Crystal Palace untuk membayar upah hidup kepada para pekerja dengan layak.
“Pihak-pihak seperti Arsenal, Spurs, West Ham, dan Crystal Palace adalah pengusaha terkemuka di London. Saya meminta mereka untuk membayar para pekerja sesuai tarif yang ada,” jelas Sadiq.
Klub asal London yang memenuhi kualifikasi baru sebatas Chelsea. Kesebelasan milik taipan asal Rusia, Roman Abramovich, ini menjadi satu dari 1.076 perusahaan bisnis yang sudah membayar pekerja sesuai ketentuan upah hidup.
Seorang juru bicara Liga Premier membantah kritik yang berdatangan. Menurutnya, klub-klub Liga Inggris sudah melaksanakan komitmen membayar upah hidup sejak 2016.
Bukti Kesenjangan
Dari luar, perlawanan untuk mewujudkan pemenuhan upah hidup yang layak terus bergelora. Kelompok-kelompok LSM memobilisasi dukungan untuk mengubah kebijakan klub. Serikat pekerja GMB, misalnya, meluncurkan kampanye bertajuk “End Foul Play.”
Dalam “How Football’s Richest Clubs Fail to Pay Staff A Real Living Wage” yang terbit di The Conversation (2017), Tony Dobbins dan Peter Prowse menjelaskan bahwa upah hidup belum bisa dipenuhi oleh klub-klub Liga Inggris karena mereka belum pulih sepenuhnya dari krisis ekonomi 2008.
Faktor lainnya adalah keadaan pasar tenaga kerja bebas yang berperan besar menciptakan kesenjangan sosial yang tinggi karena kekayaan terus mengalir ke orang-orang kaya saja. Terlebih lagi, banyak serikat pekerja dilemahkan oleh regulasi pemerintah.
Dobbins dan Prowse mencatat, pemenuhan upah hidup secara layak merupakan bukti distribusi pendapatan yang adil dan merata. Kemudian, pembayaran upah hidup dengan proporsional bisa meningkatkan reputasi perusahaan.
Bukan perkara yang sulit untuk mewujudkan kesetaraan dalam pembayaran upah. Asalkan, terang Dobbins dan Prowse, para pemangku kebijakan punya regulasi yang kuat dan intervensi politik yang tegas. Bila keduanya tak dapat dipenuhi, bukan tidak mungkin masalah kesenjangan di balik gemerlapnya Liga Inggris bisa teratasi.
Editor: Windu Jusuf