tirto.id - Pekan pertama Liga Inggris musim 2019-2020 ditutup dengan kemenangan Manchester United atas Chelsea, Ahad (11/09/2019) malam. Dari 10 laga yang digelar, ada 25 gol yang tercipta dan sebagian gol-gol itu disumbang tim besar macam Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspur, dan Manchester United.
Namun, perhatian publik sepakbola Inggris tak hanya muncul karena jumlah gol. VAR (Video Assistant Referee)--yang baru digunakan di musim ini--juga bikin perhatian pencinta sepakbola Inggris ikut tersedot.
Menurut laporan BBC, VAR setidaknya terlibat langsung dalam 37 pengambilan keputusan wasit dalam 10 pertandingan tersebut. Hasilnya, 3 keputusan wasit berubah: dua perubahan muncul dalam laga West Ham United versus Manchester City, dan sisanya ada di pertandingan Leicester City kontra Wolverhamton City yang berakhir imbang.
Sebagian besar pengamat lantas merasa puas dengan kinerja VAR. Dalam sebuah kolom di The Times, Peter Walton, mantan wasit Liga Inggris, mengatakan "VAR bukan akhir dari sebuah dunia, tetapi sebuah awal dari dunia baru yang penuh keberanian."
Sementara itu, Paul MacInnes dari The Guardian, menyebut "VAR sudah bekerja sebagaimana mestinya." Meski begitu, MacInnes mengajukan satu pertanyaan penting yang barangkali dapat memicu perdebatan: apakah semua orang akan merasa bahagia dengan adanya VAR?
Mengganggu Spontanitas dan Mental Pemain
Tanpa bantuan VAR, Mike Dean, wasit yang memimpin laga antara West Ham United vs Manchester City, barangkali tetap mengesahkan gol Gabriel Jesus yang terjadi pada awal babak kedua. Saat itu, hakim garis tidak melihat Raheem Sterling berada dalam offside sebelum memberikan umpan kepada Jesus.
Namun beberapa saat setelah gol itu terjadi, VAR lantas me-review. Hasilnya: Sterling ternyata berada di posisi offside meskipun amat tipis. Dean pun akhirnya menganulir gol City.
Selepas pertandingan, Sterling menyebut VAR akan jadi barang bagus di Premier League selama bisa membantu wasit mengambil keputusan yang benar. Meski begitu, banyak orang justru mengutuk VAR.
Matthew Syed, jurnalis di The Times, adalah salah seorang yang mengaku sedih dengan penggunaan VAR. Ia menganggap VAR bisa mengganggu spontanitas dalam sebuah pertandingan sepakbola, padahal spontanitas--baik dari para penonton, komentator pertandingan, maupun dari pemain--adalah salah satu aspek penting yang bikin pertandingan jadi menarik disimak dan dikenang.
"Ingat kalimat seperti 'Aguerro!' atau And Soskjaer has won it? Ingat They think it’s all over; it is now? Bukankah arti sepakbola sesungguhnya juga dipicu ledakan ekstasi dan euforia seperti itu? Bukankah luapan emosi seperti itu jadi bahan mentah dari olahraga yang tidak sempurna, cacat, tapi indah ini?," tulis Syed.
Sama seperti Syed, Daniel Murphy, mantan pemain Liverpool, juga berkata ketus soal penggunaan VAR ini.
"Apakah kita benar-benar ingin melihat sebuah gol dianulir hanya gara-gara seorang pemain berada dalam posisi offside sejauh empat milimeter? Berdasarkan aturan, ia (Sterling) memang berada dalam posisi offside, tetapi bukankah ini juga bisnis hiburan? Aku tahu VAR melakukan sesuatu yang bagus pada akhir pekan ini. Namun, jika aku boleh memilih, aku akan mengutuk adanya VAR," tutur Danny Murphy.
Sementara itu, Pep Guardiola, pelatih City, juga senada dengan Syed maupun Murphy. Namun, Pep memberi kritik yang tampak lebih menarik karena berhubungan langsung dengan permainan.
Guardiola, yang beberapa kali dirugikan VAR, mengatakan para pemainnya harus punya mental kuat saat VAR tidak berpihak kepada mereka. Alasan Guardiola, VAR bisa mengubah dinamika permainan: mengganggu ritme permainan yang sedang bagus-bagusnya, mengganggu konsentrasi, hingga memberikan kesempatan kepada lawan untuk mengoreksi kesalahan.
Dan, soal dianulirnya gol Jesus yang sebetulnya bisa membuat City unggul 3-0, Guardiola lantas mengatakan, "Anda dapat berpikir bawah pertandingan bisa dibilang hampir berakhir ketika tim Anda unggul 3-0, tetapi saat kedudukan masih 2-0, segalanya masih dapat terjadi. Agar semuanya baik-baik saja (setelah keputusan VAR) para pemain tidak boleh salah dalam mengambil sikap."
Menanti Terobosan IFAB
IFAB (Interntional Football Association Board), yang biasa membuat aturan-aturan dalam pertandingan sepakbola, sebetulnya sudah memprediksi keluhan semacam itu. Maka mereka pun lantas meninjau ulang penggunaan VAR yang paling banter akan diputuskan pada Maret 2020 nanti.
Dalam tinjauan itu, IFAB berencana mempertegas penggunaan VAR: apakah wajib diterapkan dalam pengambilan keputusan yang bersifat "hitam putih" seperti offside atau soal apakah sebuah pelanggaran terjadi di dalam atau di luar kotak penalti. Ini karena sebelumnya, VAR memang hanya didesain membantu wasit dalam mengambil keputusan krusial, semisal ada-tidaknya pelanggaran di dalam kotak penalti.
Hanya saja, IFAB barangkali akan kesulitan mengambil keputusan. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, memang menggunakan VAR sebagaimana mestinya. Alasannya, selain beberapa stadion di Amerika tidak mempunyai fasilitas memadai untuk dipasangi banyak kamera, mereka tak ingin nilai hiburan pada sepakbola dikekang VAR.
Namun, Inggris jelas punya kultur sepakbola yang berbeda dengan AS. Pada satu sisi, VAR memang banyak memberikan gangguan, tetapi di sisi lain, VAR bisa bikin Liga Inggris semakin kompetitif.
Untuk semua itu, Peter Walton meyakinkan bahwa otoritas sepakbola Inggris sudah sangat tepat menggunakan VAR. Ia menyebut fans dan para penggemar sepakbola Inggris harus mulai menepikan kegembiraan spontan saat VAR mampu membantu korps pengadil dalam mengambil keputusan.
Dan soal hilangnya kegembiraan spontan tersebut, Walton yakin kegembiraan itu nantinya digantikan hal lain. "Saat kita bisa menikmati pertandingan dengan cara berbeda, sesuatu pasti akan mampu mengisi kekosongan itu," tulis Walton.
Editor: Mufti Sholih